Kalau sekarang, ada menteri yang berniat maju sebagai caleg, entah dia mengundurkan diri atau cuti, tentu dapat dipastikan kinerja di kementerian menjadi terganggu. Itu berarti, program pembangunan pun bisa terganggu. Fokus sang menteri akan terbelah antara menjalankan tugas publik di pemerintahan dengan kepentingan diri sendiri untuk meraih suara calon pemilih.
Potensi pelanggaran etika lainnya adalah penyalahgunaan posisi, sumber daya dan kewenangan yang dimiliki sebagai seorang menteri. Mereka sangat berpotensi menyalahgunakan jabatan dan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan partai.
Mencari pengganti mereka di sisa waktu yang hanya satu tahun lagi pun sepertinya terkesan mubazir. Semestinya, sisa waktu satu tahun ini bisa dimanfaatkan untuk mengerjakan sekaligus menuntaskan program/target yang sudah dicanangkan pemerintahan periode ini di masing-masing kementerian.
Lebih mengkhawatirkan lagi, di antara 34 kementerian di Kabinet Kerja, ada 16 kementerian yang dipimpin oleh menteri yang berasal dari partai politik. Bisa dibayangkan, bagaimana nasib pemerintahan ini, jika para menteri tersebut kompak dan sama-sama maju sebagai caleg?
Ketika yang bersangkutan, penyelenggara, partai politik, bahkan Presiden sekali pun tak terlalu mempersoalkan langkah menteri yang ingin maju sebagai caleg, maka nantinya akan kembali pada para pemilih.
Apakah akan tetap memilih dan memberi kesempatan, atau justru "menghukum" mereka yang telah sengaja mengangkangi etika?
***Â
Jambi, 14 Juli 2018