Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyarankan pemerintah untuk mencabut hak politik Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk menjaga netralitas para pelayan publik itu. Lembaga tersebut berasumsi sudah tak ada ASN yang netral saat ini.
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif KPPOD, Robert Endi Jaweng dalam diskusi "Netralitas ASN dalam Pilkada 2018" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat (24/6). Robert beralasan, saat ini ASN sedang menghadapi kondisi dilematis. Di satu sisi ASN diberi hak politik, namun di sisi berbeda ekspresi mereka dibatasi.
Perlu ditegaskan bahwa hak politik sebagaimana dimaksud Robert adalah hak memilih saat Pemilu. Sebaliknya, ketika ingin mendapatkan hak untuk dipilih, seorang ASN harus melepas statusnya sebagai ASN.
Ini sesuai dengan berbagai ketentuan yang ada bahwa ASN tak boleh terlibat dalam politik praktis. ASN juga tidak boleh terdaftar sebagai anggota partai politik atau terlibat langsung dalam dukung-mendukung calon kepala daerah.
Lebih konkretnya, usulan KPPOD adalah setiap ASN tidak lagi memiliki hak untuk memilih saat Pemilu. Dengan demikian, ASN akan disamakan dengan TNI-Polri yang setiap pelaksanaan Pemilu hanya berperan sebagai "penonton."
Sebelumnya, Dirjen Otda Kemendagri, Sumarsono menegaskan telah memberi sanksi kepada seribu ASN yang dianggap tidak netral. Sebagian besar aparatur negara tersebut ditegur, sedangkan 125 orang mendapatkan peringatan keras.
Sumarsono menjelaskan, biasanya aparatur negara tak mengetahui kesalahan yang mereka buat. Ia mencontohkan unggahan pribadi di media sosial berupa foto bersama pasangan calon kepala daerah.
Membaca berita ini, terus terang nalar saya agak terganggu. Saya rasa ada sesat pikir dalam usulan pencabutan hak politik ASN. Logika berpikirnya jadi kira-kira begini, jika tidak mau ada lagi kasus pemerkosaan terjadi, maka seluruh laki-laki harus terlebih dulu dimandulkan (dikebiri).
Apakah benar sudah tidak ada lagi ASN yang netral saat ini sebagaimana klaim KPPOD? Terus terang saya meragukan kesimpulan ini dan menilainya sebagai asumsi belaka, bukan dari hasil kajian yang mendalam serta faktual.
Lalu, misalnya ketika hak politik (memilih) ASN dicabut, apakah otomatis membuat seluruh ASN menjadi netral? Lagi-lagi, itu pun tak bisa dijadikan jaminan.
Setiap orang termasuk ASN tak bisa dimungkiri pasti memiliki preferensi pilihan politik terhadap partai politik atau kandidat tertentu di setiap ajang pemilu. Hanya saja, sesuai prinsip netralitas birokrasi, seorang ASN dituntut untuk bisa lebih menahan diri dengan tidak mengekspresikan pilihannya terlebih lagi di ruang publik karena bisa dianggap sedang berusaha memengaruhi pilihan politik orang lain (berkampanye).