Secara administratif provinsi Jambi terdiri dari 9 kabupaten dan 2 kota. Bila dilihat dari posisi kewilayahan barat dan timur, persentase distribusi penduduknya relatif seimbang, yaitu 52 % untuk wilayah Timur (Batanghari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Kota Jambi) dan 48 % untuk wilayah Barat (Kerinci, Kota Sungai Penuh, Merangin, Sarolangun, Bungo dan Tebo).
Di provinsi Jambi juga terdapat Kawasan Strategis Nasional. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau Iingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia.Â
Kawasan Strategis Nasional dimaksud adalah Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, Kawasan Taman Nasional Berbak, Kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas dan Kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.
Berkaitan dengan isu/masalah yang paling sering menjadi sorotan di provinsi Jambi adalah tarik menarik kepentingan antara ekonomi dan kelestarian lingkungan. Bukan rahasia lagi, Jambi selain terkenal dengan potensi hutan dan keanekaragaman hayatinya juga terkenal dengan potensi tambang (batubara) di dalamnya. Beberapa waktu belakangan, penambangan emas (tanpa izin) secara massif juga mencuat dan menjadi masalah besar yang tak kunjung bisa diselesaikan.
Provinsi Jambi juga terkenal dengan potensi perkebunan kelapa sawit yang dikelola secara massif baik oleh individu maupun korporasi berskala nasional. Pada saat yang bersamaan, konflik tenurial maupun peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) juga seakan menjadi momok yang sangat menakutkan bagi warga.
Gubernur menjadi jabatan yang sangat strategis untuk menjawab isu ini. Di satu sisi, menjalankan tugas untuk mewujudkan kesejahteraan bagi sebanyak-banyaknya warga Jambi dan di saat yang bersamaan harus menjaga sekaligus bertanggung jawab terhadap keberlangsungan dan kelestarian lingkungan hidup.Â
Pengalaman sebagai Bupati semestinya menjadi modal awal untuk menjalankan amanah yang lebih besar. Tarik menarik konflik kepentingan ekonomi dan lingkungan juga marak terjadi di tingkatan hampir seluruh kabupaten. Dengan kata lain, menjadi Gubernur bisa dikatakan sekadar meluaskan cakupan wilayah kerjanya saja. Isu dan masalah yang dihadapi, relatif sama.
Di era otonomi daerah, Gubernur memang bukanlah atasan Bupati. Gubernur tak berhak memecat Bupati yang dianggap mbalelo atau tidak becus. Bahkan ada yang menyebut, secara kewenangan, jabatan sebagai Bupati sebenarnya justru lebih menggiurkan ketimbang menjadi Gubernur.Â
Namun harus diingat bahwa sesuai ketentuan yang ada, Gubernur memiliki tugas dan wewenang sebagai wakil pemerintah pusat. Dengan demikian, penyelenggaraan pemerintahan di daerah kabupaten/kota tak akan pernah lepas dari intervensi Gubernur. Â
Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2018 menyatakan, dalam menjalankan tugasnya, Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memiliki wewenang untuk: membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota, memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota terkait penyelenggaraan pemerintahan daerah, menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintah antardaerah kabupaten/kota dalam satu provinsi, memberikan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang pembentukan dan susunan perangkat daerah kabupaten/kota dan melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Jadi sekali lagi, meskipun memiliki kewenangan yang terbatas, namun tugas dan wewenang yang diemban seorang Gubernur pun sebenarnya terbilang cukup menentukan maju mundurnya daerah kabupaten/kota secara khususnya dan provinsi secara umumnya.