Akhir Juli lalu, terjadi peristiwa intoleransi agama yang sangat mengejutkan kita. Sebanyak delapan Vihara dibakar dan dijarah oleh sekelompok orang di Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara. Kuat dugaan yang menjadi pemicu adalah kekesalan massa atas keluhan seorang warga tetangga mesjid mengenai kerasnya volume suara di masjid Al Maksum, Tanjungbalai.
Terbakar emosi dan provokasi, amuk massa pun tak terbendung. Beramai-ramai mereka menyerang tempat ibadah umat Budha tersebut. Aparat keamanan tak bisa berbuat banyak. Peristiwa tersebut memperpanjang daftar kericuhan antarumat beragama di Indonesia. Tahun sebelumnya, sudah ada peristiwa Tolikara di Papua dan pembakaran gereja di Kabupaten Aceh Singkil.
Dominasi mayoritas atas minoritas seringkali menjadi sumber segala kerusuhan. Pada kasus Tolikara, mayoritas non muslim mendesak agar minoritas muslim mematuhi ketentuan mereka. Menurut data, lebih dari 250 orang warga muslim terpaksa harus mengungsi akibat kejadian ini. Seorang warga tewas tertembak, belasan rumah dan toko dibakar massa.
Sementara di Aceh Singkil, aksi intoleransi menimpa minoritas non muslim. Dari laporan, setidaknya lebih dari 5.000 jiwa baik muslim maupun non muslim harus mengungsi akibat insiden ini. Amuk massa menewaskan seorang warga dan melukai lima lainnya. Selain itu, gereja juga dibakar.
Pada tahun 2016, kasus intoleransi kembali pecah. Kali ini terjadi di Kalimantan Barat. Ribuan orang yang disebut sebagai mantan anggota organisasi sesat Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) diusir dari kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Rumah mereka dibakar, perkebunan yang sudah mereka rintis pun dirusak paksa oleh massa. Diperkirakan sebanyak 318 kepala keluarga atau setara 1.919 jiwa pun terpaksa diungsikan karena sudah kehilangan tempat tinggal.
Aksi intoleransi juga dialami (secara berulang kali) oleh jemaah Ahmadiyah di beberapa wilayah. Di provinsi Bangka Belitung, lewat peraturan daerah (perda) yang diterbitkan Bupati, sebanyak 20 orang jemaah Ahmadiyah pun diusir secara paksa dari rumah mereka sendiri. Ini menambah panjang daftar kekerasan yang dialami oleh jemaah Ahmadiyah. Sebelumnya, sudah terjadi perusakan masjid Ahmadiyah di Kendal, Jawa Tengah. Lalu ada lagi penyegelan masjid Ahmadiyah di Sukabumi, Jawa Barat.
Melalui media sosial
Kemajuan teknologi di era globalisasi membuat informasi begitu cepat beredar luas. Hanya dalam hitungan detik, peristiwa yang terjadi ratusan bahkan ribuan kilometer jaraknya, sudah bisa langsung tersebar dan diakses oleh pengguna internet. Salah satu produk dari kemajuan teknologi informasi adalah penggunaan media sosial. Itu bisa berwujud facebook, twitter, instagram, dan sebagainya.
Melalui media-media sosial tersebut ratusan bahkan ribuan informasi disebar setiap harinya. Media sosial memberikan “kemerdekaan” seluas-luasnya bagi para pengguna untuk mengekspresikan dirinya, sikapnya, pandangan hidupnya, pendapatnya, atau mungkin sekadar menumpahkan unek-uneknya. Termasuk memberikan kebebasan apakah medsos akan digunakan secara positif atau negatif.
Kita patut prihatin dengan kondisi saat ini. Cukup banyak orang yang menggunakan media sosial untuk menyebarkan kebencian dan provokasi. Salah satu isu yang paling dominan adalah agama.
Pada kasus pembakaran delapan Vihara di Tanjungbalai, Sumatera Utara, pihak kepolisian memperkirakan ada peran media sosial yang ikut memperkeruh suasana. Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebutkan, awalnya protes warga atas pengeras suara di mesjid telah diselesaikan lewat jalur dialog antar pengurus mesjid dan ketua lingkungan serta kepolisian setempat. Namun diduga kuat proses penyelesaian itu sebenarnya belum sepenuhnya selesai. Lewat provokasi di media sosial, kemudian warga beramai-ramai secara sporadis melakukan aksi kekerasan, khususnya pembakaran.