Dari balik-balik musim, sufi-sufi puisi netas dari rahim-rahim pagi. Merangkak berdiri berlarian menyoraki jalanan dengan gurindam dan elegi. Meneriaki matahari, menangisi bulan-sabit bersama ayam jago dan Jejangkrik yang sepakat mengerati sunyi.
Sepasukan petapa dan montir-montir waktu, beradu mulut memahati cuaca. Melukisi bangkai-bangkai Perdu dan fosil Waru dengan air mata Camar yang tersedu-sedu menangisi lunglai ombak dan nelayan yang terkubur di seonggok sampan lapuk.
Oi, penyair! Yang dulu merantau dari Eden. Yang beranak-pinak dan yang kini nyaris tersesat di pusaran purus zaman edan. Di rahang cuaca millenium.
Hei, para penulis batu dan kulit-kulit kayu yang tersekap di rak-rak buku. Dimana pena-pena akar bambumu dan bulu-bulu sayap Tekukur yang pernah sukses menuliskan semesta dan segala isinya itu?
Cucu-cucu benua mengendus jejakmu, ingin memulung dedebu jemarimu.
Oi penyair yang nyaris martir oleh petir-petir syair. Para pengangon Dinosaurus, penunggang Onta dan kuda-kuda kereta tua. Para perekam musim dan kisah cinta para raja-raja. Mari lanjut berfirman. Menyelamatkan cinta dan surga yang hampir lapuk di genggaman oleh sedapnya telepon tangan.
Pulau Samosir. Ruang sepi siang hari. '21
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H