[caption id="attachment_335093" align="aligncenter" width="320" caption="source : catatansosiologi.blogspot.com"][/caption]
10 tahun aku menjalani hidup seperti ini : hidup dibelantara sepi dan terisolir dari dunia luar. Tak ada satupun mobil yang bisa masuk di dalamnya, bahkan saat itu motor pun tak ada yang memiliki, bukan karena tidak sanggup membeli. Namun motor akan sulit digunakan untuk daerah seperti itu itu, sekeliling rumah penduduk di kelilingi kanal berisi air payau. Hanya ada sepeda yang bisa digunakan berlalu lalang menuju ke pasar, ke sekolah atau main ke tempat tetangga. Tak ada mall, tak ada bioskop, tak ada kolam renang, tak ada tempat rekreasi bahkan sumur pun tak ada yang punya. Untuk kebutuhan MCK dan memasak, semua warga membuat bak besar yang kemudian dilapisi plastik tebal HDPE. Bak itulah yang digunakan para warga untuk menampung air hujan yang jatuh di atap-atap rumah mereka yang kemudian akan mengalir melalui talang air lalu jatuh ke dalam bak yang telah di buat tersebut.
Musim hujan adalah musim yang disenangi oleh penduduk karena di musim inilah mereka bisa memanen air, bisa mandi sepuasnya, bisa membilas cucian hingga bersih, dan bisa hilang kerisauannya akan kekurangan air. Meskipun jalan menjadi becek dan menyulitkan anak-anak yang hendak pergi ke sekolah, namun itu tidak mengurangi rasa senang mereka akan tetes-tetes air hujan yang mengisi bak penampungan mereka. Yang menjadi catatan penting bagi warga, bagaimana saat di penghujung musim hujan semua bak mereka terisi penuh dan siap menanggung kebutuhan air mereka sepanjang musim kemarau. Karena jika tidak, mereka harus  berhadapan dengan masalah kekurangan air. Lantas jika ada yang bertanya mengapa warga tidak membuat sumur atau bahkan sumur bor? Bukannya tidak ada yang berpikir dan berkeinginan demikian, hal itu tidak mungkin di lakukan di daerah mereka. Kalaupun mereka membuatnya, sumur itu akan terisi oleh air berwarna keruh kehijauan dan berasa asin, jika digunakan untuk mandi, setelah badan kita keringkan menggunakan handuk maka akan ada butiran halus garam di sekujur tubuh dan badan terasa lengket. Jika digunakan untuk mencuci, sabun atau deterjen yang digunakan tidak berbusa, pakaian menjadi kuning setelah kering, bahkan kainnya menjadi rapuh. Itulah sebabnya air hujan menjadi tumpuan bagi warga untuk memenuhi kebutuhan mereka akan air bersih. Dan ini menjadi keunikan sendiri, di seluruh rumah warga akan kita temui bak-bak besar yang bahkan luasnya terkadang hampir sama dengan luas rumah mereka, karena air dalam bak itu harus mampu bertahan selama musim kemarau.
Hidup di daerah terisolir membuat penduduk haus akan hiburan, bila ada pasar malam yang sengaja di adakan setiap menjelang peringatan hari kemerdekaan, berduyun warga berdatangan meski harus dengan pengorbanan menyusuri kanal-kanal air payau menggunakan sampan, perahu bermotor (klotok) atau speed boat. Dan tahukah anda, di sepanjang kanal itu banyak di huni buaya muara berbagai ukuran, bahkan tidak sedikit yang berukuran sangat besar. Jika kita menyusuri kanal itu saat mentari pagi baru meninggi, dan air kanal sedang surut maka kita akan melihat buaya-buaya itu menepi dan berjemur di bawah sinar matahari. Menarik sekaligus mungkin bisa bikin ngeri untuk sebagian orang.
Hidup di daerah terisolir juga membuat warga jarang melihat mobil. Bahkan di tahun 1997, pernah selama 6 bulan aku tidak pernah melihat mobil. Dan begitu aku melihatnya karena hendak pulang kampung, mobil itu terlihat sesuatu bagiku. Hidup di daerah terisolir juga membuat hubungan antar masyarakat menjadi dekat, saling mengunjungi dan dan bercakap-cakap adalah hal rutin yang dilakukan warga di sela-sela kesibukan mereka. Hidup di daerah terisolir juga membuat para orang tua mempunyai banyak waktu untuk mendidik anak-anak mereka. Maka tidak jarang aku menemukan balita yang belum masanya masuk TK namun sudah bisa membaca, sudah bisa membaca Al-qur’an dengan lancar dan sudah hafal juz amma. Anak-anak di daerah itu memang rata-rata cerdas karena mereka dikelilingi oleh sumber protein hewani yang melimpah ruah dari ikan dan udang. Hidup di daerah terisolir juga membuatku yang berstatus sebagai penyuluh kerap kali mendapat kiriman ikan, udang dan bermacam sayuran dari warga.
Sisi Mengerikan di Daerah Terisolir
Ini adalah kejadian yang dialami seorang warga, saat aku hendak mengadakan penyuluhan, ada sebuah rumah yang ditinggalkan penghuninya, kepada warga lainnya aku bertanya kemana penghuninya? Dari warga aku mendapat informasi jika orang tersebut sudah tidak lagi tinggal dirumah itu karena beberapa waktu sebelumnya tangannya di gigit buaya saat mencuci sepatu boot di kanal depan rumahnya.
Cerita lain yang aku dapat dari pergaulan sehari-hari di daerah itu adalah ada pula warga yang istrinya meninggal karena pendarahan saat melahirkan. Dan harus dirujuk ke rumah sakit yang ada di pusat kota. Itu bukanlah hal mudah bagi warga, karena mereka harus mengarungi kanal untuk sampai di daratan yang terdapat angkutan darat di dalamnya. Setelah itu mereka harus pula menjelajahi jalanan yang penuh batu terjal dan becek jika hujan selama berjam - jam untuk sampai di pusat kota. Itulah sebabnya melahirkan di daerah itu cukup rawan bagi para ibu yang kondisi tubuh dan kandungannya bermasalah.
Di mess tempatku tinggal, aku dan beberapa rekan memelihara beberapa ekor ayam dan kelinci. Dan ini pula yang akhirnya mengundang ular sanca menyambangi pekarangan belakang, berkali-kali ayam dan kelinci itu hilang dan mati, setelah sebelumnya terdengar keributan di kandang. Maka malam-malam selanjutnya adalah penangkapan terhadap predator itu. Kami menangkap sanca berkali-kali saat tengah memangsa hewan peliharaan, bahkan ada pula yang berukuran besar, mencapai betis orang dewasa dan panjang lebih dari 4 meter. Para biawak pun seakan tak ingin ketinggalan, seringkali ayam di dalam kandang dibuat berkoar-koar karena biawak mengepungnya atau mencuri telornya di dalam sarang.
Yang lebih mengerikan dari predator yang hidup di sekitar rumah warga bagiku adalah ular kobra. Ular ini kerap datang, bahkan seorang ibu muda yang rumahnya tidak jauh dari messku pernah berteriak ketakutan karena ada ular kobra masuk dalam kamarnya dan berada tidak jauh dari ranjang di mana ia menidurkan bayinya, warga berdatangan dan ular itu berhasil ditaklukkan beramai-ramai. Di lain waktu ular kobra juga menyelinap di bawah karpet rumah warga tapi sulit ditemukan karena terhalang banyak lemari, akhirnya warga itu menumpang bermalam di rumah tetangganya, dan baru keesokan harinya ular kobra itu bisa ditemukan. Aku sendiri pernah digigit ular saat suatu malam berjalan tanpa diiring penerangan, tiba-tiba aku menginjak seekor ular yang tidak terlihat jenisnya karena gelap, hanya lubang gigitannya yang tersisa di kaki. Dan saat aku pergi ke klinik kecil terdekat aku mendapati tidak enaknya hidup di daerah terisolir, saat aku meminta suntikan anti bisa ular, mantri itu mengatakan tidak ada serum anti bisa ular disini, aku diminta pasrah saja sembari ia berupaya mengeluarkan darah dari lubang gigitan tersebut.
Kehidupan Kota di Mataku
Setiap tiga bahkan terkadang sampai 6 bulan aku baru bisa menikmati kehidupan kota saat masa cuti kerja tiba. Saat itulah aku bisa melihat mobil atau menumpanginya, pergi ke kolam renang, berwisata, cuci mata di mall, atau menemukan keramaian manusia. Mau pergi berobat juga gampang, banyak dokter praktek di sekitaran. Rumah sakitpun gampang ditemui.
Jika sedang punya keinginan, terkadang aku juga ke Jakarta, Tangerang atau Bogor. Aku lihat pembangunan tidak pernah berhenti di kota-kota tersebut. Bangunan dan rumah pun kian rapat dan sesak. Aku temui pula wajah-wajah kota yang tanpa ekspresi dan terkesan datar. Beda sekali dengan ekspresi orang desa apalagi bila di banding dengan ekspresi orang yang hidup di daerah terisolir. Aku bahkan pernah bertanya pada seorang teman yang memang tinggal di Jakarta ’Mengapa orang Jakarta cendrung tanpa ekspresi di wajahnya?. Pertanyaan itu mungkin terlalu subjektif, namun menarik buatku yang lama hidup di pelosok dengan warganya yang cendrung ekspresif di wajahnya, baik saat senang atau marah. Aku hanya bisa berasumsi kompleksnya tantangan hidup di kota membuat warga kota cendrung menyembunyikan ekspresi wajahnya sehingga terlihat datar. Atau bisa pula dikarenakan kecerdasan emosi masyarakat kota yang mungkin lebih baik.
Beruntungnya aku meskipun lama hidup di daerah terisolir, aku juga pernah menikmati kehidupan di negeri asing meskipun bukan untuk berwisata. Tapi di negeri asing itu aku bisa mendapat kesenangan mengamati kehidupan kota warga negara lain. Sehingga hiburan yang paling aku sukai disana adalah menginap di hotel yang ada di tengah-tengah kota, mengamati pemandangan kota dari kamar hotel, menikmati lalu lalang masyarakatnya, dan menikmati kuliner yang berada di pinggir-pinggir jalan yang ada di sekitar kota.
Dan menurutku, hidup di kota itu enak karena penuh fasilitas, enak karena penuh dinamika dan bisa menghindarkan warganya dari kejenuhan, enak karena kesempatan untuk maju lebih terbuka lebar meskipun tantangannya pasti jauh lebih besar. Dan menurutku pula tidak enaknya hidup di desa atau di daerah terisolir itu lebih disebabkan karena minimnya fasilitas, dan sulitnya meraih kesejahteraan bagi warganya. Untuk itulah dari dua perbandingan ini, kiranya pemimpin di masa depan punya perhatian besar untuk melengkapi fasilitas yang ada di desa atau di daerah terisolir dan lebih mengupayakan kesejahteraan bagi mereka. Karena baik orang desa ataupun orang kota mempunyai hak yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H