Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pelibatan Keluarga Menghadapi Pendidikan di Era Kekinian

14 Agustus 2018   17:29 Diperbarui: 14 Agustus 2018   19:40 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ki Hajar Dewantara (Foto: kompas.com)

Penyelenggaraan pendidikan di masing-masing zaman tentu memiliki tantangan yang berbeda-beda. Perbedaan itu terasa kian nyata khususnya di era kekinian yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi.               

Itu turut memengaruhi kemampuan cara berpikir dan bergaul peserta didik. Di era kekinian, terbentuknya pola tingkah laku dan karakter anak tak bisa dilepaskan dari bahan-bahan informasi yang saban hari dikonsumsinya dari internet.

Dengan gawai di tangan, segala macam bentuk informasi langsung bisa diakses dalam waktu hitungan detik. Penggunaan gawai saat ini tak lagi dimonopoli orang dewasa, melainkan sudah menjadi kebutuhan untuk anak.   

Sebagaimana dirilis kompas.com, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan dari total populasi penduduk Indonesia saat ini yang mencapai 262 juta orang, ada lebih dari 50 persen atau sekitar 143 juta orang telah terhubung jaringan internet sepanjang 2017.

data pengguna internet (kominfo.go.id)
data pengguna internet (kominfo.go.id)
Internet tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari anak muda zaman sekarang. Sebanyak 49,52 persen pengguna internet di tanah air adalah mereka yang berusia 19 hingga 34 tahun. Kelompok ini mengonfirmasi fenomena lahirnya profesi-profesi baru di ranah maya, semisal Selebgram (selebritas Instagram) dan YouTuber (pembuat konten YouTube).

Menjamurnya perusahaan rintisan digital atau startup pun sedikit banyak digerakan oleh kelompok usia ini, baik mereka sebagai pendiri atau konsumen. 

Di posisi kedua, sebanyak 29,55 persen pengguna internet Indonesia berusia 35 hingga 54 tahun. Kelompok ini berada pada usia produktif dan mudah beradaptasi dengan perubahan. Sementara itu, remaja usia 13 hingga 18 tahun menempati posisi ketiga dengan porsi 16,68 persen. Terakhir, orang tua di atas 54 tahun hanya 4,24 persen yang memanfaatkan internet.

Dampak 

Ibarat koin logam yang memiliki dua sisi, kemajuan teknologi informasi juga menyimpan dua potensi dampak sekaligus; positif dan negatif. Ia bisa memberi manfaat, namun bisa pula menimbulkan mudarat.

Dampak positifnya jelas, akses informasi pengetahuan seluas-luasnya bisa langsung diperoleh dalam waktu singkat. Saat ini ilmu pengetahuan tak hanya bisa didapatkan dari guru yang mengajar di dalam ruang kelas atau bahan buku bacaan tetapi juga bisa melalui bacaan di media internet. Selain itu, akses informasi tanpa batas juga bisa memicu timbulnya kreasi dan inovasi.           

Namun sekali lagi, potensi mudaratnya pun ada bahkan terbilang cukup besar. Banyak anak di usia sekolah yang sudah terjerumus di dalamnya. Kemajuan teknologi secara nyata bisa menjadi candu yang membahayakan.

Banyak dampak negatif yang muncul, berawal dari penyalahgunaan alat teknologi. Banyak anak yang menjadi lupa dengan waktu belajarnya serta sulit diperintah orangtua karena selalu dan terlalu asyik dengan gawainya.

anak-anak dan gawai (Foto: tribunnews.com)
anak-anak dan gawai (Foto: tribunnews.com)
Waktu mereka banyak dihabiskan bersama gawai. Tanpa disadari, mereka kehilangan masa-masa indah di masa kanak-kanak yang seharusnya diisi dengan keceriaan bermain dan bersosialisasi dengan teman sebaya.

Saat ini, kebanyakan anak justru lebih senang bermain secara individual permainan yang sudah tersedia di gawai. Dengan kata lain, watak individual yang asyik dan mementingkan diri sendiri tanpa sadar mulai terbentuk. Sayangnya, para orangtua sepertinya kurang menyadari hal ini.            

Lebih parah lagi, banyak anak yang sudah menjadi pecandu judi online, film porno, rokok, bahkan narkoba yang semuanya berawal dari informasi dan tontonan yang didapatnya melalui media internet. Anak juga berpotensi menjadi pelaku kekerasan, seolah ingin meniru adegan yang pernah ditontonnya.                 

Penyelenggaraan pendidikan di era kekinian jelas menghadapi tantangan yang sangat serius. Jika tak segera dikelola dan diantisipasi dengan baik, kita membayangkan beberapa tahun ke depan, bangsa ini akan "memanen" generasi muda yang tidak jelas orientasi dan tujuan hidupnya kelak.

Pelibatan keluarga 

Satu hal yang pasti, tidak adil membebankan tanggung jawab keberhasilan penyelenggaraan pendidikan hanya pada lembaga pendidikan formal saja. Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara bahkan sejak tahun 1935 sudah mencetuskan peran penting keluarga dalam pendidikan.

Ki Hajar Dewantara mengatakan, peran keluarga menjadi bagian penting yang tak terpisahkan dari Tri Sentra Pendidikan, yaitu: alam keluarga, alam perguruan/sekolah, dan alam pergerakan/masyarakat. Alam keluarga bahkan ditempatkan di awal, menunjukkan itu memiliki peran pendidikan yang pertama dan utama.

Ki Hajar Dewantara (Foto: kompas.com)
Ki Hajar Dewantara (Foto: kompas.com)
Secara kelembagaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah membentuk Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga di bawah naungan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 11 tahun 2015.

Direktorat ini memiliki tugas pokok dalam penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan  bidang pembinaan pendidikan keluarga. Program pendidikan keluarga salah satunya mendorong peran keluarga dan masyarakat dalam mendukung pendidikan anak di satuan pendidikan.

Sebagai tindak lanjutnya, Mendikbud juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga dalam Penyelenggaraan Pendidikan.

Di bagian awal peraturan ini jelas disebutkan bahwa ada dua hal yang menjadi dasar pertimbangan. Pertama, bahwa keluarga memiliki peran strategis dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan untuk mencapai tujuan nasional. Kedua, bahwa pelibatan keluarga dalam penyelenggaran pendidikan memerlukan sinergi antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat.        

Keluarga adalah wadah paling awal untuk menumbuhkan nilai-nilai karakter anak. Melalui cinta kasih, ketulusan, dan keteladanan anggota keluarga khususnya orangtua, si anak mulai mendapatkan pendidikan. Di dalam keluarga, anak harus bisa merasakan kenyamanan dan perlindungan. 

Sekalipun sudah duduk di bangku pendidikan formal, peran keluarga tak lantas berkurang apalagi hilang. Keluarga harus terus terlibat dalam memantau perkembangan pendidikan anak. Keluarga harus selalu mampu menjadi motivator semangat belajar anak.

Para orangtua harus membina hubungan komunikasi yang efektif dan intensif dengan para guru agar tetap bisa memantau perkembangan si anak, tak hanya dari sisi penerimaan ilmu pengetahuan, tetapi juga soal perkembangan mental dan karakternya.

sindonews.com
sindonews.com
Satuan pendidikan juga harus merancang sekaligus menerapkan pelibatan keluarga dalam mendukung pendidikan anak. Permendikbud 30 tahun 2017, khususnya pasal 6 sudah merinci bentuk-bentuk pelibatan keluarga pada satuan pendidikan. 

Selanjutnya Pasal 9 menyebutkan, bentuk pelibatan keluarga dilaksanakan sesuai dengan norma yang berlaku, sumber daya/potensi, dan kearifan lokal. 

Pelibatan keluarga menjadi unsur yang sangat vital dalam penyelenggaraan pendidikan terlebih lagi di era kekinian. Keberhasilan pendidikan di Indonesia akan sangat bergantung pada sinergi yang terbangun diantara satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat. 

Dalam rangka implementasi pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan, pihak-pihak terkait mulai dari satuan pendidikan, komite sekolah, pemerintah daerah, hingga kementerian memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing untuk dilaksanakan. Peran dan tanggung jawab tersebut sudah jelas tercantum dalam Bab IV, pasal 12-15.      

Akhirnya, pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan menjadi hal yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Sebagaimana sudah disinggung pada awal tulisan ini, pelibatan keluarga juga memiliki peran strategis untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. 

Tujuan pendidikan nasional sebagimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 menyebutkan, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 

#sahabatkeluarga

***

Jambi, 14 Agustus 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun