Hari Minggu (12/11) dini hari, Markas Polres Dharmasraya, Sumatera Barat habis terbakar dilalap si jago merah. Aparat keamanan bertindak cepat mengidentifikasi dua orang terduga pelaku pembakaran yang sedang berusaha menghalangi proses pemadaman api oleh petugas. Mereka adalah Eka Fitra Akbar (24) dan Enggria Sudarmadi (25).
Kedua orang tersebut akhirnya tewas di tempat setelah ditembak oleh petugas. Sebelumnya mereka berupaya melakukan perlawanan dengan cara menembakkan busur panah ke arah petugas.
 Polisi masih terus mengembangkan penanganan kasus tersebut termasuk pengungkapan motifnya. Salah satu fakta yang cukup mencengangkan, Eka Fitra ternyata merupakan anak seorang Perwira Polisi yang bertugas di kabupaten Bungo, provinsi Jambi. Sebagai tambahan informasi, kabupaten Dharmasraya dan kabupaten Bungo merupakan dua kabupaten dari dua provinsi berbeda (Sumatera Barat dan Jambi) yang letaknya berbatasan langsung.
Pihak keamanan tidak menampik adanya indikasi keterlibatan Eka dan Enggria dalam kelompok teroris. Dari hasil penyelidikan sementara, diketahui keduanya merupakan anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi kepada organisasi teroris ISIS. Informasi berikutnya yang berhasil diperoleh Kepolisian, Eka pernah menyampaikan keinginan melakukan jihad ke Suriah kepada mertuanya. Â
Kasus pembakaran Polres Dharmasraya kian menegaskan fakta bahwa aktivitas teroris masih tetap ada dan eksis di negara kita. Berulangkali kita mendengar, membaca dan menonton berita keberhasilan petugas menangkap terduga teroris, namun tiba-tiba saja kita dikejutkan oleh aksi teror yang mereka lakukan.
Ibarat patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu. Hampir mustahil rasanya berharap sel-sel terorisme di republik ini benar-benar bisa dicabut sampai ke akar-akarnya. Meski terus dikejar, mereka seolah tak pernah gentar. Perekrutan anggota-anggota maupun sukarelawan baru terus berlangsung seolah tanpa bisa dicegah.
Penyebaran paham dan doktrin radikal secara terstruktur, sistematis dan massif kemungkinan menjadi alasan jaringan teroris ini bisa tetap eksis bahkan berkembang. Bahkan kemajuan teknologi informasi pun bisa dimanfaatkan untuk merekrut lebih banyak anggota baru lewat penyebaran paham dan doktrin "surgawi".
Pada kondisi inilah perlunya seruan buat semua untuk terus meningkatkan kewaspadaan. Aksi teror bisa terjadi kapan dan dimana saja bahkan tanpa dapat diduga. Masyarakat harus memiliki kemampuan mendeteksi dini ciri dan potensi terjadinya teror. Bahkan ketika menemukan hal-hal mencurigakan, harus sesegera mungkin menginformasikannya kepada petugas. Dengan demikian, aksi teror bisa dicegah sedini mungkin.
Satu hal lain yang penting menjadi catatan. Aksi teror yang dialamatkan ke markas aparat keamanan juga menjadi penanda bahwa mereka sedang membuat strategi baru untuk menebar ketakutan. Padahal biasanya aksi teror dilakukan di tempat-tempat keramaian atau tempat-tempat yang dianggap sebagai simbol/produk kapitalisme.
Tujuannya jelas, ingin menunjukkan hegemoni bahwa mereka memiliki kekuatan dan tak pernah takut pada simbol-simbol kekuatan negara. Tujuan akhirnya tetap saja membuat masyarakat merasa ketakutan dan tidak aman. Akhirnya, masyarakat tak lagi percaya pada pemerintah karena dianggap tidak memiliki kekuatan dan kemampuan menghadirkan rasa aman. Â Â
 Aparat keamanan bersama masyarakat memang harus senantiasa bekerjasama untuk mereduksi bahkan mencegah upaya-upaya teror yang mungkin akan terus terjadi. Sekali lagi, kasus pembakaran Mapolres Dharmasraya menjadi bukti nyata bahwa jaringan dan pelaku teror masih ada dan terus bekerja, maka sudah seharusnya kita pun tak boleh lengah dan harus tetap waspada.