Hutan sangat penting bagi kehidupan. Hutan yang terjaga dengan baik bisa menjamin udara yang kita hirup sehari-hari tetap bersih, segar, dan baik untuk kesehatan. Selain itu, hutan lestari juga mampu mereduksi terjadinya bencana alam seperti longsor, banjir, dan lainnya. Indonesia (pernah) disebut sebagai paru-paru dunia karena memiliki kawasan hutan yang sangat luas.
Entah sekarang, apakah Indonesia masih layak menyandang sebutan itu, karena faktanya hutan kita sudah semakin habis dan gundul, laju perusakan hutan kita pun termasuk tercepat di dunia hingga pernah masuk dalam Guinnes Book World of Record. Greenpeace mencatat, pada periode 2004-2009, Indonesia kehilangan rata-rata 2,31 juta hektar per tahun akibat pembalakan liar dan alih fungsi hutan. Hampir setiap tahunnya pula negara-negara tetangga protes karena mendapat kiriman asap akibat kebakaran hutan yang terjadi di negara kita.
Dampak kerusakan hutan jelas-jelas bisa kita saksikan bahkan rasakan bersama. Bencana alam seperti kekeringan, banjir, longsor, dan lainnya yang seringkali menelan harta dan juga nyawa menjadi contoh nyata. Selain itu, kerusakan hutan juga mengakibatkan hilangnya keanekaragam hayati dan hancurnya habitat-habitat satwa endemik. Kehidupan jutaan orang masyarakat adat/lokal yang sehari-harinya bergantung pada sumber daya hutan juga ikut terganggu. Sehingga, keberadaan sekaligus peradaban mereka pun sudah diambang kepunahan.
Seandainya saya jadi Presiden, maka ikhtiar utama saya adalah menyelamatkan hutan yang masih tersisa. Pertama, saya tidak akan membiarkan terjadinya perusakan apalagi penggundulan hutan. Tidak ada toleransi terhadap para pelakunya, hukum harus benar-benar ditegakkan. Setiap jajaran di bawah saya termasuk para kepala daerah juga wajib turut serta mendukung misi ini. Tidak boleh seperti yang terjadi saat ini, ada kepala daerah yang justru gencar melakukan provokasi mengusik keberadaan taman nasional melalui pernyataan-pernyataannya di media. Ini benar-benar nyata dan terjadi di provinsi Jambi. Alasan meningkatkan ekonomi masyarakat dan keterbatasan lahan selalu dijadikan sebagai alibi.
Kedua, saya tidak mau mengulang kesalahan rejim-rejim terdahulu yang seringkali menjadikan masyarakat sekitar hutan sebagai penonton. Fakta yang terjadi selama ini, ketika perusahaan-perusahaan besar (segelintir orang) berhasil meraup untung besar dari usaha memanfaatkan hutan, ternyata pada saat yang bersamaan dari jumlah 48,8 juta jiwa masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan, 10,2 juta jiwa diantaranya dikategorikan miskin. Maka, saya akan lebih memberdayakan serta melibatkan mereka untuk berperan serta secara aktif untuk mengelola, memanfaatkan, sekaligus melestarikan hutan.
Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) melalui Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) maupun Pola Kemitraan yang sudah berjalan saat ini akan lebih dioptimalkan. Sementara para akademisi, para pakar, aktivis pegiat hutan dan lingkungan saya minta untuk duduk bersama melakukan kajian-kajian, evaluasi, serta memikirkan formula-formula terbaik, tepat dan efektif dalam memberdayakan masyarakat desa hutan. Mereka harus benar-benar bisa merasakan manfaat menjaga dan melestarikan hutan. Demikian halnya, saya akan menjamin eksistensi masyarakat adat lokal untuk secara aktif memanfaatkan, mengelola, sekaligus menjaga dan melestarikan hutan.
Ketiga, saya akan mengefektifkan serta mengoptimalkan program kebijakan yang benar-benar berkorelasi langsung dengan upaya merehabilitasi hutan yang terlanjur rusak. Acara-acara seremonial penanaman yang biasanya menelan biaya yang sangat besar harus ditekan. Sosialisasi, anjuran, ajakan gerakan menanam bisa dilakukan dengan cara-cara yang lebih cerdas, kreatif, dan tidak menelan biaya yang besar.
Penyelamatan hutan menjadi agenda penting dan mendesak yang harus dilakukan setiap elemen bangsa ini. Kita harus mengupayakannya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab. Kita menyelamatkan hutan karena memang ingin menghargai anugerah Tuhan dan demi warisan masa depan bagi generasi mendatang, jadi bukan karena ada iming-iming imbalan apalagi tekanan dari negara manapun.
Jambi 12 Maret 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H