Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Banyak PNS Anti-Pancasila, Pemerintah Bisa Apa?

20 November 2018   01:08 Diperbarui: 20 November 2018   01:52 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada sebuah diskusi baru-baru ini, Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Mayjen TNI (Purn) Soedarmo menyebut sebanyak 19,4 persen pegawai negeri sipil di Indonesia tidak setuju dengan ideologi Pancasila. 

Data tersebut dikutip Soedarmo dari survei Alvara Research yang dilakukan 10 September sampai 5 Oktober 2017 di 6 kota yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar.

Soedarmo menambahkan, penolakan terhadap Pancasila di kalangan pegawai negeri tersebut jadi penyebab lemahnya ketahanan nasional.

"Yang menyebabkan turunnya ketahanan nasional di negara ini adalah penurunan di masalah ideologi. 19,4 persen PNS tidak setuju ideologi Pancasila," ujarnya di kantor Lembaga Persatuan Ormas Islam (LPOI), Jakarta Pusat, Sabtu (17/11/2018).

Meski mengutip data setahun yang lalu, pernyataan Soedarmo tetap memantik reaksi media dan tokoh publik. Beberapa situs media online tetap tertarik mengulasnya berarti karena dianggap memiliki nilai berita. 

Sementara tokoh publik yang cukup cepat memberikan respon diantaranya Dedi Mulyadi dan Bambang Soesatyo. Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta yang kini menjabat sebagai Ketua Tim Kampanye Pemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin di wilayah Jawa Barat tegas mengusulkan ASN (PNS) yang masuk dalam data tersebut harus diberhentikan/dicopot statusnya. 

Sementara Bambang Soesatyo, politisi Partai Golkar sekaligus ketua DPR justru lebih menyoroti perbaikan sistem rekrutmen penerimaan PNS di masa mendatang. Bambang menyebut pemerintah telah "kecolongan" dan menuding kelemahan sistem penerimaan PNS di masa lalu sebagai penyebabnya. 

Saya juga sempat membaca ulasan salah satu media online yang mengaitkan fenomena ini dengan penerimaan CPNS tahun ini. Pemerintah didesak agar tidak memberikan kelonggaran terhadap fakta rendahnya kelulusan peserta ujian CPNS khususnya dalam seleksi kompetensi dasar. Sebagaimana diketahui, tingkat kelulusan peserta ujian CPNS tahun ini memang sangat rendah, BKN menyebut hanya sekitar 3 persen.                     

Ketegasan
Terkait sistem penerimaan CPNS, tentu kita sepakat perbaikan memang perlu terus dilakukan guna memperbaiki kelemahan sekaligus menuju kesempurnaan. Mungkin benar, kelemahan sistem penerimaan itu pula menjadi salah satu faktor penyebab "membengkaknya" jumlah PNS yang anti-Pancasila. 

Namun demikian, kurang bijak juga mengukur kadar kecintaan seseorang terhadap Pancasila hanya berdasarkan hasil jawaban tertulis seseorang atas soal-soal yang diajukan saat ujian. Jangan pula langsung memvonis 90 an persen peserta ujian CPNS tahun ini yang tidak lulus tes kompetensi dasar, berarti tidak pancasilais. 

Kita tidak pernah tahu pasti kapan dan bagaimana proses seseorang akhirnya lebih tertarik dan jatuh cinta pada satu ideologi selain Pancasila. Meskipun, pemikiran dan pandangan seseorang belakangan ini jauh lebih mudah terdeteksi lewat jejak-jejak digitalnya di media sosial.

Di era kekinian, ada istilah, kita adalah apa yang sering bahkan mungkin selalu kita tulis, bagikan, dan komentari di media sosial.

Berkaitan dengan data Alvara Research, memang harus diakui bahwa angka 19,4 persen itu jelas bukan angka yang sedikit. Data BPS 2016 saja mencatat ada 4,37 juta orang bekerja sebagai PNS, bila menggunakan rasio 19,4 persen dari jumlah tersebut setara dengan 800 ribuan orang.

Akhir tahun 2017, pemerintah bersama DPR sudah mengesahkan UU Ormas yang salah satu poinnya memberi mandat pada pemerintah untuk membubarkan Ormas yang dianggap mengusung sekaligus menyebarkan ideologi selain Pancasila.

Dampaknya, sempat heboh soal dugaan keterlibatan beberapa orang PNS yang dianggap aktif terlibat dalam HTI, organisasi yang sudah dinyatakan sebagai ormas terlarang oleh pemerintah. Tidak hanya di level staf, beberapa orang PNS tersebut bahkan memegang jabatan sebagai pimpinan di instansinya. Ada pula dosen yang bergelar profesor.

Entah kalau saya salah, dari berbagai pemberitaan, sepertinya pemerintah terkesan masih gamang dalam mengambil tindakan. Konon pemerintah terus melakukan pembinaan sembari masih mencari dasar hukum untuk menjatuhkan sanksi. Lebih menarik lagi, ada kesan pemerintah hanya mampu mendorong PNS bersangkutan yang menentukan pilihan; tetap menjadi PNS atau mundur.

Boleh saja, ini dianggap sebagai bentuk kehati-hatian agar pemerintah tidak salah dan asal tuduh sekaligus salah menjatuhkan sanksi. Meskipun di sisi lain, ini bisa dianggap sebagai bentuk keragu-raguan dan kegamangan pemerintah untuk tegas menegakkan aturan yang sudah ada.

Mengutip pendapat Dedi Mulyadi, PNS bukan sekedar pegawai, akan tetapi juga sebagai penjaga ideologi kebangsaan. Ciri dan mental ideologi Pancasila harus melekat dalam diri mereka bukan malah menolaknya.  

Publik menunggu respon dan langkah konkret yang bisa dilakukan pemerintah terkait fenomena ini. Tidak sekadar berkali-kali mengutip dan menyampaikan data bahwa saat ini banyak PNS yang anti-Pancasila. Kalau hanya begitu, publik justru balik bertanya, "Lalu, pemerintah bisa apa?"  

***

Jambi, 20 November 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun