Mohon tunggu...
Asim Sulistyo
Asim Sulistyo Mohon Tunggu... -

1997 - 2004 SMPN 2 Pugung, Tanggamus, Lampung.\r\n(2005 - Sekarang SMP Negeri 3 Bayat, Klaten, Ja-teng)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sampah Kian Merana, Kepedulian Kian memudar

8 April 2015   07:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:24 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Walaupun satu-satunya pemain perempuan, Lintang tak mau ketinggalan ikut menendang bola. Kesana-kemari adikku bermain sambil makan snack dengan kemasan plastik. Setelah makanan habis, Lintang tetap mengejar bola sambil teriak-teriak “Mas plastiknya dibuang dimana?”. Sepak Bola tetap dijalani sambil memegang plastik bekas bungkus snack yang sudah kosong, adikku teriak lagi “Mas, bak sampahnya mana?”. Tak satupun temannya peduli bahkan beberapa orang tua yang ikut menyaksikan melahan mentertawakan, menganggap Lintang anak yang tolol.

Waktu menjelang maghrib semua anak-anak pulang kerumah masing-masing. Plastik dibawa pulang, sampai dirumah Lintang marah-marah karena ditempat bermain tidak ada bak sampah. Kemudian oleh ibunya, agar sampah dibuang di bak sampah milik Lintang sendiri.

Hampir empat kali dalam seminggu, Caciem menemani siswanya latihan band. Setiap kali latihan Caciem selalu membawa bekal kecil-kecilan berupa permen. Distudio Caciem sering membuka bungkus permen, bungkusnya dimasukan ke saku celana dan permen masuk ke mulut, karena didalam studio tidak disediakan bak sampah. Kejadian ini dilihat siswa-siswanya, tetapi mereka malah mentertawakan dan menganggap Caciem sedang gila.

Dalam pendakianku bersama teman-teman ke Gunung Merapi 13 Juni 2013, aku berpapasan dengan pendaki muda. Rombonganku baru mancapai puncak tetapi pemuda tersebut sudah mulai turun. Aku terpesona melihat pemuda itu, karena disebelah tas punggungnya terselip kantong plastik yang berisi sampah plastik. Kusapa, kuhentikan, kupotret sebagai bukti bahwa masih ada orang yang peduli dengan sampah.

Belajar dari kebiasaan Lintang, Caciem dan pemuda pendaki gunung tidaklah sulit, kalau bangsa ini mau dan punya kesadaran. Tetapi, dibeberapa sudut kantor sampah berserakan, langit-langit kantor penuh dengan jaring laba-laba, kamar kecil baunya menyengat, got tersumbat plastik, diatas meja tertinggal sampah, diatas tutup bak sampah melimpah, tempat jajanan jorok, laci meja tersimpan sisa makanan, tempat wudlu sarang gelas plastik, jendela sebagai lalu-lintas sampah, tongkat pramuka terbengkelai, plastik berceceran ditaman, kebun jadi lautan sampah.

Berkonsep, berdiskusi, berbicara, berkeluh, berpesan, berceramah, berujar, berkoar, itu hanya salah satu usaha untuk menyindir kesadaran. Senyum sinis memperlihatkan sikap pesimistis terhadap konsep yang belum pernah terwujud. Tidak disadari bahwa setiap musim penghujan banyak penghuninya yang menderita sakit. Ironi bagi institusi yang menjadi percontohan masyarakat.

“Lha nyatanya gimana?” tanya Bento.

“Omong kosong,” jawab Caciem singkat.

“Harusnya kerja nyata dong?” ungkap Bento.

“Omong kosong,” guman Caciem.

“Beri contoh yang benar,” terang Bento.

“Omong kosong,” jawab Caciem.

“Kan kaum professional,” tambah Bento.

“Omong kosong,” tegas caciem.

“Jawabmu kok omong kosong terus?” tanya Bento.

“Cas cis cus…,” gerutu Caciem.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun