PELABELAN PNS sebagai pegawai yang malas, lambat, hanya bermain games, doyan keluyuran pada jam kerja, suka korupsi, suka mengutip, melakukan pungli dlsb sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat tidak enak untuk didengar. Tetapi itu sebuah realita. Kita mendengar belum lama ini pungli di Bandara, di kantor uji KIR, di jembatan timbang, pungli di Comal dan masih banyak lagi. Citra buruk yang melekat pada PNS itu dikonstruksi bukan oleh orang lain, tetapi oleh para PNS itu sendiri. Tidak pernah diketahui kapan citra buruk PNS itu mulai dibangun dan dianggap sebagai sebuha 'kebenaran' yang umum. Walaupun label PNS ini sudah bukan menjadi rahasia umum, namun faktanya belum banyak tindakan yang konkrit dan tersetruktur dari pimpinan instansi.
Tidak sedikit PNS yang memanfaatkan posisi atau jabatannya untuk mendapatkan keuntungan materiil. Hal ini terasa aneh jika dilihat berdasarkan teori kebutuhan Abraham Maslow. Mereka masih berkutat pada tingkatan awal dalam hirarki kebutuhan Maslow, yaitu pemenuhan kebutuhan fisik dan rasa aman. Mereka melihat bahwa memiliki harta yang berlimpah akan menjadikan kehidupan mereka terasa nyaman dan aman. Motivasi untuk memenuhi kebutuhan inilah yang mendorong dan menempatkan mereka pada hal yang seharusnya dihindari. Tugas penting yang menjadi tanggung jawab mereka menjadi terabaikan, padahal tugas PNS adalah tugas mulia sebagai abdi masyarakat.
Kebutuhan akan penghargaan merupakan kebutuhan berikutnya dalam teori Maslow ini. Sayangnya kebutuhan penghargaan dari orang lain didasarkan pada materi yang dimilikinya. Hal ini berakibat pada pengabaian terhadap cara mendapatkan materi tersebut. Benar atau tidak benar bukan lagi menjadi sebuah pertimbangan yang dipikirkan, tetapi kerakusan untuk mendapatkan matari yang menjadi pengontrol dalam menjalankan tugasnya.
Padahal, penghargaan orang bukan karena hartanya yang melimpah tetapi karena apa dan bagaimana mereka menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Citra buruk yang melekat pada PNS harus didekonstruksi, dibangun kembali dari awal. Jokowi menggaungkan revolusi mental sebagai upaya untuk memperbaiki mental buruk para birokrat yang telah dilabeli dengan beragam sifat-sifat buruk di atas.
Menurut pikiran rakyat online, pada tahun 2013 yang lalu, jumlah pendaftar PNS sekitar 1.6 juta orang. Jumlah itu mungkin akan bertambah pada tahun 2014 ini. Artinya, masih banyak anak-anak muda yang tertarik untuk menjadi PNS. Semoga bukan karena tugasnya yang 'seolah' ringan dan banyaknya keuntungan materi yang akan didapatkan, tetapi karena sebuah panggilan untuk membantu negara menjadi pelayan bagi masyarakat.
Pertanyaan yang menarik untuk dijawab, sanggupkah revolusi mental Jokowi mendekonstruksi label PNS dengan beragam sifat dan karakteristik yang melekat? Dari mana revolusi mental itu dimulai? Apa strategi yang dipakai? Dari mana memulainya? Sangat berharap citra buruk PNS akan segera berlalu dan menemukan PNS-PNS yang betul-betul melayani dan membuat masyarakat tersenyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H