Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Serangan Balik Pihak Novanto Adalah Bukti Kepanikan

8 November 2017   22:14 Diperbarui: 8 November 2017   22:32 1995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setya Novanto (SN) melalui tim kuasa hukumnya kembali bermanuver. Setelah beberapa hari sebelumnya melaporkan puluhan akun media sosial (medsos) pembuat dan penyebar meme kliennya, kini dua Pimpinan KPK yaitu Agus Rahardjo dan Saut Situmorang yang menjadi sasaran.

Keduanya dilaporkan terkait kasus dugaan tindak pidana membuat surat palsu atau memalsukan surat dan menggunakan surat palsu dan atau penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan atau Pasal 421 KUHP.           

Pihak Kepolisian mengaku telah meningkatkan status penyelidikan terhadap keduanya ke tahap penyidikan. Kuasa hukum SN mengklaim telah menerima Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP), demikian halnya pihak KPK yang juga telah menerima surat serupa. Kuasa hukum SN optimis kedua pimpinan KPK tersebut akan segera ditetapkan menjadi tersangka.

Bisa ditebak langkah melaporkan dua pimpinan KPK tersebut tentu berkaitan erat dengan perkembangan kasus SN. Sebagaimana diberitakan media, meski tak ada pengumuman "resmi" oleh KPK, status SN sudah ditetapkan sebagai tersangka untuk kedua kalinya. Bahkan, SN juga dicekal bepergian ke luar negeri. Ihwal "ketidaktransparanan" penetapan tersangka inilah yang sedang coba dipersoalkan oleh kuasa hukum SN.

Strategi serangan balik dengan cara melaporkan pimpinan KPK sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Beberapa pimpinan KPK terdahulu pun sudah pernah menyandang status terlapor yaitu: Antasari Azhar, Bibit Waluyo, Chandra Hamzah dan Abraham Samad. Akhir ceritanya sudah kita ketahui; Antasari harus mendekam di tahanan, Abraham Samad harus melepas jabatannya di tengah jalan. Bibit-Chandra dituduh korupsi namun tak pernah terbukti.

Upaya melaporkan pimpinan KPK memang menjadi salah satu strategi yang ditempuh mereka yang sedang dibidik maupun berproses di KPK. Cara ini terbilang efektif selain untuk mengalihkan isu/perhatian juga untuk memperlemah kinerja KPK. Ketika ada pimpinan yang sedang bermasalah, otomatis kinerja KPK menjadi terganggu. Apalagi dalam sistem kinerja KPK dikenal istilah kolektif-kolegial terutama saat pengambilan keputusan-keputusan penting dan strategis.

Namun, penulis mencoba memaknainya dari sisi yang lain. Dari upaya melaporkan secara membabi buta pihak-pihak yang berseberangan dengannya, penulis justru melihat kepanikan luar biasa yang sedang dialami oleh SN dan tim kuasa hukumnya.

Mereka seolah menyadari bahwa kali ini KPK pasti sudah ekstra serius untuk bisa menjerat SN. Pengalaman kekalahan di Praperadilan beberapa waktu lalu, tentu membuat KPK lebih berhati-hati dan tidak boleh kecolongan lagi. Bisa saja, langkah "senyap" yang dilakukan belakangan ini adalah bagian dari strategi KPK.

Bagaimanapun, ini terkait kredibilitas KPK sebagai lembaga antirasuah yang dipercaya publik. Selama ini, siapapun yang sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka, sudah pasti tak bisa melepaskan diri. KPK sudah berpengalaman menjerat "tikus-tikus besar" korupsi mulai dari mantan ketua MK, ketua BPK, ketua DPD dan sebagainya.   

Pertarungan ini kian seru. Publik jangan lengah apalagi tertipu. Kalau hari ini kita melihat SN dengan santai --sampai hampir tertidur- menghadiri resepsi pernikahan putri Presiden Jokowi, jangan dikira SN dan kuasa hukumnya tidak melakukan apa-apa terkait perkembangan kasus yang sedang dijalaninya. Mereka tetap bekerja bahkan bergerilya. Upaya pelaporan dua pimpinan KPK adalah buktinya.   

Kita hanya berharap aparat penegak hukum tetap bersatu untuk memerangi korupsi di negeri ini. Jangan sampai ada lagi gesekan antar penegak hukum yang membuat penanganan kasus-kasus korupsi menjadi terhalang. Sesuai ketentuan Pasal 25 UU Tipikor bahwa proses penyidikan, penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dibandingkan dengan perkara yang lainnya. Semoga aparat penegak hukum kita satu bahasa memahami makna ketentuan tersebut.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun