Yang berdiri di pintu sunyi, cemas mengetok-ngetok, menggedor-gedor
waktu yang membatu. Para biarawati cekikikan dari sudut bulan sabit.
Pintu sunyi tak teramuk, tak hanya tentang usil nyamuk
atau siksa batuk-rindu yang mulai berdarah
yang hampir bernanah, nunggu kunang-kunang berpecahan entah kapan?
Tiada yang kasihan pada patung yang saban malam diguyur sepi,
walau menggigil pun itu, walau selalu ngigau, atau sampai guling-guling merengeki  bidadari. Sebab rindu telah lama terjual. Cukup mahal, tergadai di seberang samudera, berondok dibalik senja yang selalu jadi pihak ketiga
Biar. Terserahlah pintu-pintu itu terus katub. Sampai berlumut sampai entah maksudnya mau ngalahkan para petapa? Tak apa. Â
Mari kita berperang. Sekenyang mungkin.
Saling mengintip, dan saling mengintai di layar smartphone ini, seabadi luka.
Yang berkecambah di dalam paru.
Aku. Dan engkau!
Dermaga maya.
Samosir. Agustus '20
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H