[caption id="" align="aligncenter" width="580" caption="Ilustrasi/Kompasiana (kfk.kompas.com/Ib Putra Adnyana)"][/caption]
Ia berdiri di balik akasia besar di tepi jalan. Matahari memantulkan foton di kepalanya, sehingga rambutnya yang gondrong menutupi telinga itu terlihat menyala-nyala. Kemejanya yang kebesaran tersembul sebagian dari balik batang pohon, melambai-lambai tertiup angin. Dari balik punggungnya, aku mengamatinya sedang memperhatikan sesuatu.
Ia sedang menatap lurus-lurus pada beberapa bocah kecil yang sedang berlarian di tepi kolam. Sesekali aku melihat bahunya berguncang naik turun. Atau saat ia mengambil kerikil kecil di sekitarnya lalu melemparnya berulang-ulang ke sembarang tempat, begitu saja.
Ia tidak tahu bahwa aku mengamatinya saat ia mengisap tar dan nikotin. Asapnya menyebar ke segala penjuru. Menyelinap dari balik sisi batang akasia berupa kepulan asap pekat dan wangi mentol.
Ia tahu tali converse bitu tua di kedua kakinya lepas, bahkan mungkin sengaja ia yang melepasnya, tapi ia tidak tahu sulur talinya yang tergerai menjadi dua bagian itu dapat diamati dari balik batang pohon itu sewaktu-waktu, termasuk oleh aku.
Ia tidak sadar bahwa kuamati gestur tubuhnya sejak tadi. Kini, tubuhnya yang jangkung itu perlahan-lahan ditarik gravitasi, punggungnya yang bersender dibatang pohon itu perlahan-lahan roboh meluncur ke bawah, membuatnya berada pada posisi duduk, kakinya yang sebelumnya berdiri dibiarkannya lurus sejajar dengan badannya.
Ia masih tidak sadar aku mengamatinya. Tapi aku mengerti tatapannya belum beralih pada anak-anak yang masih bermain di sekitar kolam. Ia tidak sadar aku mengamatinya sedang serius memperhatikan sesuatu. Tapi aku lebih dari paham bahwa ia sedang mengamati sesuatu yang nilainya lebih dari sekadar bocah dan permainan.
Ia kembali melempar sebuah kerikil kecil. Selagi tangannya yang lain bergerak cekatan di saku celananya. Korek api dan sebungkus rokok mentolnya keluar. Menggantikan satu batang rokok yang sudah lenyap diisap paru-parunya.
Ia pengolah emosi yang baik, aku tahu. Bahkan saat dilihatnya anak-anak itu tertawa-tawa saling berkejaran, dua sudut di bibirnya ikut terangkat. Sesuatu yang bahkan hampir tidak pernah dilakukannya di hadapan orang-orang.
Ia memiliki rahang tegas dan struktur wajah keras. Semua orang yang melihatnya akan berpikir bahwa ia menyeramkan dan sarkas. Tapi tidak saat mereka mempunyai kesempatan untuk menyaksikan bagaimana cara ia tertawa, atau bagaimana saat melihat ekspresinya yang susah payah dijabarkan kata-kata. Penuh emosi dan ledakan, mistis tetapi melankolis.
Ia mengira semua orang akan menilainya manusia super yang tangguh. Tapi ia tidak sempat memprediksi bahwa siapa pun yang melihat kondisinya saat ini akan mengerti bahwa ia sebenarnya rapuh.
Ia bernama Jim, yang saat kutanya, “Kenapa tali sepatumu selalu diurai?”
Ia hanya menjawab, “Supaya aku tidak takut jatuh.”
Sebuah fiksi
24/07/2014
11:45 WIB
Langit Senja
Yogyakarta
Minal aidin walfaidzin guys! :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H