Oleh karena beratnya dampak menjadi ASN netral itu maka mau tak mau, tak seorangpun ASN daerah yang rela terjebak oleh aturan netralitas itu. Kecuali para idealis yang tinggi dan super cuek.
Melihat peluang itulah para calon kontestan Pemilukada berlomba-lomba merayu dan mengintimidasi sosok-sosok ASN yang mereka anggap bisa berjaya memuluskan langkah politiknya. Sebab mereka tahu betul bahwa kekuatan massa para keluarga besar ASN daerah itu sangat memengaruhi pendulangan suara. Sebab ASN dianggap sosok paling berpengaruh di keluarga dan lingkungannya masing-masing.
Dewasa ini, tanpa disadari ASN telah menjadi alat politik utama dari para politikus. ASN saat ini dalam kondisi sadar tidak sadar telah direnggut netralitasnya menjadi 'alat yang diperalat' oleh politikus. Sekalipun politik itu sangat kejam bagi para ASN yang salah pilih, termasuk para ASN yang memilih netral. Karena sikap netral telah terbukti mematikan karir banyak orang ASN di negeri ini. Sebuah pilihan sangat sulit dan menjebak.
NETRALITAS. Sampai kapan ASN tertindas? Sampai kapan para ASN kembali bertarung secara lotre dalam menjudikan pilihan? A, B atau C adalah sebuah kebingungan. Kebimbangan masa depan kerja.
Seyogiyanya netralitas itu mampu membantu ketenangan kerja para ASN untuk bisa lebih fokus sebagai fungsi aparatur pelayan masyarakat. Tanpa harus memikirkan imbas politik para kontestan calon. Namun sebaliknya, malah doktrin negatif itu kini telah muncul dan tampil sebagai pemicu utama keresahan dan kebingungan tersendiri di kalangan ASN yang patuh untuk tetap bertahan netral.
Walau memang pengertian netral itu masih belum sepenuhnya pernah bisa dipahami hingga kini. Netral tapi harus memilih. Sebuah kontroversi antara pemahaman dan tindakan.
Netralitas, itu perangkap atau dosa? Bukankah akan lebih tegas jika seandainya ASN itu diatur benar-benar netral dan tak memiliki hak pilih sama sekali sebagaimana juga anggota Polri dan TNI yang murni netral tanpa embel-embel hak memilih?
Demi kenyamanan kerja, demi menjaga integritas dan loyalitas dalam organisasi birokrasi. Ikhwal ini sepertinya mendesak butuh mendapat pertimbangan menyeluruh.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H