Perjalanan mencari keadilan yang ditempuh Baiq Nuril kembali menemui jalan berliku bahkan nyaris buntu. Upaya Baiq Nuril untuk melepaskan diri dari jerat pidana pada tingkat peninjauan kembali (PK) tak membuahkan hasil. Mahkamah Agung (MA) telah menolak PK yang diajukannya.
Sebelumnya MA lewat putusan kasasi pada 26 September 2018 menghukum Baiq Nuril 6 bulan penjara dan denda 500 juta rupiah subsider 3 bulan kurungan. Upaya PK ditempuh karena pihak keluarga berharap Baiq Nuril bisa mendapatkan keadilan dan divonis bebas dalam kasus penyebaran rekaman percakapan mesum atasannya.
Kasus ini bermula pada pertengahan 2012. Baiq Nuril yang berstatus guru honorer di Mataram ditelepon oleh Kepala Sekolahnya, Muslim. Dalam percakapan tersebut, Muslim bercerita pengalaman seksualnya bersama wanita lain yang bukan isterinya. Percakapan itu juga mengarah pada pelecehan seksual.
Tidak terima dengan perlakuan tersebut, Baiq merekam percakapan itu dan rekaman itu diserahkan pada rekannya hingga kemudian beredar luas. Atas beredarnya rekaman itu, Muslim melaporkan Baiq ke polisi karena dianggap telah membuat malu keluarganya.
Pada tingkat Pengadilan Negeri Mataram, Baiq sebenarnya sudah divonis bebas. Namun, jaksa mengajukan banding hingga tingkat kasasi dan MA akhirnya memvonis bersalah Baiq Nuril karena dianggap melanggar UU ITE.
Kasus ini menarik perhatian banyak kalangan. Sebagian berpendapat bahwa Baiq bisa dikategorikan sebagai korban pelecehan seksual, sehingga tak layak dikriminalisasi. Bila Baiq dihukum, itu bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum kita khususnya dalam upaya perlindungan terhadap korban pelecehan seksual.
Keberanian Baiq melawan atasan yang terindikasi melakukan pelecehan terhadap dirinya, dianggap layak dilindungi bahkan didukung. Tujuannya sebagai pembelajaran bagi yang lain agar tidak mendiamkan alias bungkam terhadap berbagai bentuk pelecehan seksual yang dialami.
Berkaitan kasus yang dialami Baiq Nuril, konon presiden Jokowi pun menyatakan selalu mengikuti perkembangannya, meskipun berjanji tidak akan pernah mau melakukan intervensi khususnya berkaitan proses hukum di pengadilan.
Tentu semua sepakat bahwa Presiden selaku pemegang jabatan eksekutif memang tidak boleh melakukan intervensi terhadap proses hukum yang menjadi ranah yudikatif. Namun, untuk tujuan/kepentingan negara yang lebih besar, konsitusi memberi ruang pada Presiden berupa hak prerogatif untuk memberikan pengampunan pada mereka yang telah divonis bersalah oleh pengadilan misalnya melalui grasi atau amnesti.
Pasca keluarnya putusan MA yang menolak PK yang diajukan Baiq Nuril, muncul desakan agar Presiden segera mengeluarkan amnesti. Kuasa hukum Baiq Nuril, Aziz Fauzi berharap Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada kliennya sesegera mungkin.
Aziz mengatakan, putusan MA yang menolak PK sangat membuat kliennya kecewa terhadap hukum di Indonesia. Menurut Aziz, semestinya hukum melindungi korban pelecehan seksual seperti Baiq Nuril. Oleh sebab itu, mereka sangat berharap Presiden Jokowi mengeluarkan amnesti sebagai bentuk perlindungan hukum negara bagi korban pelecehan seksual.