Ketika emosi dan amarah menguasai, manusia bisa melakukan sesuatu hal yang mungkin tak pernah dibayangkan sebelumnya. Di kabupaten Sorong, Papua, ratusan warga nekat masuk ke wilayah penangkaran dan melakukan pembantaian terhadap 292 ekor buaya.
Aksi itu dipicu kejadian sebelumnya, ada seorang warga yang tewas dimakan buaya, atas nama Sugito, saat sedang mencari rumput di sekitar kolam buaya, pada Jumat (13/7/2018) kemarin. Pembantaian buaya itu terjadi di Jalan Bandara, Kelurahan Klamalu, Distrik Mariat, pada Sabtu (14/7/2018) pukul 10.30 WIB.
Kepala Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat Basar Manulang, Minggu (15/7/2018) seperti dilansir Detik.com menjelaskan, "Pada saat olah TKP, terdapat 292 ekor buaya mati dibunuh massa, yaitu sepasang indukan dan 290 ekor berukuran 8 sampai dengan 12. Pada saat pembantaian buaya, sebagian besar masyarakat melakukan penjarahan anakan buaya berukuran di bawah 4".
Beragam versi kejadian bermunculan. Ada tudingan penangkaran tersebut tidak memiliki izin dan berada di tengah pemukiman warga. Ada lagi versi mengatakan, Sugito, korban yang tewas dimakan buaya, masuk tanpa izin ke kawasan penangkaran buaya.
Sementara itu, Dirjen Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian LHK, Wiratno mengklaim bahwa buaya-buaya itu milik pemerintah. Wiratno mengatakan, seluruh satwa liar merupakan milik negara, termasuk ratusan buaya yang ada di penangkaran tersebut. Sementara, PT MLA yang mengelola penangkaran tersebut merupakan perusahaan yang mendapatkan izin untuk penangkaran buaya. Â Â Â
Polisi sedang turun tangan guna mengusut kasus ini. Ada ancaman kurungan penjara bagi warga yang melakukan pembantaian. Kabid Humas Polda Papua Barat, AKBP Hary Supriyono mengatakan, pihaknya akan menggunakan pasal 21 ayat 2 huruf a Jo pasal 40 ayat 2 Undang-undang RI nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Hayati dan Ekosistem Jo Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Â
Tiada pembenaranÂ
Dari kasus ini, kita bisa belajar bahwa betapa manusia bisa bertindak lebih kejam dan berbahaya ketika amarah sudah menguasai. Tanpa bermaksud menghilangkan empati mendalam terhadap Sugito dan keluarga, aksi para warga yang melakukan pembantaian rasa-rasanya sulit diterima nalar.
Tiba-tiba saja mereka merasa paling berkuasa untuk melakukan aksinya dengan tanpa batas. Mereka menjadikan peristiwa tewasnya Sugito sebagai alasan dan pembenaran untuk melakukan aksi pembalasan dengan sesuka hatinya.
Fakta lainnya, ternyata kejadian ini dimanfaatkan segelintir orang untuk melakukan penjarahan. Jadi, ini tak lagi murni sebagai aksi protes terhadap pihak penangkar atas kejadian yang dialami Sugito.
Sehingga, aksi pembantaian 292 ekor buaya tidak menghasilkan apa-apa dan justru menimbulkan rentetan masalah berikutnya. Para pelaku harus bersiap menghadapi konsekuensi tuntutan hukum yang ada.