Mohon tunggu...
chairil gibran ramadhan
chairil gibran ramadhan Mohon Tunggu... -

Chairil Gibran Ramadhan, a Jakarta-born writer, is known for both the realistic style of his stories and their plethors of Betawi, native Jakarta, elements.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kabar Buku: Sebelas Colen di Malam Lebaran (Chairil Gibran Ramadhan, Masup Jakarta, Oktober 2008) oleh Laora Arkeman

7 Juli 2013   11:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:53 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13731712291440094231

“Malam tak berbulan tak berbintang. Gelap laksana dibalur arang. Pohon bambu di kiri dan kanan bergoyang-goyang, lantaran angin beri tanda hujan bakal datang. Sebelas colen berpisah dan terus bergerak ke arah wetan, sambil berharap di jalan tak bertemu arwah si Setan.” (Cerpen “Sebelas Colen”, hal. 79-88).

SEBELAS COLEN DI MALAM LEBARAN karya Chairil Gibran Ramadhan (CGR) yang diterbitkan Masup Jakarta, adalah antologi 17 cerpen bersetting Betawi, dari kurun waktu 1870 hingga kini. Temanya beragam, mulai dari jawara hingga pelurusan atas mitos “Maryam si Manis Jembatan Ancol”. Tidak ketinggalan tentang kejatuhan Lenong Betawi dan tradisi-tradisi Betawi yang lain. Judul yang dipakai pada cover buku sesungguhnya berasal dari dua judul cerpen di dalamnya: “SEBELAS COLEN” dan “MALAM LEBARAN”.

Peneliti sejarah dan sastra, JJ Rizal, pada sampul belakang buku ini memberikan komentarnya: “Chairil Gibran Ramadhan dalam cerpen-cerpennya mengolah mitos dan foklor serta menangkap pengalaman otentik masyarakat Betawi-Jakarta menjadi kisah kesaksian, namun dengan nada kegelisahan yang kuat akan keburukan-keburukan nasibnya di tengah metropolis Jakarta. Sastra di tangan CGR bukan saja sebagai belles letters (tulisan Indah), lebih jauh lagi sebuah karya yang dapat mengantarkan kepada sejarah sosial Betawi-Jakarta di suatu periode dalam keanekaan budaya dan masyarakatnya.”

Tidak seperti cerita-cerita bernuasa Betawi lainnya yang identik dengan humor, antologi karya anak Betawi daerah Pondok Pinang, Jakarta Selatan ini sangatlah serius, dengan ruh dan atmosfir Betawi dalam latar kejelasan antropologis, sosiologis, dan psikologis yang kuat. CGR bahkan menekankan betul hal ini dalam kata pengantar yang ditulisnya: “Saya ingin memperlihatkan wajah yang lain dari Betawi. Dan untuk seorang Betawi, mungkin saya kelihatan lebih serius dalam memandang Betawi. Maka cerita-cerita pendek saya bisa dibilang tanpa humor—sesuatu yang lekat dengan kehidupan masyarakat Betawi.”

Karya CGR selain realis, juga ada yang surealis, dan menyentuh wilayah-wilayah mitos, folklore, sejarah, budaya, bahkan politik. Ia pun melengkapi cerpen-cerpennya dengan catatan kaki yang lengkap (seluruhnya berjumlah 157), semisal perbedaan bahasa Betawi dengan sub-dialek Betawi Tengah dengan Betawi Pinggir, dan sisik-melik berbau Betawi lainnya. Dalam bercerita, CGR menggunakan bahasa Betawi pada bagian dialog, sementara bagian narasi menggunakan bahasa Indonesia. Ini dapat dilihat dalam cerpen-cerpennya, seperti “Malam Lebaran”, “Stambul Panjak”, “Keleang”, “Sebelas Colen”, dan lainnya.

Kiranya patut disyukuri kehadiran CGR dalam kancah sastra nasional, karena ia membawa gaya baru dalam sastra Betawi—yang tidak berkiblat pada gaya Firman Muntaco yang menggunakan bahasa Betawi sepenuhnya dan berhumor-humor. Seperti diakui CGR, awal ia menulis sastra bernuansa Betawi karena setiap kali membuka media nasional yang memuat cerpen di hari ahad-nya, ia tidak menemukan cerpen yang membawa setting Betawi. Baginya ini sangat mengenaskan, karena ibukota ada di Jakarta yang nota-bene adalah kampungnya orang Betawi—namun ternyata tidak ada orang Betawi yang menjadi sastrawan yang membelanya dalam sastra di media nasional. Untuk “mengakali” supaya bisa diterima di media nasional, ia pun menggunakan bahasa betawi hanya pada dialognya, sedangkan bagian naratif dalam bahasa Indonesia baku.

Sedangkan alasan tidak berhumor-humor, lantaran ia ingin merekam sesuatu yang berbeda dari Betawi, yang baginya sudah cukup menjadi bahan tertawaan di media televisi. Maka cerpen-cerpennya, selain bebas lepas dari pengaruh sang maestro Firman Muntaco, juga berbeda dengan sastrawan Betawi lainnya, macam M. Balfas, S.M. Ardan, atau Zaidin Wahab. Dan karya CGR, dalam istilah orang Betawi, "begitu mateng pu’un" alias bukan karbitan.

Berkat langkah itu, CGR oleh Ahmadun Y. Herfanda (Redaktur Sastra Republika), pernah diduduksejajarkan dengan para sastrawan senior Danarto (Islam–Kejawen), Korrie Layun Rampan (Dayak), Kuntowijoyo (Jawa), dan Taufik Ikram Jamil (Melayu-Riau), sebagai penulis yang membuat karya-karya bernuansa lokal dengan nilai-nilai budaya etniknya (Republika, 28 Mei 2006), serta sebelumnya pernah masuk dalam buku “Leksikon Sastra Jakarta” (DKJ dan Bentang Budaya, 2003), dengan kekhasan pada cerpen-cerpen bernuansa Betawi. yang tidak berkiblat pada gaya Firman Muntaco yang menggunakan bahasa Betawi dan berhumor-humor. Selamat menikmati “masuk ke kampung-kampung Betawi” lewat cerpen-cerpen CGR.

~ Lukisan sampul: Sarnadi Adam; Penyelaras Akhir: Fadjriah Nurdiarsih; Desain Sampul & Isi: Sarifudin Anwar; ISBN: 979-3731-33-8, viii+144 hlmn; 13x19cm, Rp. 30.000,- (Penerbit Masup Jakarta: 021-7720-6987).

* Laora Arkeman, penulis dan editor. Cerpennya tampil dalam “Menagerie 5” (The Lontar Foundation, 2003, antologi bersama), “Si Murai dan Orang Gila” (Dewan Kesenian Jakarta, 2010, antologi bersama), dan “Aku Sakit Jiwa!” (Penerbit Padasan, 2012, antologi tunggal).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun