Mohon tunggu...
Mr. Gee
Mr. Gee Mohon Tunggu... -

Menulis apa yang hendak ditulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tiga Darurat Indonesia

22 April 2015   09:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:48 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

TIGA DARURAT INDONESIA

Bangsa Indonesia saat ini mengalami darurat. Darurat artinya genting, gawat, krisis, mengkhawatirkan dan bahaya sehingga perlu penanganan yang cepat dan tepat. Masyarakat atau semua pihak harus siap siaga untuk mengantisipasi dan mencari solusi tepat dari kedaruratan-kedaruratan berikut ini.

Ada tiga darurat yang dialami bangsa ini. Penyebutan darurat ini tentu tidak asal asalan atau tiba-tiba karena yang menyebut juga bukan orang pinggir jalan tapi semua berdasarkan data-data nyata.

Pertama, darurat narkoba. Ini yang menyebut adalah presiden kita Joko Widodo, sehingga ada kebijakan untuk menolak permohonan grasi bagi seluruh tahanan hukuman mati dari pengguna dan mafia narkoba. Meskipun ada kecaman dan mendapatkan perlawanan dari banyak pihak termasuk pejabat negara lain yang warga negaranya harus di hukum mati.

Pengguna narkoba di negeri ini  sekitar 2.8% penduduk atau sekitar 6 juta orang. Tentu bukan jumlah yang sedikit karena setara dengan jumlah penduduk tiga kabupaten di Jawa dan dua propinsi di luar Jawa. Karena penduduk Kalimantan Timur saat ini kurang dari 4 juta. Sungguh jumlah yang menakutkan, belum lagi daya tularnya. Kalau satu pengguna bisa menularkan atau mempengaruhi 5- 10 orang maka tinggal akan ada ledakan luar biasa narkoba ini.

Sehingga setiap hari selalu ada penangkapan korban, pengguna dan pengedar narkoba. Bahkan sudah pada tingkat parah karena setiap hari ada 10 orang meninggal dunia disebabkan oleh narkoba. Ini tentu sangat mengkhawatirkan pada anak keturunan, saudara dan peserta didik kita yang seolah tinggal menunggu waktu saja menerima efeknya.

Kemudian menurut data BNN, tidak ada satu desa di negeri ini yang terbebas dari penyebaran narkoba. Bahkan di sekolah-sekolah yang seharusnya jauh dari narkoba juga sudah mulai terjangkiti siswa-siswinya.

Berdasarkan pengguna juga sudah ke semua kalangan. Bukan hanya remaja dan pemuda, tapi anak-anak dan kakek-kakek juga sudah banyak yang kena. Tidak sekedar anak jalanan atau anak di luar sekolah tapi kalangan akademisi seperti guru, dosen dan pejabat juga sudah ada yang tertangkap basah menghisap narkoba. Apalagi kalangan selebriti, artis dan atlet juga sudah mulai kena wabah narkoba ini.

Efek narkoba paling ringan adalah tidak bergairah makan, sulit tidur, berat badan berkurang, melemahkan daya fikir dan menjadi generasi malas, suka halunisasi  sehingga masa depan mereka gelap. Efek paling besar adalah kematian karena akan ada gangguan jantung, otak, pencernaan dan jiwa.

Peringatan di pamplet, baliho, seminar, penyuluhan tidak kurang-kurang mengingatkan bahaya narkoba. Ancaman hukuman mati juga sudah nyata di depan mata, seolah tidak membuat jera dan takut bagi pelakunya.

Kedua darurat pornografi. Ini disampaikan oleh menteri urusan wanita, Khofifah. Kenapa? Karena dampak dari pornografi hampir sama dengan narkoba bahkan bisa lebih parah akibatnya. Pornografi sudah masuk jaringan internasional yang omzetnya trilyunan rupiah.

Degradasi moral di tengah masyarakat juga menjadi sangat parah. Hubungan seks bebas, kasus hamil di luar pernikahan juga marak, aborsi, kasus perkosaan, pelecehan,  aborsi, inces, paedofilia, sodomi, lesbian. Setiap hari mewarnai berita di koran dan televisi.

Belum lagi penyebaran HIV sudah berjumlah  jutaan.  Beberapa kota besar dan kecil di negeri ini sudah tingkat rawan penularan HIV.

Pengaruh tehnologi informasi dan komunikasi dengan adalah HP android dan internet yang sangat mudah aksesnya tanpa sensor untuk menikmati pornografi. Sehingga tidak heran kakek-kakek sampai anak-anak terseret kasus asusila. Tehnologi memang pisau bermata dua, satu pihak ada kemudahan dan manfaatnya tapi sisi lain ada bahayanya ketika tidak diawasi dengan ketat.

Rasanya tidak ada tempat yang aman bagi anak-anak dan perempuan untuk bisa menikmati kenyamanan dan keluasan hidup. Di terminal, jalan raya, stasiun, pelabuhan dan bandara atau di tempat keramaian karena dibayangi pelecehan seksual di mana-mana.

Darurat yang ketiga adalah darurat korupsi. Entah dari mana data yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negeri paling korupsi tapi anehnya sulit mencari koruptornya. Hampir di semua lini kehidupan ada sistem yang menjebak seseorang menjadi korupsi dari tingkat kelurahan sampai di tingkat atas.

Akhir-akhir ada keributan antara KPK dan Polri dan Gubernur Jakarta dan DPRD adalah dua masalah terakhir yang pangkalnya adalah masalah korupsi. Belum kasus-kasus korupsi yang mengambang atau tidak jelas ujungnya.

Masalah korupsi seperti benang kusut yang sulit sekali meretasnya. Obyek korupsi juga bisa bermacam-macam, dari aspal jalanan, bangunan, migas, tambang bahkan proyek al-Qur’an dan masjidpun ada yang berani untuk mengkorupsi. Seolah tidak akan mati atau tidak mengenal dosa.

Nilai kebocoran atau bancakan anggaran pemerintah pusat dan daerah adalah sangat biasa. Istilah kebocoran diasumsikan korupsi tentunya

Solusi bijaksana. Sebagaimana penjelasan di awal bahwa pengertian darurat di sini adalah kondisi yang genting dan membahayakan untuk segera diatasi secara cepat dan tepat. Maka tidak cukup hanya mencela, demonstrasi, menuntut ke sana ke mari, mencari kambing hitam. Tapi harus bijaksana dari keluarga sendiri dan secara sistemik. Sebab semua darurat tersebut terjadi karena lemahnya struktur keluarga untuk melakukan kontrol sosial atau pendidikan sejak dini.

Sehingga mari kita mulai dari orang terdekat kita untuk berbenah. Meskipun lingkungan, tehnologi dan pertemanan juga luar biasa pengaruhnya. Kita harus keluar dari kondisi darurat dengan keberaniaan diri sendiri dan keluarga kita.

Selanjutnya pendidikan juga harus berbenah dari masalah kurikulum, standart output yang tidak sekedar kecerdasan intelektual tapi harus mengedepankan ke adab dan spritual sebagai standart yang menjadi ukuran pokok. Sehingga pendidikan boarding/berasrama ala pesantren menjadi alternatif untuk mengantar anak-anak menjadi sholeh dan terhindar dari darurat-darurat di atas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun