Mohon tunggu...
chairil gibran ramadhan
chairil gibran ramadhan Mohon Tunggu... -

Chairil Gibran Ramadhan, a Jakarta-born writer, is known for both the realistic style of his stories and their plethors of Betawi, native Jakarta, elements.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kabar Buku: Aku Sakit Jiwa! (Laora Arkeman, ed. Chairil Gibran Ramadhan)

7 Juli 2013   18:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:53 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



ENDORSEMENT

Kekuatan cerpen-cerpen Laora Arkeman terletak pada monolog atau solilokuitokoh-tokoh yang meng-Ada dengan satu misi utama untuk  mengkritisi kebenaran mutlak atau kebenaran umum. Mereka mungkin saja buruh, pesakitan, orang gila, janda, atau sastrawan sakit jiwa. Seluruhnya hadir nyaris dengan “kesamaan-bawaan”: Orang dengan kualitas deep-thinking dan cenderung Popperian yang berupaya melakukan empirical falsification untuk menemukan kebenaran lain, kebenaran yang lebih individual. Cerpen-cerpen Laora Arkeman adalah filsafat yang dinarasikan.

(Cecep Syamsul Hari, Penyair & Redaktur Majalah Sastra Horison)

Nada prosa yang berkecenderungan pada hakikat pencarian diri, dalam amatan saya, cenderung agak kelam dan tak sekali mudah dimengerti. Ada semacam alienasi yang menyerupai konstruksi anasir diri yang pada awalnya membawa keterbata-bataan resepsi. Akan tetapi, ketika tabir mulai terkuak, menyeruak pula adanya daya pukau yang untuk beberapa jenak mampu memenjara renungan. Dalam kaitan seperti ini, Laora Arkeman telah hadir di depan kita dengan pukauan naratifnya yang di sana-sini sungguh terasa daya entak dan sentaknya.

(Ibnu Wahyudi, Pengamat Sastra & Pengajar di FIB UI)

Melalui cerpen-cerpennya, Laora Arkeman mencoba menyelami beberapa masalah sosial dengan menggali sisi-sisi terdalam dari perasaan manusia yang menjadi korbannya, langsung maupun tidak langsung. Sudah tentu masalah sosial selalu kompleks, dan dengan caranya  Laora Arkeman memberi simpati kepada para tokoh. Karyanya sendiri sederhana, namun seringkali mengejutkan dan mengharukan.

(Jamal D. Rahman, Pegamat Sastra & Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison)

Salah satu cerpen dalam buku ini, Orang Gila, dipilih sebagai judul antologi bersama Dewan Kesenian Jakarta 2010. Ini sungguh sebuah penghargaan atas kekuatan bercerita secara dramatis yang dibuat Laora Arkeman. Dalam antologi tunggal pertama ini pun ia memperlihatkan kemahiran berimajinasi secara sempurna. Beberapa cerpen sangat menonjol, seperti Meja Hijau danDukun, yang memperlihatkan kekuatannya sebagai penulis perempuan yang mampu memasuki kehidupan beragam orang.

(Dr. Zeffry Alkatiri, Pengajar di FIB-UI)


CATATAN PENYUNTING

Kemunculan banyak karya tidak selalu berbanding lurus dengan kedalaman penceritaan. Banyak kata dihamburkan namun jauh dari makna dan kedalaman. Seperti buih, layaknya kapas. Para penikmat dan pengamat sastra, ketika menyentuh wilayah kedalaman cerita, kiranya harus membicarakan nama Laora Arkeman. Pengamat sastra dan pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UI, Ibnu Wahyudi, saat peluncuran antologi bersama Si Murai dan Orang Gila: Bunga Rampai Cerpen Panggung Sastra Komunitas Dewan Kesenian Jakarta, memuji cerpen “Orang Gila“ karyanya seraya menyebut sebagai ”cerpen yang paling mendalam penjiwaannya”.

Aku Sakit Jiwa! adalah antologi cerita yang sangat memukau. Tiap cerita begitu dalam penuangannya, dengan penjiwaan yang kuat seakan ditulis sendiri oleh tokoh-tokohnya. Penulis menyajikan tema-tema keras melalui perempuan sebagai sosok kokoh menakjubkan tanpa perlu mengeksploitasi seks dan erotisme. Sebuah penyegaran di tengah kesumpekan. Semoga buku ini menjadi pem(a)icu Laora Arkeman untuk terus berkarya, memberi rasa dan nuansa bagi kesusastraan kita, meski sebagai penyendiri yang tidak pernah bersinggungan dengan komunitas sastra. Ini kemestian, demi menjaga Aku Sakit Jiwa! tidak sekedar penambah memorabilia dalam jejak. Karena sesungguhnya kesetiaan seorang penulis atas kekayaan bathin, dan merangkainya dalam karya, turut memberi warna dalam kekayaan dunia budaya kontemporer kita. Di sisi lain, jejak kaum ini dalam jalan setapak menuju puncak mestinya juga menjadi jalur aman yang dilalui “para pendaki” lain, meski jalur-jalur yang belum terbuka begitu memberi peluang untuk terus melangkah sampai di tujuan. (Chairil Gibran Ramadhan/CGR)

Menjajah Lelaki (Catatan untuk Laora Arkeman)

oleh Joni Ariadinata

~ diambil dari Jurnal Sastra edisi September 2012 (Perdana), terbitan Macca Institut, Bandung bekerjasama dengan Penerbit Padasan, Jakarta. Dapat disimak pula di http://www.sastradigital.com/jurnal-sastra

“Ada banyak cara untuk menjajah lelaki, diantaranya adalah dengan menuliskan keliaran perempuan yang menjadi korban lelaki.”

Kata-katanya gahar dan sinis. Ia menulis tokoh sundal sebagai cara lain untuk menegakkan martabat. Ia memilih tokoh sakit jiwa untuk menertawakan kehidupan normal. Siapa bilang dengan cara itu perempuan tak bisa bahagia? Seperti lelaki, perempuan adalah makhluk yang harus bahagia.

Dalam cerpen kebanyakan—cerpen berpihak yang mengangkat tema kekerasan lelaki terhadap perempuan—maka korban akan menempatkan dirinya pada posisi yang merintih, mengiba, dan menangisi diri dalam kepasrahan (sambil berharap Tuhan akan menolongnya dengan penuh kebaikan). Atau, ia melawan dengan menjadikan keperempuannya seperti lelaki, yang punya kekuasaan untuk menaklukkan (bila perlu mencemo’oh) para lelaki itu, dengan cara paling hina.

Tapi lain dengan cara Laora Arkeman: Ia melawan, dengan cara menghancurkan diri seluber-lubernya, kemudian mengklaim diri sebagai penghuni neraka, untuk bangkit menjadi zombie.

Ada seorang perempuan cantik yang diduga akan memiliki masa depan gemilang (yakni selalu menjadi juara di kelasnya)—mestinya, meskipun lahir dari keluarga miskin, ia kelak akan menjadi perempuan cerdas yang sanggup mengisi kedudukan penting. Ia memiliki tanggung jawab bagi masa depan adik-adiknya, ia baik dan beriman, ia ingin keluarganya kelak (melalui masa depan adik-adiknya yang ia sekolahkan, sebab ia sendiri rela berkorban untuk tidak melanjutkan sekolah dan bekerja), tidak mengulang sejarah pahit bergelimang kemiskinan. Tapi ia yang beriman, berhati baik, bertanggung jawab, dan juga cantik itu: Diperkosa. Maka kemudian ia ganti menjadi pemerkosa, dengan memintanya menjadi simpanan—menjadi gundik.

Tapi ternyata menjadi gundik itu tidak enak. Siapa bilang menjadi istri simpanan itu enak? Maka ia kabur, dan menjadi sundal dibawah germo. Tapi ternyata menjadi sundal dibawah germo itu juga tidak enak, sebab germo dengan sebutan “Mami”, yang gembrot dan buruk rupa itu selalu cerewet dengan perintah-perintah: “Kau harus bisa melayani sebanyak-banyaknya tamu, Jadah!” atau “Lebih cepat selesai, lebih baik! Banyak tamu lain menunggu!”. Maka ia kembali kabur dan menjadi sundal yang bebas menentukan mana lelaki wangi yang layak ia perkosa uangnya, ataukah lelaki bau yang patut diusir jauh-jauh. Ia kemudian bergelimang uang dan menjadi sundal yang sukses.

Saya awalnya menduga, bahwa kisah ini akan cukup diakhiri sampai di sini. Atau, minimal tokoh itu akan menyuntik dirinya dengan virus HIV supaya bisa membunuh para lelaki dan juga menularkannya pada para istri lelaki-lelaki itu di rumahnya. Lalu tokoh akan tersenyum sebelum mati. Sebab bagi pembaca seperti saya, yang sudah teramat bosan dengan cerpen-cerpen linear tentang persoalan gender, akhir menjadi sundal yang bebas saja sudah lebih dari cukup.

Tapi begitulah enaknya pengarang seperti Laora Arkeman, ia bisa saja berkhianat dari pakem yang saya harapkan. Setelah puas memainkan tokohnya dengan sinis dan gahar, ia tiba-tiba ingin membikin tokohnya wajar dan sempurna. Maka ia buat tokohnya tiba-tiba punya rindu. Lalu pulang ke kampung, melihat adik-adiknya yang ia sekolahkan telah semakin bertambah besar, lalu menangis seperti layaknya perempuan sejati yang butuh menangis. Di tengah kebahagiaan tangisan tokoh memeluk adik-adiknya, tiba-tiba saja ketahuan oleh suami germo gembrot yang bernama Djaritmo. Kenapa tiba-tiba Djaritmo (yang sejak awal diceritakan bahwa ia adalah pencari calon pelacur di desa-desa, dan perlu diketahui bahwa lewat Djaritmo inilah sang tokoh dulu kabur kemudian menjadi sundal di bawah asuhan germo/istri Djaritmo) bisa ada bersamaan “berkebetulan” dengan kehadiran sang tokoh di desa? Kenapa ada adegan serius menyelinap di tengah kisah rumit semacam ini. Dugaan pembaca kebanyakan, tentu saja supaya cerita ini semakin rame, karena sang tokoh, dibawah ancaman Djaritmo bisa kembali ke pangkuan germo biadab yang akan menguras rasa belas kasih pembaca. Biar kebahagiaannya menjadi pelacur sukses terganggu, biar konfliknya bisa bermacam-macam rasa.Biar seperti cerita pendek betulan, sehingga pembaca menjadi lega.

Saya tentu tidak hendak menyayangkan bahwa di balik cerpen Laora Arkeman yang bebas dan asyik dengan keliaran-keliaran dendam bawah sadar ini (dengan catatan sangat hormat, bahwa saya sangat menyukainya), telah ada upaya “kebetulan” untuk merapikan cerita.

Saya juga tidak hendak menyayangkan bahwa di antara sederet cerpen yang tak biasa, terselip cerpen dengan judul “Kepada Ytc. Anakku” yang mengharu-biru. Tentu saja, kepada semua khalayak pembaca Laora Arkeman berhak menunjukkan bahwa lewat cerpen “Kepada Ytc. Anakku” ia bisa memamerkan kepiawaiannya menuliskan cerita pendek yang lembut, dengan sepenuh-penuhnya sedih sehingga pembaca yang peka akan bisa menangis—sehingga dugaan bahwa ia hanya bisa menulis dengan dingin dan gahar bisa terpatahkan. Seperti juga ia berhak menyelipkan cerpen dengan judul “Dukun” yang mengalir jernih seperti petualangan dongeng seorang hero dimasa kanak-kanak, yang begitu memikat dengan teknik bercerita yang luar biasa. Atau ia juga bisa menyelipkan sebuah cerita pendek dengan alur rumit berjudul “Bus” yang berseliweran seperti anak panah, tetapi tidak kehilangan pesona keindahannya.

Di luar semua harapan saya yang subjektif, yang menangkap ada sesuatu yang lain dalam dua cerpen yang paling saya sukai (“Di Persimpangan”, dan “Orang Gila”), kumpulan cerita-cerita pendek Laora Arkeman telah memberi warna yang lumayan berbeda. Sepuluh cerita pendek yang dikumpulkan dengan spirit bunga rampai ini, niscaya akan menjadi taman persinggahan bagi setiap pembaca yang menyukai tantangan.***

~ Lukisan sampul: Lztunggul Panjaitan; Desain Sampul & Isi: Sarifudin Anwar; Penerbit Padasan, ISBN: 978-602-19280-3-5; 128 hlmn; 13×19cm; Rp. 50.000,-)

Penerbit Padasan:

FB: https://www.facebook.com/penerbit.padasan?fref=ts

PAGE: https://www.facebook.com/pages/Penerbit-Padasan/318097591563141?fref=ts

BLOG: http://penerbit-padasan.blogspot.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun