Mohon tunggu...
Syafa'at Muhammad
Syafa'at Muhammad Mohon Tunggu... -

Duluuuuuuuu sekaliiiiii, pengen ke luar negeri. Akhirnya keturutan setelah menjadi TKI di Ecuador dan UAE. Enggak keren bangettt yakkkkk .... hihiii. Yo wes, seng penting di syukuri wae

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sibotak Berkepala Merah; Pemakan Bangkai yang Aduhai

20 April 2014   21:05 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:26 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_332499" align="alignright" width="285" caption="Source : barbarascamera.com"][/caption]

Seekor burro (keledai) telah terbujur kaku di tepi jalan yang menuju Puerto Inca dari camaronera (pertambakan) paling terkenal di Ecuador yang berada di Duran Tambo. Bangkai itu tergeletak di atas padang rerumputan yang memang banyak menghiasi rute perjalanan menuju Guayaquil, letaknya  tidak terlalu dekat dengan tepian jalan raya, kurang lebih dua puluh meter. Keledai merupakan salah satu hewan yang banyak ditemui di kawasan pedesaan atau atau padang rumput di sekitar kawasan ini. Bahkan tidak jarang para ‘koboi’ yang menggembala sapi menggunakan hewan ini sebagai tunggangan, namun hanya mereka yang tidak berbadan besar yang bisa menungganginya. Selebihnya untuk mereka yang berbadan besar akan memilih kuda sebagai hewan tunggangan berkoboi ria.

Koboi? Benarkah para penggembala sapi itu para koboi? Inilah uniknya, di pedesaan sepanjang Puerto inca-Naranjal-Duran-sampai mendekati Guayaquil kita akan menemui sejumlah pria dengan pakaian koboi mengendarai kuda atau keledai untuk menggembalakan sapi, yang biasanya berjumlah puluhan ekor. Para pengembala itupun tidak sendirian, mereka biasanya terdiri dari beberapa orang. Dalam kacamata orang Indonesia, pemandangan ini nampak seperti film koboi di jaman dahulu.

Sapi merupakan hewan ternak penting selain babi, mereka diternak secara besar-besaran di areal finca de cocoa (kebun kakao) tak jauh dari kawasan camaronera itu. Beruntungnya lagi, tak jauh dari lokasi ini kita akan mendapati kawasan konservasi hewan Hacienda Jambeli yang berisi beberapa spesies hewan yang dikonservasi dan boleh dikunjungi dengan izin dari petugas yang menjaganya, dan gratis. Setiap melewati areal ini, tak pernah kulewatkan untuk menikmati pemandangan ratusan sapi itu, mereka sibuk mengunyah rumput yang hijau dan segar.  Sapi-sapi itu terlihat gemuk dan sehat. Dan jika sedang saatnya, ada ratusan anakan sapi yang baru dilahirkan menyusu pada induknya, terlihat sangat lucu. Dan dalam penglihatanku, berternak sapi nampaknya tidak terlalu sulit dan tidak memerlukan banyak tenaga kerja bila dilakukan dengan pola yang tepat. Mungkin ini pula sebabnya harga daging sapi di Ecuador relatif murah, sekitar tiga dollar perkilo. Dan harga sapinya sekitar 300-400 dollar per ekor. Itu aku ketahui dari bertanya pada beberapa rekan warga asli negeri itu, dan tidak melakukan riset langsung di lapangan.

Berbicara mengenai keledai, yang bangkainya aku temui teronggok di tepian jalan itu, konon katanya bagi para penduduk yang mendiami province de Manabi, ada suatu kebiasaan unik dimana para remaja pria mempunyai kebiasaan untuk (maaf) berhubungan seksual dengan keledai sebagai tanda bahwa mereka memasuki fase baru sebagai manusia dewasa. Rekan-rekanku mengatakan ini dengan sebutan ‘burrido’. Mengenai kebenarannya, aku tak tahu pasti, namun hampir semua pekerja yang berasal dari provinsi Manabi mengatakan hal itu sambil tertawa terbahak-bahak. Paling-paling aku jadi ikut tertawa dengan keterbukaan para ‘Ecuatoriano’ ini.

Semula ketika melihat bangkai keledai teronggok di dekat jalan raya itu, aku berpikir nanti mungkin ada petugas yang akan membuangnya, namun ternyata aku salah. Karena seminggu kemudian ketika aku kembali melewati jalan itu bangkai itu masih ada dengan menyisakan remahan daging membusuk yang tercecer dikelilingi burung botak berkepala merah pemakan bangkai. ‘Gallinazo cabeza roja’ (Cathartes Aura) Ecuadorean (warga Ecuador) menyebutnya demikian. Yang artinya kurang lebih ‘burung berkepala merah’. Namun, sebutan ini akan berbeda untuk negara lainnya. Orang kolombia menyebutnya Guala cabeciroja, orang  Costa Rica dan Nicaragua menyebutnya Zapilote cabecirojo, di Mexico burung ini di sebut Aura común, sedangkan di Honduras disebut Cute dan panamá menyebutnya dengan Noneca. Dalam bahasa Inggris burung ini disebut dengan nama Turkey Vulture. Bila istilah turkey dipakai untuk menyebut kalkun. Maka penyematan nama ini pada sang burung pemakan bangkai ini mungkin dikarenakan adanya kemiripan pada tipe kulit yang menutupi wajah burung Hering ini dengan sang kalkun, yaitu sama-sama berbintil-bintil dan bergelambir. Penyematan kata vulture yang artinya pemakan daging mungkin tidak perlu ditanyakan lagi.

Jika diamati dengan seksama, si ‘Gallinazo’ ini memang seksi dan aduhai. Postur tubuhnya sepertinya mirip burung elang, begitu pula caranya terbang. Ditambah lagi kepalanya yang botak dan wajahnya yang berwarna merah dan bergelambir, tampak garang. Kemampuan paruhnya untuk mengoyak daging dan bangkai pun tak dapat diragukan. Ukuran berat badannya sekitar 2 kilogram, namun bulunya lebat dan panjang membuatnya terlihat lebih besar dari berat sebenarnya. Benar-benar sangar bagi kita yang belum pernah melihatnya.

Penyebarannya mencakup America Selatan dan Amerika Tengah di sepanjang tahun, sedangkan di Amerika utara hanya ada saat Verano(summer season. Konon, Turkey Vulture yang adadi benua Amerika tidak ada kaitan dengan yang tersebar di Eropa, Afrika dan Asia. Sehingga tersebutlah istilah Old World Vulture untuk para Hering yang tersebar di Eropa, Afrika dan Asia ini, sedangkan New World Vulture untuk burung Hering yang meliputi benua Amerika, pembedaan ini dikarenakan perbedaan nenek moyang sang burung, namun pembagian ini masih belum jelas dan masih diperdebatkan ilmuwan.

Hering berkepala merah  ini mempunyai ‘saudara kembar’ yang bernama ‘Gallinazo cabeza negra’ (Coragyps Atratus) yang artinya kurang lebih ‘burung berkepala hitam’. Keduanya secara kasat mata mempunyai ciri fisik yang sama, dan sama-sama pemakan bangkai.

[caption id="attachment_332498" align="alignright" width="293" caption="cource :avesdechile.cl"]

13979763021666853896
13979763021666853896
[/caption]

Hanya warna kepalanya yang berbeda. Bahkan keduanya juga selalu menghadiri ’pesta bangkai’ secara bersama-sama. Hanya saja ketika tidak ada hidangan yang tersedia, yang aku lihat, gallinazo cabeza roja hanya mau berkumpul dengan dengan mereka yang botak dan berkepala merah, begitu pula sebaliknya.

Cara Burung ini Bereproduksi

Di Amerika Selatan, burung ini biasa bereproduksi antara Maret sampai Mei, mereka berkumpul dalam sebuah lingkaran diiringi gerakan melompat dan melebarkan sayap di lingkaran itu, sedangkan jika di udara seekor burung akan terus mengikuti pasangannya.

Jika telah menemukan pasangan yang cocok, burung ini kemudian akan bertelur di tebih, goa, celah batu, atau pohon berlubang, yang kemungkinan aman dari pemangsa, sang betina biasanya akan bertelur sebanyak dua atau tiga butir berwarna krem, dan akan menetas selam kurang lebih satu bulan.

Peran Pentingnya Bagi Ekosistem

Jangan pandang  sebelah mata pada burung ini. Peran pentingnya dalam menjaga ekosistem tidak bisa disepelekan. Seperti kasus matinya seekor keledai itu, jika saja tanpa bantuannya, mungkin perlu waktu yang cukup lama untuk mengurai bangkai itu, bahkan bisa jadi akan terjadi pencemaran dimana ada suatu bangkai tidak lekas terurai.

Masih ingat pelajaran biologi saat sekolah dahulu? Dimana Darwin melakukan penelitian terhadap burung Finch? Yap, Kepulauan Galapagos! Yang termasuk wilayah negara Ecuador. Ecuador memang kaya akan beragam jenis burung, bahkan terkadang satu jenis burung bisa ditemui dengan begitu melimpah, seperti yang aku lihat dikawasan camaronera ini, yang merupakan kawasan estuari, yaitu tempat pertemuan air asin dari laut dan air tawar dari sungai Guayas, yang merupakan sungai terbesar di Ecuador. Dikawasan ini aku sering menemui kawanan burung camar, burung kuntul, burung pelican, bahkan flamingo mencari makan di tepian kanal atau bahkan di dalam kolam budidaya. Karena jumlahnya yang besar, maka seringkali bangkai mereka aku temui terserak di beberapa tempat. Ditambah lagi bangkai dari tilapia dan pesca de corvina juga menyemarakkan tepian kanal yang menjadi sumber air bagi kolam. Disinilah kemudian peran penting burung pemakan bangkai ini telihat nyata. Dengan sigap mereka datang bergerombol, mengucapkan salam pada sang bangkai, lalu melumat habis tubuh sang bangkai dengan sigap. Dan pencemaran lingkungan akibat bangkai pun bisa terhindarkan.

Kamu memang hebat pak Botak ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun