Masih di ini malam, aku menggigil terkepung sunyi. Dan sekarat oleh pecahan senja yang terlalu usil membakari pelabuhan.
Kita masih bersemedi mengoleksi puing-rindu yang sering berpecahan di taman-taman kota, di pori langit dan di aroma gosong tembaku yang membantuku menantimu.
Terkenang kopi panas seduhanmu yang menghipnotis paruku saat itu. Gairahku pada asapnya juga rinduku pada senyummu yang terlalu.
Kita masih bersemedi, menguliti matahari hingga mata kita terlupa berkali-kali tentang sepatnya waktu dan nafas yang membatu oleh rindu.
lihatlah, kilometer sunyi itu telah sukses menyiksa dan memaksa kita hancur oleh bayang-kita sendiri. Kebas oleh pergi kita sendiri. Dan kelam oleh diam kita sendiri.
Sesiapa lagi yang menyuguhkan secangkir kopi segemulai lengan mungilmu yang pernah cukup lihai menggodai?
sebelum lelampu taman itu lanjut menghukum mataku dengan purus badai rindu, tolong hunuskan rindumu ke purnama itu!
atau jika tidak, suguhkan dulu sesuatu dari jauh apapun untuk memadamkan sepi ini.
Samosir senja, Oktober rindu '17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H