Tiada jerit di langit
tiada.
Di rahim begitu hening, tanpa kabut, tanpa badai atau gigil. Tanpa air mata.
Sehanya cinta, damai dan gemericik ketuban sehangat dekap malaikat dan nyanyian bidadari yang menggema di ari-ari.
Tiada sakit di langit.
Tak pun.
Sebelum pintu-pintu rahim terluka. Sebelum para bidadari mengoyak-ngoyak bajunya. Sebelum para lelaki
cuma bisa termangu
menonton para orok menuruni singgasana yang hanya berbungkus darah.
Tiada air mata, dan duka sebelum mata terbuka. Sebelum tangisan pecah.
Tiada terik di langit. Sebelum para bidadari bangkit dari luka-luka rahimnya
Sebelum para bidadari dan para lelaki beranjak menyalakan waktu
Menyalakan terik, menyulut purnama
menggerayangi siang, dan segala malam
Mengajar para bayi mengganti popok sendiri
Melatih para bocah menukangi mainan sendiri,
Menyuruh para anak remaja menyuci baju sendiri
Memberangkatkan para muda-mudi menjelajahi dunia sendiri, mencari langitnya sendiri,
Dan lalu memanggil mereka kembali,
menepi
lewat kokokan senja
dan langit yang terbakar di Baratdaya.
Cahaya jingga berwarna bata, turun menghinggapi uban-uban di kepala renta yang layu tak berdaya.
Dan tak lagi sanggup bicara apa-apa.
Parbaba. '19
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H