Mohon tunggu...
Qory Dellasera
Qory Dellasera Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis adalah bekerja untuk keabadian -PAT-

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

KPK vs Polri*

1 Februari 2015   23:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:59 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Situasi terkini KPK dan Polri

Pada tanggal 13 Januari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan calon tunggal Kapolri, Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi terkait suap dan gratifikasi ketika menjadi pejabat di Mabes Polri.  Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka diumumkan tepat sebelum Budi Gunawan akan menjalani fit and proper test sebagai calon tunggal Kapolri. Melalui sidang paripurna tanggal 15 Januari, DPR menyetujui Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai kepala Polri untuk menggantikan Jenderal (Pol) Sutarman meskipun Budi Gunawan telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Lalu di tanggal 23 Januari, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjoyanto ditangkap Badan Reserse Kriminal Polri setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemberian keterangan palsu di Mahkamah Konstitusi saat sidang sengketa pemilihan Bupati Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah. Kasus yang terjadi di tahun 2010 tersebut melibatkan pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto serta Sugianto-Eko Sumarno, dimana Bambang Widjojanto menjadi kuasa hukum pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto Flashback kasus KPK vs Polri Masih ingatkah kita dengan kasus Cicak vs Buaya yang terjadi di era SBY tahun 2009 lalu? Berawal dari penyadapan KPK terhadap Kabareskrim Polri Susno Duadji yang terlibat dalam kasus Century. Imbasnya, dua komisioner KPK Bibit Riyanto dan Chandra Hamzah terkait suap yang dilakukan Antasari Ashar (Ketua KPK yang juga tersangka pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen) dan Anggoro Wijoyo (Direktur PT Masaro). Lalu, di tahun 2012 juga terjadi kasus yang sama ketika KPK menetapkan Inspektur Jendral Djoko Susilo sebagai tersangka korupsi simulator SIM, komisoner KPK Novel Baswedan pun ditangkap  dengan tuduhan terlibat aksi penganiayaan berat saat masih bertugas di Kepolisian Daerah Riau. Ketiga kasus yang melibatkan KPK dan Polri ini sama-sama memicu reaksi publik. Dukungan terhadap KPK mengalir deras disela-sela perseteruan para elit tersangka korupsi ini. Dukungan tersebut dilakukan atas kesimpulan upaya pelemahan KPK untuk memberantas korupsi dengan mengkriminalisasi komisionernya. Memang, sejauh ini hanya KPK yang paling menuai keberhasilan menjerumuskan pelaku korupsi di antara lembaga-lembaga hukum yang ada. Maka ketika KPK mengusik ketenangan para pelaku korupsi, pihak yang kepentingannya terganggu dengan segera menghantam balik KPK. Terlepas dari itu, dapat dilihat bahwa elemen-elemen massa rakyat –walaupun tidak terorganisir dengan baik- mampu bersatu dan mengarahkan massa yang masih mempercayai KPK untuk menduduki gedung KPK melalui frame ‘antikorupsi’. Kepentingan kapitalis terhadap korupsi Di negara penganut kapitalisme, melalui kekuasaan ekonomi dan politik yang dimiliki segelintir orang, korupsi merupakan ‘cara’ yang paling efektif untuk menumpuk modal dan memperkuat kekuasaan. Melalui negara, mereka lalu membangun struktur yang bersimpul satu sama lain untuk melindungi praktik korupsi. Tak heran ketika akumulasi kapital mereka diputus, maka dengan berbagai cara mereka menyerang pihak-pihak yang telah memutus akumulasi kapital sambil terus berupaya menemukan sumber-sumber akumulasi baru yang tentunya dengan membangun kekuatan-kekuatan penopang melalui birokrasi, korporasi dan oligarki. Itulah sebabnya korupsi tak pernah berkurang atau terkikis habis. Lihat saja kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan petinggi-petinggi negara (BLBI, Century, Hambalang, KPK, Polri) yang hingga sekarang tidak mampu menyeret nama-nama besar seperti Sri Mulyani, Megawati, Budiono, bahkan SBY sekalipun. Hal ini pula jelas terlihat dalam kasus Budi Gunawan (mantan ajudan Megawati) yang  tidak memenuhi persyaratan menjadi calon Kapolri karena sudah ditetapkan sebagai tersangka, namun dengan mudahnya status ‘tersangka’ Budi Gunawan diabaikan begitu saja oleh DPR sehingga DPR tetap melanjutkan bahkan meloloskan fit and proper test Budi Gunawan sebagai calon Kapolri. Dalam Negara dan Revolusi, Lenin mengutip Engels:

“Dalam republik demokratis,” Engels meneruskan “kekayaan menggunakan kekuasaannya secara tidak langsung, tetapi justru dengan lebih pasti”, yaitu pertama, dengan jalan “menyuap langsung para pejabat”; kedua, dengan jalan “persekutuan antara pemerintah dengan bursa”.

Kapitalisme selalu punya cara untuk menutupi boroknya, perlindungan terbaik bagi kapitalisme adalah melalui label ‘demokrasi’ yang diterapkan oleh banyak negara saat ini. Bahkan di negara demokrasi ini pulalah saling serang dan saling menghukum terjadi ketika kepentingan menjadi berbeda, namun ketika berada pada koridor kepentingan yang sama mereka tanpa malu saling rangkul dan bekerjasama. Mengapa demikian? Sebab, demokrasi yang diusung kapitalisme bukanlah demokrasi dalam kepentingan rakyat, tetapi demokrasi dalam kepentingan para pemodal. Sistem yang korup akan lebih mudah diterapkan oleh negara yang menganut paham demokrasi borjuis (pemodal). Lihat saja kasus korupsi oleh kader partai-partai politik yang ada di Indonesia saat ini bahkan tanpa segan melakukannya secara ‘borongan’. Atau bagaimana demokrasi telah dipolitisasi dalam parlemen dimana KIH dan KMP kompak meloloskan tersangka korupsi untuk menempati posisi vital di institusi penegakan hukum, yang sebetulnya membutuhkan sosok yang bersih dan memiliki integritas. Kita juga masih belum lupa pada saat pembahasan revisi UU MD3 di DPR, KIH dan KMP menunjukkan kekuatan saling menjegal kepentingan. Terutama pasal 245 UU MD3, DPR membentengi diri terhadap anggota dewan yang diduga tersangkut kasus hukum, agar tidak mudah disidik oleh institusi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK). Penyidik harus mendapat izin lebih dahulu dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Lalu juga pada saat pembahasan RUU Pilkada yang kemudian mengesahkan Pilkada melalui DPR karena dianggap lebih demokratis. Padahal kita tahu bahwa pilkada (langsung apalagi tidak langsung) merupakan sarang suap menyuap yang artinya tempat aman untuk melakukan praktek korupsi. Melalui institusi penegak hukum, korupsi menjadi hal yang tidak dapat dihindari. Di Kepolisian, kasus rekening gendut melibatkan beberapa petinggi kepolisian. Sebut saja Mathius Salempang, Susno Duadji, Sylvanus Yulian Wenas, Bambang Suparno, Badrodin Haiti dan Budi Gunawan yang dilaporkan PPATK atas transaksi mencurigakan di rekening perwira tersebut. Lalu, ada mantan Ketua MK Akil Mokhtar. Sedangkan kasus korupsi di lembaga negara pun tidak kalah banyaknya. Di Kementerian ESDM ada Jro Wacik, Kementerian Pertanian ada Lufti Hasan, Kemenpora ada Andi Malarangeng dan masih banyak lagi yang lainnya. Karena itu Lenin telah mengatakan:

Alasan mengapa kemahakuasaan “kekayaan” lebih terjamin dalam republik demokratis, adalah karena ia tidak tergantung pada selubung politik yang buruk dari kapitalisme. Republik demokratis adalah selubung politik terbaik yang mungkin bagi kapitalisme dan karena itu kapital, setelah menguasai selubung yang terbaik itu menegakkan kekuasaannya yang dengan begitu aman, begitu pasti, sehingga tidak ada perubahan apapun baik perubahan orang, lembaga maupun partai dalam republik borjuis-demokratis yang dapat menggoyang kekuasaan itu. (Lenin, Negara dan Revolusi)

Kepentingan rakyat terhadap pemberantasan korupsi. Korupsi memang menjadi bagian dari perlawanan rakyat, karena kapitalisme sangat berkepentingan dengan korupsi. Walaupun korupsi termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime), namun tidak ada jaminan korupsi bisa dilenyapkan. Kesuksesan yang diperoleh lembaga pemberantas korupsi dari waktu ke waktu hanyalah pada aspek ‘menghukum si pelaku’, bukan pada menghancurkan akar korupsi itu sendiri. Artinya, baik hukuman penjara maupun hukuman mati bukanlah solusi yang betul-betul ampuh untuk menangani korupsi. Sebab, pemodal akan selalu memperbarui diri dan memperluas jaringan, menemukan sumber-sumber baru agar kepentingan modalnya tetap terjaga. Muaranya hanya satu: kekuatan pemilik modal yang akan berkuasa. Rakyat, terutama klas buruh, sudah harus melihat dengan jelas kasus korupsi yang bertebaran sangat berhubungan erat dengan kepemilikan alat produksi oleh kapitalis. Melalui kekuatan kepemilikan alat produksinya, kapitalis mengorganisir diri dan masuk lewat alat-alat kekuasaan negara dan pasar, terus berantai hingga ke tingkat kekuasaan yang paling bawah. Oleh karena itu, korupsi bukan hanya menjadi makanan para elit borjuasi, tetapi juga sampai di tingkat RT maupun pabrik. Dalam tingkat kekuasaan paling bawah misalnya, dari tingkat RT hingga Kelurahan tak jarang meminta ‘jatah’ agar pengurusan dokumen-dokumen menjadi lebih mudah. Atau di tingkat pabrik, bagaimana pengusaha memberi upah tak layak atau sesuai UMP/UMK, bekerja hingga 12 jam per hari tanpa bayaran lembur dengan alasan efisiensi produksi meskipun logika keuntungan berlipat-lipat yang diperoleh pengusaha adalah karena hasil kerja buruh. Hal ini menggambarkan bahwa korupsi tidak hanya harus diberantas di tingkat atas, tetapi hingga ke bawah. Ibarat pohon, memangkas rantingnya saja tidak cukup, tetapi harus mencabut pohon hingga akarnya. Dan dari berbagai kasus inilah, rakyat sudah harus sadar bahwa selama sistem korup bawaan kapitalisme ini masih kuat tertancap di negara kita, maka selama itu pula korupsi tetap bertahan dan selama itu juga kesejahteraan akan jauh dari rakyat. Pelajaran untuk rakyat dari kasus KPK Polri Apa yang diperlihatkan kepada kita dalam kasus KPK-Polri, juga merupakan hal yang akan kita temui di masa-masa selanjutnya. KPK sebagai institusi pemberantas korupsi juga tak bisa berbuat banyak ketika komisioner-komisionernya dilibatkan dalam kasus hukum. Sementara Polri tetap melindungi para petinggi-petingginya agar tak dijerat atau diproses oleh KPK. Seakan-akan, KPK dan Polri sedang ‘perang’ guna tegaknya pemberantasan korupsi. Namun, tanpa disadari yang berperang sebenarnya bukanlah dua institusi itu, melainkan kepentingan yang lebih besar yaitu modal. Dibutuhkan negara untuk menancapkan kekuatan modal, sehingga kekuasaan politik yang dilahirkan juga dimaksudkan untuk memperlancar konsentrasi modal sehingga melalui institusi negara yang paling mungkin untuk memasok modal, disitulah korupsi akan berkembang subur. Independensi KPK juga tak cukup bisa menghadang kekuatan tersebut. Kita tahu, KPK dibentuk oleh negara sebagai lembaga yang diharapkan mampu memberantas korupsi di Indonesia. Namun, ternyata tak sedikit juga kasus-kasus korupsi yang hilang ditelan bumi. Hanya sedikit saja yang bisa tersentuh oleh KPK dan itupun berjalan lamban bahkan tersangkanya bisa lolos dari jeratan hukum. Ini karena prosesnya juga sudah pasti dihalangi oleh kelompok pemodal yang lebih besar dan tidak menyentuh akar korupsi itu sendiri. Dukungan SaveKPK sebenarnya hanya salah satu jalan pendek untuk menghadang kekuatan ini. Namun, setelah Save KPK digulirkan oleh kelompok massa yang berhamburan mendatangi KPK, tidak dibarengi dengan kepercayaan KPK akan kekuatan rakyat. Sehari setelah massa Save KPK mendatangi gedung KPK, terang-terangan KPK justru mempercayakan kekuatan penghadangnya pada militer. Pertanyaannya, kepentingan siapa yang lebih diutamakan oleh KPK: kekuatan militer sebagai penjaga modal atau rakyat sebagai kekuatan utama pemberantas korupsi? Lalu, bagaimana solusinya? Seharusnya, dukungan rakyat bisa menjadi lebih besar ketika ‘pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya’ menjadi platform utama gerakan antikorupsi. Gelombang gerakan rakyat harus terbingkai dalam sebuah solusi yang menyatukan semua elemen-elemen rakyat; buruh, tani, kaum muda, kaum miskin kota, perempuan, nelayan. Sebab, semua elemen rakyat inilah yang paling merasakan imbas korupsi. Sehingga, perlawanan terhadap korupsi juga harus seiring dengan perlawanan terhadap kapitalisme sebagai akarnya. Rakyat butuh kekuatan sendiri, kekuatan anti kapitalisme yang terorganisir secara luas. Kontrol rakyat harus menjadi kekuatan utama dalam menghapuskan korupsi yang dengan sangat mungkin rakyat bisa mengambilalih kekuasaan korup, lalu menggantikannya dengan kekuasaan rakyat. Kontrol rakyat hanya mungkin bisa terjadi ketika muara perlawanan rakyat terwadahi dalam kekuatan alternatif, partai rakyat. Apakah akar korupsi itu? Jawabannya adalah kapitalisme. Lalu, siapakah yang bisa menghancurkan akar korupsi itu? Jawabannya adalah kekuatan alternatif oleh rakyat. *Tulisan ini juga dimuat di website http://www.arahjuang.com/2015/01/31/kpk-vs-polri/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun