Mohon tunggu...
Mr. Gee
Mr. Gee Mohon Tunggu... -

Menulis apa yang hendak ditulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kelelahan Intelektual

17 April 2015   20:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:58 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Semua sepakat bahwa tujuan semua mahasiswa adalah mulia yaitu menuntut ilmu. Mengapa ilmu harus dicari? Selain karena itu perintah Allah dan Rasul, juga ada keinginan untuk berubah atau meningkat kemampuan kita. Dengan ilmu bertambah maka banyak harapan yang bisa diraih dan wawasan meningkat sebagai modal untuk mengatasi problematika kehidupan.

Meskipun semua orang sepakat bahwa belajar itu penting, namun tidak semua orang mau dan mampu menempuh perjalanan menuntut ilmu. Janji kemulian yang besar bagi orang yang berilmu ternyata  karena besarnya godaan dan beratnya tantangan untuk meniti jalan ilmu ini. Tidak cukup hanya niat tapi perlu kesungguhan dan kesabaran untuk mendapatkannya.

Niat atau azzam untuk mencari ilmu akan diuji dengan berbagai kesulitan dan kendala yang tidak terbayang sebelumnya. Tidak sedikit, mahasiswa berguguran di tengah jalan alias mengundurkan diri atau diundurkan secara tidak terhormat karena tidak mampu mengikuti jalan-jalan terjal dan berliku untuk mendapatkan ilmu. Mengapa batu bangunan lebih murah dibandingkan dengan batu berlian?  Salah satu sebabnya adalah proses mendapatkan batu bangunan lebih mudah daripada proses mencari batu berlian. Jalan meraih ilmu lebih sulit dibandingkan mencari batu berlian.

MERASA TIDAK MAMPU

Perasaan tidak mampu sebenarnya modal positif bagi pencari ilmu. Karena merasa tidak mampu maka ada keinginan untuk belajar dengan baik. Tapi jika rasa tidak mampu dimaknai negatif sebagai justifikasi untuk dimaklumi ketidakmampuannya sebagai sikap menyerah maka dia tidak akan mendapatkan ilmu, dia akan selalu gagal di tengah jalan. Sikap cengeng, manja dan loyo bukanlah karakter pencari ilmu. Ibarat mutiara, maka ilmu harus dicari dan dicari dengan  membaca, menghafal, mendengar dan diskusi secara terus menerus.

Ikhtiar yang maksimal hingga pada puncak kelelahan  intelektual adalah  modal untuk bisa bersandar kepada Allah sebagai Maha Mengetahui segalanya. Inilah saat-saat yang berharga untuk meningkatkan keimanan dan merasakan lemahnya diri selemah-lemahnya sehingga hanya Allah sebagai tempat bersandar untuk bisa meneteskan karunia ilmu kepada  dirinya. Inilah perbedaan mendasar orang beriman dengan yang tidak. Jika tidak memiliki keimanan maka kelelahan intelektual bisa mengantarkan dirinya untuk  stress bahkan gantung diri. Tapi jika ada keimanan maka semakin mendekatkan dirinya kepada Allah

Dengan bersandar pasrah di hadapan Allah maka sangat mungkin Allah akan memberikan jalan keluar tentu dengan jalan yang manusiawi. Bukan seperti Aladin atau sulap bin salabin yang mengajarkan manusia bersikap instan tanpa proses. Tapi Allah mungkin memberikan inspirasi atau ide cara belajar yang maksimal. Contoh, jika orang lain belajar 2 jam sehari maka dia menambah waktu untuk dirinya 4 jam sehari, jika teman-temanya berangkat ke kampus jam 7.30 maka dia harus lebih awal yaitu jam 7.00 untuk berkesempatan membaca lebih banyak. Maka dengan jalan seperti ini, rasanya tidak mungkin bagi Allah membiarkan hamba-Nya begitu saja.

SISTEM YANG KETAT

Seringkali manusia itu mudah terpengaruh dibandingkan mempengaruhi. Lingkungan yang ketat dan disiplin mengantar orang-orang yang ada di dalamnya untuk bisa terkondisikan menjadi baik. Sebaliknya lingkungan tanpa aturan atau ada aturan tapi tidak tegas, maka kecenderungan orang-orang di dalamnya bersikap semaunya dan lambat berkembang karena yang menonjol adalah sikap santai dan semau gue.

Islam melalui al-Qur’an banyak membahas tentang amar ma’ruf nahi mungkar. Ini artinya umat Islam dituntut untuk peduli dengan orang lain dengan senantiasa memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Secara pribadi, amar ma’rif nahi mungkar sangat sulit direalisasikan karena adanya rasa-rasa namun jika dibuat aturan dan sistem kontrol yang ketat maka memudahkan orang terkendali untuk menjadi baik.

Kata penyair Arab, “nahnu ibnul bi’ah” artinya kita adalah anak kandung dari lingkungan. Jika lingkungan baik maka insyaallah kita terkondisikan menjadi baik. Sebaliknya jika lingkungan buruk maka yang ada hanya rasa tidak tenang dan menjadi aneh saat berusaha menjadi baik.

Inilah keanehan. Sebenarnya sudah berniat menjadi baik tapi tidak mau dikondisikan untuk menjadi baik, tidak mau ditarget-target, enggan diatur alasan dibatasi, keinginannya bebas maka yang ada  kemunafikan atau protes-protes sebagai dalih ketidak mampuan mengikuti sistem yang ada.

wallahu a'lam bish shawwab

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun