Mohon tunggu...
chairil gibran ramadhan
chairil gibran ramadhan Mohon Tunggu... -

Chairil Gibran Ramadhan, a Jakarta-born writer, is known for both the realistic style of his stories and their plethors of Betawi, native Jakarta, elements.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malam Lebaran

8 Juli 2013   15:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:50 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13732721151456999627

* Diambil dari antologi tunggal pertama Chairil Gibran Ramadhan (CGR) dalam nuansa Betawi: SEBELAS COLEN DI MALAM LEBARAN (Masup Jakarta, 2008). Simak pula resensinya di sini

1

DENGAN sangat mendadak sajadah biru milik Kunto melesat keluar dari musholla yang berada tidak jauh dari rumahnya, saat dzikir ba’da sholat Subuh masih dilafazkannya. Dia berteriak minta tolong, tapi tak satu pun tangan jema’ah mampu menggapai. Ketika dia berusaha meloncat, sajadah terbang kian tinggi dan melesat cepat. Bergerak lurus ke depan, menembus kabut dan awan putih.

Orang-orang hanya ternganga.

Begitu awan yang menyapu penglihatannya hilang, Kunto sudah berada di suatu daerah yang sama sekali tidak dia kenali. Sajadah turun di jalan lengang yang lebar, kiri dan kanannya ditumbuhi jimbuni, ciplukan, jamblang, waru, putat dan kemang. Rumah-rumah bilik berdiri berjauhan.

Orang-orang yang tidak seberapa banyak melintasi jalan, lari tunggang-langgang.

“Engkong Aji! Engkong Aji! Ade setan!”

Satu-dua orang ada yang berani mendekati Kunto meski tidak begitu dekat, memperhatikan dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ada juga yang hanya komat-kamit membaca Ayat Kursi dari balik pohon jali-jali.

Kunto menghampiri seorang bocah lelaki bertelanjang dada, kira-kira 10–11 tahun umurnya, melipat sajadah biru miliknya, menyangkil di pundak, “Ini dimana, Dik?”

Si bocah menatap ketakutan. Dia tahu tidak ada yang bisa dia lakukan selain hanya berdiri. Kakinya serasa tertanam di kulit bumi.

“Ini dimana, Dik?” Kunto mengulang.

“B-Betawi, Bang.”

Kunto melipat dahi, “Tahunnya… tahun berapa?”

“Aye nggak tau, Bang. Sumpah! Tanya aje ame orang-orang nyang rade gede.”

Dahi Kunto lebih berlipat.

Tiba-tiba datang seorang lelaki berkumis lebat bertubuh tinggi besar, “Siape, Un? Sudare, Luh?” Dia memakai kaos oblong bergaris-garis putih-hitam dengan jas lengan panjang abu-abu dan celana panjang hitam di atas mata kaki. Bersepatu kulit cokelat namun tak berkaos kaki.Di kepalanya terlilit rapih ikat kepala kain batik. Dari bicara dan pembawaannya jelas dia bukan orang sembarangan. Tiga orang temannya berpenampilan serupa, namun tak beralas kaki.

Si bocah menggeleng, “Bukan, Bang. Aye nggak kenal. Tau orang mane. Sumpah!”

“Romannye bukan orang sini.”

“Emang bukan, Bang. Die datang dari sono.” Si Bocah menunjuk langit. “Sumpah, dah.”

Si Kumis Tebal tersenyum tipis, “Ah, nyang nggak-nggak aje, luh, Un. Mengkenye jangan maen layangan melulu. Jadi kotok tu mate kene panas.”

“Sumpah, Bang. Aye nggak bo’ong. Tanya aje ame nyang laen dah.”

Si Kumis Tebal mengelus kumisnya, “Teserah ape luh kate aje deh, Un.”

Si bocah hanya menghela napas. “Ya, ude kalo nggak percaye.”

“Eh, lu dateng dari kampung mane?” si Kumis Tebal menatap Kunto.

“Ciputat, Bang.”

“Busyet, jauh amat!”

“Kalau ini namanya kampung apa, Bang?” tanya Kunto mau tahu. Tentu saja dia mau tahu karena kejadian ini begitu membingungkannya.

“Gondangdia.”

Kunto mengangguk-angguk.

“Ude, deh, jangan nanya melulu. Gue buru-buru. Ade urusan. Jangan macem-macem luh di kampung orang.”

“Tahunnya… sekarang tahun berapa, Bang?”

Tapi si Kumis Tebal sudah berlalu bersama tiga lelaki temannya. Dia berjalan di depan.

Kunto melesat lagi, tinggi, diiringi tatapan heran orang-orang yang berdiri sambil komat-kamit membaca Ayat Kursi. Dia melayang-layang di udara tanpa seorang pun menyadari. Dihirupnya udara bersih sepuas-puasnya. Dia melihat Pasar Baru, Mester Cornelis, Pasar Ikan, Kwitang, Pasar Pisang, Marunda, Weltevreden, Velbak, hutan Ancol dan tempat-tempat yang selama ini hanya dia lihat di buku-buku sejarah kota. Dia melihat pula hamparan sawah menghijau dan liukan-liukan sungai yang belum berwarna hitam dan menebarkan bau memualkan.Orang-orang membasuh badan dan mencuci pakaian di sana, memancing dan bersenda gurau di pinggirnya.

Kunto mendarat di sebuah kebun singkong entah milik siapa. Dia melipat sajadah biru miliknya, menyangkil di pundak, menyusuri jalan setapak, berharap tidak ada orang yang melihatnya tadi. Dia terus berjalan tanpa arah, semau kakinya saja. Dia bertanya pada setiap orang yang ditemuinya, tapi tidak satu pun dari mereka yang tahu sekarang tahun berapa, hingga hal itu akhirnya tidak lagi menjadi penting baginya.

Dia terus memuaskan dirinya berkeliling di tanah Betawi.

2

TEKANAN pungutan blaasting sejenak dilupakan. Rumah-rumah sudah dibersihkan, sejak dua minggu lalu biliknya dipoles kapur kembang. Beranda sudah ditata, meja tamu sudah dipenuhi stoples-stoples berisi rengginang, kue satu, kue kembang goyang, nastar, kue biji ketapang, kue semprong dan kacang goreng. Menggantikan combro, misro, kerak telor, kue onde, kue ketimus, kue apem, kue cucur, pesor dan singkong goreng yang sehari-hari ditemui. Manisan kolang-kaling, manisan pepaya, dodol, bika ambon, wajik dan tape uli pun begitu menggoda. Semur daging kerbau, lula dan opor ayam, sudah menunggu pula disantap.

Di hari terakhir bulan Ramadhan ini, selesai berbuka puasa dan sholat Maghrib nanti, anak-anak gadis akan pergi ke pasar membeli bunga sedap malam atau gladiol untuk pengisi jambangan. Bagi yang sudah mempunyai pujaan hati, jelas tidak akan berlama-lama di pasar karena takut sang jejaka yang datang ke rumah terlalu lama menunggu. Hidup mereka yang sangat dipengaruhi Islam membuat hubungan lelaki dan perempuan yang belum diikat tali pernikahan menjadi begitu ketat. Maka malam Lebaran adalah satu-satunya malam untuk sang jejaka bisa bertatap muka dengan gadis pujaannya. Sebab di malam-malam lain dia hanya akan bertemu orangtua si gadis. Namun di malam Lebaran ini pun dia tidak bisa bebas bergerak karena di beranda, sang calon mertua tetap menjaga ketat.

Gema takbir yang terdengar di mana-mana sejak menjelang Ashar semakin membahana di segala penjuru, diiringi bunyi beduk dan tambur yang bertalu-talu, disusul lodong dan petasan yang tiada henti. Seperti halnya orang Cina, orang Betawi biasa mengungkapkan kegembiraannya dengan membakar petasan. Suatu kegembiraan tanpa bunyi petasan rasanya seperti sayur asem tanpa asem itu sendiri. Maka, saat merayakan khitanan atau pesta pernikahan, terlebih saat malam Lebaran seperti sekarang, pasti terdengar “tar-ter-tor”. Dan selama sebulan penuh—tiap menjelang berbuka puasa, sepulang tarawih, sebelum dan setelah sahur—petasan pun selalu dibunyikan.

Setelah sholat Isya dan ikut bertakbir beberapa lama, Kunto menuju pangkalan sado, melipat sajadah biru miliknya, menyangkil di pundak. Dia duduk di bangku bambu panjang di bawah pohon rambutan. Menaikkan kaki dan meletakkan lengan tangan kanan di lutut sebelah kanan, memperhatikan orang-orang yang bertakbir keliling kampung. Banyak pula yang menenteng rantang atau nampan untuk ngejot.

Seseorang menepuk punggungnya, “Enggak baek malem tekebiran ngelamun. Mendingan ke masjid, tekebir.”

“Sudah tadi, Bang.” Kunto menurunkan kaki.

“Lantas kalo begitu ngapain bengong?” Lelaki itu duduk di samping Kunto, selayak teman lama.

“Saya cuma sedang bingung.”

“Bingung? Emangnye ente belon punya baju baru buat besok?”

“Kalau itu nggak saya pikirkan, Bang. Saya cuma sedang memikirkan kejadian yang saya alami…”

“Apaan emangnye?”

Akhirnya Kunto bercerita. Menceritakan semuanya. Dia memang menyukai tanah Betawi yang lengang dan sejuk ini. Tapi bagaimanapun dia mempunyai kehidupan di Jakarta. Ibu, isteri dan anaknya ada di sana. Dia menyayangi mereka.

Tapi lelaki itu malah terkekeh-kekeh dan merangkul Kunto, “Dongeng ente bagus. Mendingan ente jadi tukang dongeng sahibul hikayat aje. Lumayan duitnye.”

“Saya nggak bohong, Bang.”

“Tengtu ente nggak punya duit buat dibagiin besok ke bocah-bocah tetangge ame ponakan-ponakan. Iye?” Lelaki itu membenarkan letak celana panjang batiknya yang berpipa besar, “Malu emang kalo kita nyang ude baleg begini besok nggak sampe bisa ngasih bocah-bocah nyang pade nanggok. Pan cuma setaon sekali. Tapi ane maklum kalo ente jadi bengong. Orang kalo lagi nggak punya duit emang suka macem-macem pikirannye.”

Kunto meringis. “Nanggok itu apa, Bang?”

“Ente kaya’ orang darimane aje. Ente orang Betawi, ‘kan?”

Kunto diam. Orangtuanya memang berasal dari Semarang, tapi dia sama sekali tidak merasa sebagai orang Jawa. Dia belum pernah mendatangi tanah kelahiran orangtuanya, dia tidak mengerti bahasa Jawa dan dia sama sekali tidak mengenal budaya Jawa. Dia hanya tahu bahwa sejak kecil orangtua dan kakek-neneknya selalu menanamkan pemikiran bahwa tetangga yang tinggal tidak jauh dari rumah mereka adalah orang kampung, malas sekolah dan bicaranya “jorok”. Dia tidak bisa berbahasa Jawa meski berdarah Jawa dan tidak boleh berbicara dalam bahasa Betawi meski hidup di kampungnya orang Betawi.

Tapi setelah besar dia tidak ingin menjadi bodoh. Dia tidak ingin memberi cap buruk pada suku mana pun karena semua memiliki kelebihan-kekurangan. Sebab dia juga tidak ingin leluhurnya dianggap terbiasa hidup dalam basa-basi dan memegang “gaya keris” atau “gaya blangkon”: Meliuk indah bagai penari namun ujungnya tajam menghujam, tersenyum di depan namun mengepalkan pukulan di belakang.

“Begini aje. Kalo banyak sih ane emang nggak bisa ngasi. Tapi kalo cuma buat bocah-bocah aje sih, ade.” Lelaki itu melonggarkan tali kantung kecil yang tersimpan di pinggangnya, lalu menyerahkan sekeping picis.

Kunto menatap kepingan di tangannya.

“Kenape? Enggak mao? Bole asil kereje halal, tuh.”

“Bukan begitu, Bang.”

“Kebetulan nih ari petasan ane laris. Abis. Kalo pasan malem tekebiran emang ude pasti begitu. Jadi itung-itung bagi-bagi rejeki, biar kate kite nggak kenal, ane kasi deh ente. Engkali nanti kite jadi besudare.”

Kunto menggenggam picis, “Terima kasih, Bang.”

“Segitu juga cukup ngasi 40 bocah. Atu bocah ente kasi sarang se-goweng Ketimbang nggak, pan lebi baek ngasi. Bukan begitu?”

Kunto tersenyum dan mengangguk.

“Lekasan deh ente pecain. Tuh, di warung si Yung Sin aje. Die baek orangnye.” Lelaki itu menunjuk warung kelontong di seberang jalan, “Ane pulang duluan, deh. Kemaleman kesian ame orang rume. Nyak ame Babe ane ude pade umur. O, iye, ane kudu panggil ente ape nih? Ente punye name siape?”

Kunto menyebutkan namanya.

“Besok abis sembahyang Ied, rade siangan, ente jangan lupe mampir ke rume ane. Noh, nyang di sebrang lapangan tempat Haji Madaroh ngajar silat.Deket dari sini. Tanya aje rume Bang Munirih nyang biase jualan petasan. Pade tau orang-orang.”

“Insya Allah, Bang.”

“Entar ente nyobain deh ketupat ame opor ayam ame sayur pepaye buatan Nyak ane. Sekalian ane pengen denger lagi dongengan ente, bareng Nyak, Babe, ame sodare-sodare. Apaan tadi name tempatnye rume ente?”

“Jakarta, Bang.”

“Ye, Jakarte. Ane ingetnye Jakarie.”

Menjelang tengah malam Kunto kembali ke masjid. Tidak terlalu lama, para ibu dari rumah-rumah di sekitar masjid datang bersama anak-anak gadisnya, membawa tampah-tampah berisi ketupat, sayur pepaya di mangkuk-mangkuk, semur daging kerbau dan opor ayam juga di mangkuk-mangkuk, untuk lelaki-lelaki yang begadang sambil bertakbir. Tak lupa teh tubruk dan kopi kental panas di teko-teko yang ditenteng.

Kunto ikut bertakbir hingga menjelang sholat Subuh.

Sempat tertidur setengah jam. Keletihan.

Lalu dengan sangat mendadak sajadah biru milik Kunto melesat keluar dari masjid saat dzikir ba’da sholat Subuh masih dilafazkannya. Dia berteriak minta tolong, tapi tak satu pun tangan jema’ah mampu menggapai. Ketika dia berusaha meloncat, sajadah terbang kian tinggi dan melesat cepat. Bergerak lurus ke depan, menembus kabut dan awan putih.

Orang-orang hanya ternganga.

Begitu awan yang menyapu penglihatannya hilang, Kunto sudah berada di suatu daerah yang sangat dia kenali. Perlahan sajadah turun dan masuk ke musholla yang berada tidak jauh dari rumahnya.

Para jema’ah yang baru selesai sholat Subuh terheran-heran memandangi, tapi dia memilih tidak menceritakan apa-apa meski para tetangga terus bertanya. Mereka pasti akan menganggap dia gila atau hanya mengarang-ngarang saja.

Kunto tidak peduli.

Lalu sekeping picis pemberian Munirih dia selipkan di bawah permadani musholla.

Gema takbir terus terdengar dari segala penjuru.

Hari Lebaran telah tiba…

Pondok Pinang, 220698

Koran Tempo, 091201

Pajak (Belanda).

Batangan-batangan kapur berwarna putih yang dihancurkan, diberi air dan diaduk di dalam ember kayu. Digunakan untuk mengecat bilik dan dinding.

Daging kambing yang dimasak dengan santan dan kelapa yang diparut.

Berdasarkan ingatan penulis pada sebuah tulisan karya Ridwan Saidi di Majalah Hai.

Kereta beroda dua dengan satu kuda. Seorang penumpang, bersama kusir, duduk di jok depan. Dua orang lain duduk di jok belakang dengan posisi memunggungi kusir. Kata sado sendiri berasal dari dos a dos yang berarti “beradu punggung” (Perancis).

Mengantar masakan di malam Lebaran, ke rumah kerabat, tetangga atau calon mertua. Biasanya berupa ketupat, sayur pepaya, opor ayam atau semur daging kerbau. Prinsipnya si Muda mendatangi si Tua. Mereka yang sudah menikah akan mengajak keluarganya ke rumah orangtua dan mertuanya.

Berlebaran dari rumah ke rumah yang dilakukan anak-anak kecil kepada orang dewasa sambil berharap mendapat uang ala kadarnya.

Kalimat serupa dapat dibaca dalam “Teater Lenong-Betawi” (Ninuk Kleden-Probonegoro, Yayasan Obor Indonesia, 1996, hlm. 2).

Jenis pecahan mata uang di zaman Hindia Belanda, nilainya 10 sen. Bernama lain ketip.

Jenis pecahan mata uang terkecil di zaman Hindia Belanda, nilainya 0,25 sen. Sarang maksudnya seorang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun