Di Utara iblis coba hanguskan pelangi,
di Tenggara segerombol lagi bersepakat mengoyak-ngoyak matahari,
hampir seribu pagi
Sepenjuru mata angin berlomba mengobrak-abrik segala dengan gasing-gasing bertaringnya.
memporak-porandakan waktu
meluluh-lantakkan empedu
dan sejuta pasang cahaya yang leleh dari mata dan nyaris genangi tanah-tanah kuburan
Pori Bumi nyaris tuntas dihiasi liang-liang lahat,
nyaris dikerubungi lidah-lidah api neraka
kota-kota nyaris mengibar kavan ke sepenjuru ufuk
Di langit, para dewa putus asa dan hampir ketok palu,
hampir sepakat hentikan nadi waktu
hampir sudahi gema firman dan ayat-ayat Tuhan.
Hampir buru-buru menutup tirai senja-Nya, masih dengan keranda
Sisa bayang-bayang pun bersujud membujuk sisa-sisa malaikat yang kelelahan di persimpangan jalan, di ruang-ruang sempit
Sisa bayang-bayang dari sisa-sisa kiamat, masih ingin memompa matahari, menyalakan pagi beberapa ribu kali lagi
masih belum rela menutup senyuman
Seluruh,
masih ingin menunggu kedatangan tuhan yang kedua kalinya.
Sebab Itu masih langit, meski pahit, tapi belum neraka.
Bukan.
Hujung pandemi. Pangkal 2022