Sebut saja namanya bu Rima,perempuan 39 tahun ini yang bekerja sebagai tukang payet di salah satu butik,tinggal disebuah kontrakan berukuran 3x4 meter dengan ketujuh anaknya. Semua aktifitas keluarga ada di ruangan ini. Mulai dari MCK,makan,nonton tv,dan tidur.Penghasilanya yang hanya Rp.700rb/bln ditambah dengan pendapatan suaminya yang tidak menentu sebagai kuli di pertamina hanya mampu untuk membayar kontrakan seharga Rp.500rb perbulan.
Saya lebih mengamati prilaku ketujuh anak-anaknya dibanding sisi keehidupan yang lainnya. Ketika sedang berkumpul dengan teman-teman sebayanya, salah satu anaknya yang kira-kira berumur tujuh tahun sering berucap sesuatu yang kurang pantas di ucapkan oleh anak seumur dia (istilah-istilah ML ). Tentu saja hal ini memicu reaksi orang tua anak yang lainnya. Ada yang melarang anaknya dengan memberi pengertain pada sianak untuk tidak bergaul dengan anak bu  Rima tadi,ada juga yang langsung marah dan membentak anak itu. Menyuruh anak itu pulang dan jangan pernah lagi main di sekitar komplek ini lagi.
Apakah anak ini patut disalahkan? Setelah saya amat-amati,kebetulan kontarakan mereka tidak jauh dari tempat tinggal saya. Rupanya mereka tidur dalam satu ruang yang sempit. berjajar layaknya ikan asin yang dijemur. Untuk membalikkan badanpun susah sekali karena harus berbagi dengan perabotan ala kadarnya yang mereka miliki. Â Ruang yang layaknya untuk kos-kosan itu harus ditempati sembilan nyawa. Tak heran lah jika si anak kecil tadi bisa menyebutkan bagian-bagian tubuh orang dewasa,karena kakak-kakaknya berganti pakaian juga terlihat oleh mereka. Bukan tidak mungkin aktifitas orangtua mereka dimalam hari juga sempat terlihat oleh anak-anaknya.
Gambaran keluarga ini, sangat banyak kita temui di wilayah Jakarta. Empat  tahun silam juga kasus,  anak didik  (laki-laki) yang duduk di kelas delapan. Setiap jam pelajaran dia selalu mengantuk, tidak punya semangat belajar. Usut punya usut ternyata dia menjalin hubungan dengan wanita yang berumur jauh di atas dia. Janda pemilik warnet tempat dia menghabiskan waktu di malam hari. Setelah diajak bicara empat mata,rupanya hubungan mereka sudah teramat jauh. Layaknya suami istri. Si  anak awalnya senang karena selama di warnet itu tidak pernah dipungut biaya. dikasih uang saku dll asal dia mau mengikuti maunya si janda ini.
Menurut ceritanya juga,setiap ayahnya pulang ,ibu sering menyuruh dia dan kedua adiknya bermain di luar. Baru dipanggil pulang kalau sudah jam sembilan bahkan ampai jam sepuluh malam. Ayah mereka bekerja dipinggiran jakarta, pulang kerumah seminggu dua kali. Dirumah juga tidak lama. Usai magrib baru sampai,jam empat pagi harus berangkat kerja lagi. Mungkin waktu ini dimanfaatkan oleh pasangan suami istri ini untuk memenuhi kebutuhannya.Rumah petakan yang mereka tempati sangat tidak mungkin bagi mereka untuk memadu kasih di malam hari. Karena mereka tidur dalam satu kasur dan anak-anak mereka sudah tumbuh besar. Mereka beranggapan,anaknnya yang bermain di luar di rasa aman,yang penting tidak jauh dari rumah. Tanpa menyadari,bahaya mengintai dari orang-orang disekitar mereka.
Si A (anak kelas 6) yang dilaporkan teman perempuannya karena sering meremas-remas bokongnya. Setelah kasusnya ditangani, Si A sering mendapati orang tuanya bermesraan tengah malam karena punya kasus yang sama dengan dua kasus di atas.. Tinggal dirumah petak dengan segala aktifitas diruang tersebut. Betapa mirisnya gambaran anak-anak kita sekarang. Dengan keterbatasan ekomoni orang tuanya justru merusak karakter mereka sejak dini.
Mendengar rencana Pak Ahok yang akan membangun tempat lokalisasi resmi,reaksi atas kasus yang menimpa Deudeuh,saya menjadi terpikir hal ini kembali. Apa salahnya jika beliau juga memikirkan "Bilik Asmara" untuk pasangan resmi yang kebetulah tidak beruntung mempunyai tempat yang layak untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Dengan demikian,apa yang menimpa anak-anak bisa diminimalisir. Jangan anak yang dikorbankan, Orang tua tidak bisa disalahkan,mereka punya kebutuhan yang memang harus dipenuhi,untuk menyewa kamar hotel sekelas melati tak mampu karea keterbatasan ekonomi. Jika dilakukan di rumah,kasus- kasus diatas yang terjadi.
Bilik asmara  yang saya maksud disini adalah semacam fasilitas sosial yang diperuntukkan bagi pasangan resmi untuk menyalurkan kebutuhan biologis mereka karena tempat tinggal yang mereka tempati tidak mempunyai sarana yang cukup untuk aktifitas suami istri ini.
Pemerintah telah mengusahakan pendidikan gratis agar  dapat menjangkau semua kalangan. Namun untuk pendidikan karakter anak masih kurang tersentuh. Pendidikan karakter yang dikehendaki dalam pendidikan nasional tidak akan terbentuk dengan baik jika latar belakang keluarga peserta didik seperti yang tergambar di atas. Tidak semua anak beruntung,terlahir dari keluarga yang mampu. Mereka yang hadir di keluarga yang berada di bawah garis kemiskinanpun layak mendapatkan pendidikan yang berkualitas,baik dari keluarga maupun dari lingkungan pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H