Malam pergantian tahun 2020 ke tahun 2021 jauh dari suasana meriah dan gegap gempita. Berkaitan dengan masa pandemi, sejak pertengahan Desember lalu, Pemko Jambi misalnya sudah mengeluarkan surat edaran yang melarang warga untuk berkumpul atau membuat kerumunan dalam rangka perayaan pergantian tahun. Apa mau dikata, sudah tak bisa membuat perayaan seperti tahun-tahun sebelumnya, sebagian warga kota Jambi bahkan harus melewatkan pergantian tahun dalam suasana kebanjiran. Hujan lebat memang sempat mengguyur kota selama beberapa jam.
Beberapa media memberitakan, Lapas Kelas II A Kota Jambi juga sempat tergenang air cukup tinggi. Air menggenang sejak pukul 03.00 WIB dan baru mulai surut pada pukul 10.00 WIB.
Kepala Penyelamatan dan Operasi Pemadam Kebakaran Kota Jambi, Rinno menyebutkan, ada sekitar 8 titik yang terkena banjir parah dan tersebar di 3 kecamatan: Jelutung, Kota Baru, dan Telanaipura (Kompas.com, 31/12).
Sementara itu Wakil Wali Kota Jambi, Maulana justru mengatakan ada sebanyak 22 kelurahan yang terendam banjir kali ini. Maulana menambahkan, ini merupakan banjir yang cukup parah dibandingkan tahun lalu karena guyuran hujan cukup lebat sejak malam hingga pagi. Akibat banjir, ratusan warga yang terdiri dari lansia dan anak-anak terpaksa harus dievakuasi.
Keesokan harinya saat berkeliling kota, saya dan isteri juga masih sempat melihat di beberapa lokasi khususnya pemukiman warga yang tinggal di sekitar bawah jembatan, terlihat jelas ada bekas genangan air yang cukup tinggi, tak seperti biasanya.
Air hujan yang dicurahkan dari langit secara gratis dan semestinya bisa disebut sebagai rahmat dari Sang Pencipta, ternyata suatu ketika malah menjadi sumber malapetaka. Tetapi benarkah demikian?
Kalau mau jujur, hampir semua bencana termasuk banjir ternyata bisa dipicu oleh ulah manusia. Penataan kota yang tidak ramah lingkungan, membuat limpahan air hujan seringkali menjadi tidak bisa mengalir dengan baik. Areal yang seharusnya dijadikan sebagai resapan air, justru ditimbun dan dibeton menjadi bangunan hunian tempat tinggal atau usaha.
Sungai-sungai yang kian tercemar dan kotor oleh timbunan sampah juga kehilangan kemampuan untuk mengalirkan limpahan air hujan dengan cepat. Sungai yang kian dangkal dan sempit sudah tidak sanggup menampung air hujan dalam jumlah yang sangat besar. Akibatnya, sungai-sungai meluap.
Panen air hujanÂ
Dengan logika sederhana, saat terjadi banjir yang menandakan air yang berlimpah ruah, semestinya tidak ada terdengar keluhan warga yang kesulitan mendapatkan air. Ternyata tidak demikian.
Tetangga yang rumahnya tidak jauh dari tempat kami tinggal sudah beberapa hari ini datang ke rumah untuk menumpang mandi dan tentunya sambil mengambil air untuk dibawa ke rumahnya. Mereka mengeluhkan kondisi air PDAM yang sedang macet. Kebetulan kami memang tidak menggunakan air PDAM, melainkan fasilitas sumur bor yang memang sejak awal sudah disiapkan oleh pihak perumahan.