Ada kejadian yang lucu antara suami istri ketika terjadi pertengkaran hebat karena kesalahpahaman keduanya. Kemudian keduanya sepakat untuk tidak saling bicara. Sehingga akhirnya keduanya tidur terlelap karena kecapean. Tapi sebelum benar-benar tidur, sang suami menyempatkan diri untuk menulis pesan dekat bantal istrinya, “ Sayang, bangunkan saya jam 6 karena mau ada rapat”
Keesokan harinya, betapa kaget suaminya karena hari sudah jam 7 dan istrinya sudah pergi berangkat kerja padahal dia sudah pesan untuk dibangunkan. Di tengah-tengah kepanikan dan kejengkelannya, dia menemukan secarik kertas yang berbunyi, “Mas-mas bangun sudah jam 6 pagi.” Akhirnya dia hanya bisa tersenyum dan segera menelpon istrinya untuk meminta maaf.
Berbicara adalah salah satu komunikasi yang penting bagi pasangan suami istri. Ini mungkin konvensional dirasakan dan dibandingkan komunikasi melalui media HP, internet atau yang lain. Tapi bicara langsung dengan bertatap muka jauh lebih efektif dan tidak tergantikan dengan media apapun.
Banyak orang modern yang menyepelekan kumpul keluarga dan bincang-bincang ringan karena mungkin dianggap buang-buang waktu. Mereka menganggap komunikasi lewat Hp sudah bisa mewakili ketidakhadirannya di tengah-tengah anak dan istrinya. Katanya menggunakan pepatah “jauh di mata tapi dekat di hati.”
Mungkin hal itu ada benarnya untuk saat-saat tertentu dalam keadaaan darurat dan tidak terus menerus. Tapi tidak bisa terus menerus komunikasi lewat media, sebab pertemuan fisik sangat penting dengan adanya rasa, sentuhan, kehangatan dan tatapan mata. Itu yang tidak tergantikan dengan media apapun.
Berbicara kepada orang lain mungkin kita bisa berhemat tapi dengan pasangan suami istri harus bisa mengobral bicara. Artinya keterbukaan dalam bicara harus dilakukan oleh suami istri. Itulah pintu untuk saling memahami dan mengetahui keinginan masing-masing.
Ada kejengkelan tersendiri dan seolah dunia menjadi sempit ketika komunikasi macet antara suami istri. Maka tidak heran ada suami yang kurang pemahaman agamanya, cepat emosi dan melakukan kekerasan jika sengaja dicuekin atau didiamin oleh istrinya. Istripun juga salah tingkah ketika suami sering diam dan pelit bicara ketika di rumah.
Ada seorang ibu dengan dua anak mengadukan tingkah polah suaminya yang ingin menikah lagi atau poligami. Spontan istrinya marah-marah dan malas diajak bicara baik-baik. Penulis menyarankan untuk bicara dulu baik-baik. “Ah, malas dan saya cepat emosi kalau bicara dengan dia karena pasti mengarah ke nikah lagi nikah lagi, padahal istri satu saja masih tidak mampu melayani dengan baik” Katanya dengan semangat.
“Ibu...kalau selalu begitu gaya bicaranya dan menutup diri maka tidak akan pernah ada solusi. Coba duduk tenang dan bicara baik-baik, apa sudah benar-benar siap dan tega untuk menikah lagi. Sebab laki-laki seperti itu semakin ditentang maka semakin tertantang untuk membuktikan diri karena terkait harga dirinya, tapi kalau dihalusin insyaallah juga melemah juga”
Penulis bisa menyimpulkan bahwa permasalahan rumah tangga antara suami istri adalah bermula dari komunikasi yang tidak berjalan dengan baik. Sebab problematika apapun yang terjadi di rumah tangga bisa diselesaikan dengan baik dengan komunikasi yang intens.
Berbicara dengan emosi maka yang teringat dan yang diingat adalah kesalahan dan kekurangan pasangan. Kemudian ketika tidak berbicara maka prasangka dan dugaan itu semakin menjadi gila karena ada syetan yang ikut berkontribusi dalam emosinya. Berbicara adalah komunikasi yang sangat tepat untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.