Sengkarut penyelesaian kasus pembakaran lahan yang melibatkan PT. Kallista Alam menjadi bukti nyata bahwa upaya menjerat para pelaku yang diduga sebagai pelaku perusakan lingkungan akan selalu menempuh jalan panjang, berliku sekaligus melelahkan.Â
PT. Kallista Alam yang membakar hutan gambut Rawa Tripa untuk dijadikan perkebunan sawit, akhirnya tetap diwajibkan membayar denda sebesar Rp 366 miliar. Kepastian ini didapat setelah Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Provinsi Aceh, membatalkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh.Â
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banda Aceh dalam putusan Nomor Perkara 80/PDT-LH/2018/PT.BNA, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor: 16/Pdt.G/2017/Pn.Mbo, tertanggal 13 April 2018.Â
Kasus ini terbilang rumit karena sudah bergulir dalam jangka waktu yang cukup lama. Pada 2014, PT. Kallista Alam (PT KA) telah dinyatakan bersalah secara hukum karena melakukan pembersihan lahan dengan cara membakar hutan Gambut Rawa Tripa, di Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh.
Pada tingkat pengadilan pertama, Pengadilan Negeri Meulaboh di Aceh Barat memerintahkan PT. Kalista Alam membayar Rp114.3 miliar kepada negara dan Rp 251.7 miliar untuk memulihkan kawasan seluas 1.000 hektar yang dibakar itu.Â
PT. Kallista Alam tidak menerima putusan tersebut, lalu banding ke Pengadilan Tinggi Aceh, namun ditolak dan terakhir melakukan kasasi. Pada 28 Agustus 2015, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Kasasi Nomor 651 K/Pdt/2015 Mahkamah Agung (MA), juga menolak kasasi PT. Kallista Alam sekaligus memerintahkan PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap putusan tersebut.Â
Anehnya, seiring berjalannya waktu, ekseksusi justru tak kunjung dilakukan. Alih-alih, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaoboh yang diketuai Said Hasan, serta Muhammad Tahir serta T. Latiful sebagai hakim anggota justru mengeluarkan putusan Nomor: 16/Pdt.G/2017/Pn.Mbo, tertanggal 13 April 2018, yang menyatakan PT. Kallista Alam tidak bersalah. Pengadilan bahkan mengabulkan semua gugatan perusahaan.Â
Putusan yang jelas-jelas berlawanan dengan putusan Mahkamah Agung, baik saat kasasi maupun peninjauan kembali yang diajukan perusahaan tersebut.Â
Tindakan Majelis Hakim tersebut banyak menuai kritik bahkan kecaman dari para pegiat lingkungan bahkan ahli dan praktisi hukum. Juru bicara Komisi Yudisial, Farid Wajdi bahkan sempat menyatakan keheranannya. Â
"Rasanya tidak ada satu pun logika hukum yang dapat menjelaskan apa yang telah terjadi dalam perkara lingkungan di PN Meulaboh ini benar-benar keterlaluan. Setidak-tidaknya kepastian hukum sama sekali tidak ada dalam peristiwa ini," kata jubir Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi kepada wartawan, Senin (7/5/2018).
Putusan Majelis Hakim PN Meulaboh dianggap janggal dan tak lazim dalam logika hukum karena nekat menganulir putusan-putusan pengadilan di atasnya (Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung).