Tak lama setelah resmi dilantik menjadi anggota kabinet kerja pemerintahan Jokowi-JK, beberapa Menteri sudah langsung mendapat perhatian media. Sebut saja nama Susi Pudjiastuti, pengusaha sukses yang juga merupakan pemilik maskapai Susi Air, kini mendapat mandat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Pro kontra langsung bermunculan mulai dari riwayat pendidikan akademisnya yang ternyata hanya tamat SMP, kebiasaan merokok, atau tentang tato di kakinya.
Yang menarik, Susi seakan tak ambil pusing dengan penilaian orang-orang tentang dirinya. Tanpa menunggu waktu, Susi langsung menggebrak di awal-awal kepemimpinannya. Pernyataan-pernyataannya tegas dan lugas menunjukkan komitmennya untuk menjaga sekaligus mengelola kelautan dan perikanan Nusantara. Susi menyadari betul kepercayaan sekaligus tanggung jawab besar yang sedang diembannya mengingat upaya memajukan sektor kemaritiman merupakan salah satu fokus pemerintahan saat ini.
Tak hanya Susi, beberapa Menteri lain pun menarik perhatian media dengan pernyataan-pernyataan maupun tindakannya. Muhammad Hanif Dhakiri, Menteri Tenaga Kerja disorot media lewat aksinya yang nekat memanjat pagar pembatas demi masuk ke rumah yang diduga sebagai tempat “penyekapan” para TKI sebelum dikirim ke luar negeri. Yuddy Chrisnandi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara langsung melontarkan wacana moratorium penerimaan CPNS selama 5 (lima) tahun ke depan. Yuddy juga menyerukan kampanye penghematan anggaran di kalangan birokrasi, salah satunya dengan melarang pelaksanaan kegiatan rapat-rapat kedinasan di hotel.
Ignasius Jonan, Menteri Perhubungan melakukan blusukan ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta dan segera menginstruksikan perbaikan kualitas pelayanan disana. Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri mewacanakan pengosongan/penghapusan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) demi mereduksi terjadinya tindak diskriminasi atas nama agama. Para Menteri di bidang ekonomi juga sedang merencanakan pengalihan subsidi BBM yang diyakini terlalu memberatkan keuangan negara namun justru kurang tepat sasaran ke sektor-sektor yang lebih produktif.
Tentu saja para Menteri yang lain pun tak ingin kehilangan panggung di masa-masa awal pemerintahan saat ini. Kita lihat saja, beberapa waktu ke depan kita akan terus disuguhi gebrakan demi gebrakan yang mereka lakukan. Bukankah instruksi Presiden Jokowi untuk para Menteri sudah sangat jelas? Kerja, kerja, kerja. Tak ada alasan menunda. Bahkan untuk Kementerian yang mengalami perubahan nomenklatur, penggabungan atau pemekaran misalnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah dan lainnya.
Pencitraan (?)
Aksi-aksi yang dilakukan para Menteri kabinet kerja Jokowi-JK mendapat tanggapan beragam. Ada yang memuji dan menganggap mereka sudah bisa menangkap dengan baik ekspektasi publik yang memang sudah sangat besar terhadap kinerja pemerintahan saat ini. Meski tak sedikit pula yang mencibir aksi-aksi para Menteri hanya sekadar pencitraan di awal-awal pemerintahan yang sebenarnya justru tak berkorelasi dengan keberhasilan pelaksanaan pekerjaan.
Aksi Hanif Dhakiri yang nekat memanjat tembok pembatas hanya demi bisa masuk ke rumah yang menjadi tempat penampungan sementara para TKI misalnya, dinilai sebagai tindakan yang berlebihan alias lebay karena justru bisa membahayakan keselamatan dirinya sendiri. Wacana pengosongan/penghapusan kolom agama di KTP oleh Menteri Dalam Negeri juga dianggap kontra produktif dan hanya memicu terjadinya pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat.
Lebih parah lagi, kebijakan-kebijakan yang diambil para Menteri juga dianggap tidak mencerminkan keberpihakan terhadap rakyat. Wacana moratorium CPNS selama 5 (lima) tahun ke depan dianggap jelas-jelas menutup kesempatan banyak angkatan kerja sehingga berpotensi meningkatkan jumlah pengangguran terdidik. Larangan menggunakan hotel sebagai tempat penyelenggaraan rapat-rapat kedinasan juga dinilai akan memukul industri yang bergerak di sektor tersebut.
Yang paling kencang mendapat penolakan adalah rencana pengalihan subsidi BBM yang dengan sederhana dapat diartikan sebagai penaikan harga BBM bersubsidi. Pemerintah dituding tidak peka terhadap beratnya beban ekonomi yang harus ditanggung oleh kebanyakan masyarakat Indonesia saat ini. Beban hidup masyarakat diyakini akan semakin berat jika harga BBM benar-benar jadi dinaikkan. Berdasarkan pengalaman, kenaikan harga BBM biasanya akan memicu kenaikan harga barang-barang lainnya termasuk kebutuhan pokok sehari-hari.
Menghasilkan perubahan
Barangkali, kita ambil jalan tengahnya saja. Kita apresiasi komitmen maupun aksi-aksi yang sudah dilakukan oleh para Menteri sebagai bagian dari kesungguhan mereka untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Namun pada saat yang sama, kita pun harus tetap kritis serta aktif mengingatkan para Menteri bahwa pekerjaan berat pada masing-masing Kementerian sudah menanti. Maka, gebrakan-gebrakan yang dilakukan sejatinya harus merupakan langkah untuk melihat persoalan-persoalan nyata yang harus dihadapi untuk diselesaikan sebaik-baiknya, secepat-cepatnya.
Cara berpikir seperti ini lebih baik. Toh, bukankah para Menteri terhitung masih baru beberapa hari menduduki posisinya masing-masing?. Kita berikan saja kesempatan kepada mereka untuk bekerja, membuktikan bahwa mereka memang benar-benar merupakan orang yang tepat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini.
Kita hanya perlu terus mengingatkan para Menteri bahwa gaya blusukan atau gebrakan-gebrakan yang mereka lakukan harus benar-benar bisa menghasilkan perubahan, jika tidak ingin dicap sebagai sekadar pencitraan. Perubahan dimaksud tentu saja perubahan-perubahan mendasar yang bisa mengurai sekaligus menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi sejak dulu hingga saat ini.
Apa artinya puja-puji untuk Bu Susi, kalau pencurian ikan-ikan dan hasil laut lainnya dari perairan Nusantara masih akan terus terjadi?. Untuk apa juga pernyataan-pernyataan lugasnya, kalau akhirnya para nelayan kita masih harus terus hidup sengsara tanpa bisa merasakan manfaat kekayaan laut Nusantara yang konon sudah mendunia?.
Untuk apa mengosongkan/menghilangkan kolom agama di KTP, jika tindak kekerasan atas nama agama terus terjadi di mana-mana?. Kalau ormas-ormas preman yang menamakan diri sebagai pembela Tuhan masih bebas berkeliaran menebar teror, ancaman dan ketakutan pada sesama warganegara yang berbeda keyakinan?.
Buat apa sidak ke tempat penampungan TKI sampai membahayakan diri, jika akhirnya penyelundupan TKI masih terus marak terjadi?. Atau kalau akhirnya kita masih akan mendapat kabar tentang penderitaan para pahlawan devisa di luar negeri yang disiksa para majikan dan bahkan ada yang dihukum mati?.
Untuk apa Menteri Perhubungan blusukan kesana kemari, kalau pelayanan transportasi udara, laut, dan darat kita masih akan terus begini-begini?. Blusukan harus membawa perubahan yang salah satu indikatornya adalah perbaikan pelayanan dan juga menurunnya angka kecelakaan.
Untuk apa instruksi penghematan anggaran, jika para pejabat birokrasi tetap tak bisa menampilkan pola hidup kesederhanaan?. Masih tetap bangga menggunakan mobil mewah berlabel “dinas”, juga memakai jam tangan mewah berlapis emas?. Beranikah Pak Menteri menindak tegas para bawahan yang tidak menjalankan instruksi penghematan anggaran?.
Sekali lagi, para Menteri pada kabinet kerja pemerintahan Jokowi-JK saat ini harus bisa membuktikan bahwa pernyataan-pernyataan maupun aksi yang mereka lakukan tujuannya tidak sekadar pencitraan melainkan sesegera mungkin untuk menghasilkan perubahan. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H