Pasca aksi teror yang terjadi secara beruntun di Mako Brimob, Surabaya dan Polda Riau, pemerintah melalui pihak keamanan langsung mengambil langkah sigap dan tegas. Penangkapan dan penggerebekan terduga teroris dilakukan di berbagai tempat dan daerah di tanah air.
Memanfaatkan data-data yang dimiliki, polisi melakukan penangkapan terduga teroris di Mojokerto, Cirebon, Probolinggo, Tangerang, Palembang, Tanjungbalai dan banyak tempat lainnya di tanah air.
Upaya-upaya itu bisa dinilai sebagai langkah pencegahan yang bisa dilakukan pihak keamanan demi menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Tak ada yang bisa menduga, kapan dan dimana aksi teror dilakukan.
Langkah-langkah pemberantasan terorisme juga dilakukan dengan melibatkan berbagai kekuatan negara termasuk pasukan "super elite" TNI melalui operasi Koopsusgab (Komando Operasi Khusus Gabungan).
Seperti dilansir beberapa media, Koopssusgab bukan pasukan biasa. Mereka dipilih dari satuan elite yang ada di tiga matra TNI yakni dari Sat-81 Gultor Kopassus TNI AD, Denjaka TNI AL dan Satbravo '90 Korphaskhas TNI AU. Â
Koopssusgab pertama kali dibentuk oleh Moeldoko saat masih menjabat sebagai Panglima TNI pada 9 Juni 2015. Moeldoko kala itu menyatakan Koopssusgab mampu menaklukkan musuh dalam hitungan sangat cepat. Pasukan ini juga dibekali peralatan dan kendaraan canggih. Setidaknya mereka bisa mengoperasikan 2 Heli MI-35 dan 6 Heli Bell TNI AD, 2 Heli Bell 412 TNI AL dan 2 Heli TNI AU SA-330 Puma dan NAS Super Puma. Â
Langkah-langkah cepat dan tegas yang dilakukan pemerintah melalui pihak keamanan termasuk saat memutuskan untuk melibatkan TNI, menimbulkan reaksi beragam. Ada pihak yang mendukung penuh namun tak sedikit pula yang memberikan catatan khusus bahkan penolakan.
Alasan-alasan penolakan kebanyakan bernuansa kekuatiran bahwa kejadian ini akan menjadi "pintu masuk" TNI kembali ke ranah sipil. Negara ini dan banyak negara di dunia punya pengalaman buruk ketika itu terjadi.
Alasan lain adalah terkait aspek legal-formal. Perdebatan soal perlu atau tidaknya melibatkan TNI akan selalu berujung pada pertanyaan, apa dasar hukumnya?. Sementara itu, RUU Terorisme pun masih "mandek" pembahasannya di DPR.
Saya melihat pemerintah saat ini sedang menghadapi ujian sekaligus dilema yang luar biasa beratnya. Aksi beruntun teroris tentu saja berdampak dalam banyak hal mulai dari kepercayaan publik terhadap pemerintah, stabilitas keamanan  nasional, kepercayaan dunia internasional, sosial dan ekonomi, bahkan posisi politik pemerintah.
Dua tahun menjelang akhir pemerintahan periode ini, negara kita akan disibukkan dengan tahun politik yaitu Pilkada, Pileg dan Pilpres. Jangan lupa, tahun 2018 Indonesia juga dibebani tugas berat sebagai tuan rumah penyelenggara pertandingan olahraga antar negara se-Asia yaitu Asian Games.
Tak ada pilihan lain, pemerintah harus sesegera mungkin melakukan langkah-langkah yang bisa meredam aksi teror. Kepercayaan publik dan dunia internasional harus segera dipulihkan.
Pasca teror yang terjadi kemarin, belasan negara sudah mengeluarkan travel advice bagi warga negaranya yang ingin berkunjung ke Indonesia. Beberapa negara dimaksud diantaranya Inggris, Polandia, Perancis, Irlandia, Swiss, Amerika Serikat, Australia, Hongkong, Selandia Baru, Singapura, Malaysia, Kanada, Filipina, Brazil.
Upaya pemerintah dalam membasmi terorisme tak pernah mudah dilakukan. Banyak hambatan sekaligus tantangan, termasuk saat akan mengambil sebuah kebijakan. Pemerintah memang harus selalu mempertimbangkan setiap masukan, kritikan maupun kecaman yang datang. Meskipun seringkali, keputusan dan tindakan penting (berikut risikonya) harus sesegera mungkin diambil agar tak ada lagi korban yang berjatuhan. Â Â Â
Jambi, 18 Mei 2018 Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H