Pasca debat kedua, di media sosial beredar sebuah video singkat yang memperlihatkan terjadi insiden kecil di lokasi debat. Sekelompok pendukung salah satu paslon mendatangi kursi komisioner KPU, konon ingin menyampaikan protes. Beruntung, insiden ini tak sempat disiarkan secara "live" dan tak bertambah ricuh.
Itu hanya salah satu insiden kecil yang terjadi. Pasca debat, muncul lagi tudingan bahwa salah satu kandidat menggunakan alat bantu. Berkembang lagi, ada tuduhan bahwa soal/pertanyaan debat sudah terlebih dulu bocor ke salah satu calon. Â Â
Apakah semua tudingan itu bisa dibuktikan dan berdasarkan fakta? Tentu saja tidak. Semua itu hanya berdasarkan asumsi dan tuduhan belaka. Maka patut diduga, barangkali ini merupakan cara untuk mengalihkan fakta kekalahan sekaligus menuding pihak lain berlaku curang. Ini trik lama dan sudah dilakukan berulang.
Kita ingat saat debat pertama yang dikritik banyak orang berjalan kurang menarik, lalu muncul tudingan bahwa itu terjadi karena KPU sudah membocorkan soal terlebih dahulu. Belakangan terungkap bahwa ihwal pemberian kisi-kisi soal merupakan kesepakatan kedua tim kampanye.
Bahwa kemudian debat berjalan tidak menarik, berarti yang bermasalah sebenarnya bukan dari sisi penyelenggara (KPU) melainkan dari kandidat itu sendiri dan tentunya tim kampanye yang bertugas memoles jagoannya agar bisa tampil prima. Â
Bila mau jujur, jalannya debat kedua sebenarnya bisa dikatakan sudah jauh lebih baik dari debat pertama. Sudah banyak kemajuan dan benar-benar terasa pembenahan dan perubahan yang sudah dilakukan. Debat berjalan lebih menarik dan terbuka. Jelas terlihat, siapa kandidat yang benar-benar siap dan siapa yang tidak.
Terlihat pula kapasitas dan kemampuan kandidat untuk memahami persoalan sekaligus memaparkan konsep solusi yang ingin ditawarkan.
Bila pada debat pertama, ada kisi-kisi soal yang disepakati kedua tim untuk dibagikan kepada pasangan calon, pada debat kedua itu tidak lagi dilakukan. Pihak penyelenggara yaitu KPU sudah menjamin hal ini. Â Â Â Â Â Â
Pada kondisi pihak penyelenggara sudah berupaya maksimal melakukan upaya-upaya terbaik, namun masih tetap saja digugat oleh tim kampanye, memang membuat kita tidak habis pikir. Mungkin ini semakin jelas menggambarkan bahwa banyak elite politik kita yang masih kekanakan dan tingkahnya sering menggelikan.
Mereka terbiasa menuding orang lain tanpa berupaya melihat dan merefleksikan diri sendiri. Menuding orang lain melanggar aturan, sementara mereka sendiri melakukannya. Menuding pendukung paslon lain membuat keributan, tapi mengabaikan keributan yang ditimbulkan pendukungnya sendiri.
Mereka juga merasa pantas untuk menjadi "hakim dan pengadil" padahal mereka sendiri adalah pemain. Lalu, buat apa ada pihak penyelenggara dan pengawas yang jelas-jelas dibentuk, diberi kewenangan dan dibiayai oleh negara?