SAYA adalah pedagang toko kelontong. Warung saya hanya berukuran tiga kali empat meter. Tidak luas, tapi cukup untuk menempatkan barang-barang dagangan. Saya dan juga para pedagang sejenis harus berkompetisi melawan pemilik modal yang besar semisal alfamart, indomart, alfamidi dlsb. Belum lagi tempat surga belanja kaum berada seperti carrefour, giant, hypermart dlsb.
Saya beruntung bisa berkomunikasi langsung dengan distributor perusahaan consumer goods yang besar sehingga saya dapat potongan dua persen dari transaksi. Implikasi positifnya saya bisa menjual barang lebih murah dari toko-toko besar yang saya sebutkan di atas. Bahkan ada barang-barang tertentu yang selisih harganya sangat jauh. Sekalipun mereka sering promo dengan menurunkan harga, tetap saja harga warung saya masih lebih murah.
Sayangnya, banyak orang yang masih senang pergi ke toko-toko jenis tersebut dengan beragam alasan, apalagi mereka berada tidak jauh dan ada di sekeliling kita. Sebuah tantangan dan kompetisi yang berat.
Jokowi, yang sudah resmi menjadi Presiden RI, dalam banyak kesempatan akan memperjuangkan ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan berdasarkan UUD 1945 adalah sistim perekonomian untuk menjamin kedaulatan rakyat. Untuk menjamin kedaulatan rakyat tersebut ada peran yang harus dimainkan oleh negara antara lain yaitu 1) mengembangkan koperasi; 2) memenuhi hak warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; 3) memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Keberadaan warung kelontong dan warung-warung sejenis, sejujurnya adalah jenis usaha ekonomi rakyat yang membantu tugas negara. Semakin banyak warung kelontong dan warung sejenis berdiri, semakin ringan tugas negara untuk menjalankan peran seperti amanat dalam UUD 1945. Mengapa? Masyarakat tidak menggantungkan diri pada tugas negara sehingga beban negara menjadi berkurang, semakin besar orang mendapat kesempatan untuk berusaha mandiri, semakin kecil orang menjadi pengangguran sehingga jumlah fakir miskin dan anak terlantar bisa ditekan.
Sayangnya, kami sering tidak terfasilitasi untuk mengembangkan usaha. Kredit-kredit usaha mikro terlalu banyak syarat, termasuk besarn suku bunganya yang harus dibayarkan. Suatu kali saya berkirim email kepada kementerian koperasi dan ukm, menanyakan tentang pembinaan usaha. Sayangnya sebagaimana dengan 'civil servant' pada umumnya, tidak ada respon.
Kementerian koperasi dan ukm sebagai kepanjangan tangan pemerintah tidak terlihat tangan-tanganya bekerja, setidaknya di tempat saya. Bukan koperasi yang berkembang, tetapi BPR-BPR (badan perkreditan rakyat) dengan kuku-kukunya yang tajam dan siap menghisap orang-orang seperti saya.
Nasib ekonomi rakyat, dengan tidak sadar, telah disempitkan, didesak dan dipadamkan oleh para kapitalis baik kapitalis pribumi maupun kapitalis asing. Berharap dan menagih janji pada Jokowi untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan. Semoga tidak hanya mimpi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H