Berikut sedikit uneg-uneg saya, tanpa bermaksud untuk menganggap diri saya lebih dari pada yang lain. Apa yang saya tulis adalah pengalaman pribadi, yang terkadang saya ingin sekali bias share ke rekan-rekan semua. Tidak semua yang saya lakukan ini benar secara teori, akan tetapi saya memang melakukannya. Barangkalai saya memang akan banyak menggunakan kata “saya”, dengan harapan jika ada kesalahan, kepada sayalah masukan itu akan dialamatkan. Untuk itu, kritik dan saran dari rekan-rekan semua sangat saya harapkan.
Dalam proses pembelajaran, saya berusaha untuk mengajar dengan hati. Mungkin agak sulit menjelaskan hal ini, akan tetapi menurut saya mengajar dengan hati identik dengan mengajar dengan berorientasi pada ketercapaian kompetensi siswa ditambah dengan nilai cinta kasih dan keikhlasan. Beberapa indikator yang menyertai hal ini antara lain:
a.Menggunakan metode yang sesuai.
Mensikapi keragaman karakteristik siswa, seorang guru harus pandai dalam memilih metode pembelajaran yang tepat. Saya menyadari bahwa seringkali saya mengajar tidak sesuai dengan rencana yang telah saya susun sebelumnya. Metode dan strategi kadang berubah dan tidak sesuai lagi dengan RPP yang telah saya susun, apalagi di semester gasal. Hal ini terjadi karena RPP disusun sebelum awal semester, sedangkan kondisi peserta didik sebenarnya baru saya ketahui setelah saya mengajar mereka, yang seringkali berbeda dengan informasi yang saya peroleh dari guru dan pihak lain yeng telah mengenal mereka sebelumnya. Tidak semua metode yang saya rencanakan ternyata sesuai dengan kondisi peserta didik yang saya ajar. Dengan kondisi ini maka menurut saya merubah metode merupakan suatu keniscayaan. Saya berorientasi pada ketercapaian kompetensi siswa, bukan sekedar kesesuaian administrasi. Apa yang saya lakukan mungkin memang kurang tepat, karena menunjukkan bahwa analisis saya terhadap intake peserta didik ternyata kurang sesuai. Sudah barang tentu kondisi-kondisi ini tidak selamanya terjadi, meskipun bukan berarti tidak pernah terjadi.
b.Selalu memperhatikan reaksi siswa.
Saya pernah mempunyai seorang guru yang sebenarnya sangat pandai. Akan tetapi satu hal yang menutupi kepandaiannya adalah ketidakpeduliannya terhadap reaksi siswa dalam menerima pelajaran. Beliau hanya menjelaskan, ketika ada siswa yang bertanya beliau jawab memang dapat dengan tepat, tetapi jika tidak ada siswa yang bertanya maka beliau melanjutkan dan terus melanjutkan penjelasannya. Hal inilah yang selalu saya hindari. Jika saya berorientasi pada ketercapaian kompetensi siswa maka hal ini tidak boleh terjadi. Saya selalu memperhatikan reaksi siswa, bahkan lewat raut muka dan reaksi wajah mereka. Siswa yang memberikan reaksi negatif sebagai bentuk penolakan mereka sebenarnya dapat terlihat dari raut muka mereka. Sebagai seorang guru tentunya sudah memahami hal ini.
Reaksi negatif sebagai bentuk penolakan siswa terkadang bukan disebabkan karena mereka menganggap kita kurang pandai, tetapi karena kita tidak memperhatikan kondisi mereka, salah satunya faktor kelelahan. Menurut saya, memberikan jeda dengan cara istirahat selama 2 menit misalnya, adalah sesuatu yang sangat penting. Hal ini sering saya lakukan, bahkan hampir di setiap pertemuan. Saya sering mengatakan, “Baik, istirahat dulu dua menit, silakan ngolet-ngolet dulu”. Sayapun membuka pintu untuk sekedar menghirup udara segar sambil memberi kesempatan kepada siswa untuk bersantai sejenak tetapi tetap dalam pengawasan dan batasan waktu yang saya berikan. Selanjutnya pelajaranpun dapat dilanjutkan dengan kesegaran dan konsentrasi yang lebih baik.
c.Peduli terhadap siswa.
Mungkin agak berlebihan jika saya mengatakan bahwa saya dekat dengan siswa bahkan di luar kelas. Saya berusaha membangun komunikasi yang efektif di dalam maupun di luar kelas. Saat pertama kali mengajar siswa, banyak hal yang saya sampaikan, termasuk harapan saya agar mereka menganggap saya bukan sekedar sebagai guru tetapi juga sebagai seorang sahabat. Hal ini saya iringi dengan sikap saya yang juga menganggap mereka adalah sahabat saya. Saya berusaha peduli dengan kondisi pribadi dan permasalahan mereka.
Suatu hari ada siswa yang sudah beberapa pertemuan tidak hadir. Saya tanyakan kepada teman-temannya tentang hal ini. Mereka menjawab tidak begitu tahu, akan tetapi yang pasti adalah masalah keluarga. Bahkan wali kelaspun tidak mengetahui penyebabnya. Belum sempat saya menanyakan ke guru BK, beberapa hari berikutnya dia masuk dan menemui saya. “Pak, saya mau curhat”, katanya. Sebelum ia cerita, saya bertanya apakah ia sudah konsultasi ke guru BK atau wali kelasnya. Dia menjawab, “Pak, buat apa saya cerita kalau saya yakin mereka tidak bisa menyelesaikan masalah saya?”. Saya sempat bertanya dalam hati seberapa besar masalahnya, akan tetapi segera saya tepis karena saya menyadari bahwa dia mau terbuka kepada saya. Setelah dia meceritakan permasalahannya, sayapun memberikan beberapa nasehat dan solusi alternatif meskipun tidak semuanya ia ikuti. Ketidakmauannya mengikuti beberapa nasehat yang saya berikan bagi saya bukanlah suatu masalah karena dialah yang mengalaminya, harapan saya dia bisa memilah mana nasehat yang tepat baginya. Akan tetapi kemauannya untuk terbuka menceritakan permasalahannya bagi saya adalah sesuatu yang cukup berarti. Ini menunjukkan bahwa harapan sayauntuk menjadi sahabat mereka setidak-tidaknya sedikit terwujud, bukan hanya dengan kata-kata pengakuan.
Seperti yang saya tuliskan di atas bahwa menjadi guru matematika adalah sesuatu yang sangat saya syukuri. Di sela-sela saya mengajar sudah barang tentu ada waktu yang saya berikan untuk latihan soal, baik individu maupun kelompok. Saat seperti inilah yang sering saya gunakan untuk sekedar melakukan pendekatan terhadap siswa. Saya sering berkeliling bahkan duduk di samping siswa. Bukan sekedar menanyakan apakah ia sudah paham dengan materi yang saya ajarkan, tetapi saya sempatkan untuk bertanya tentang keadaannya. Mulai dari alamat, hobi dan hal-hal lain yang akhirnya ia buka dengan sendirinya. Tentu saja tidak semua siswa dapat saya tanya, hanya anak-anak ”istimewa”, yang dalam pandangan saya perlu mendapatkan perhatian yang lebih.
d.Selalu memberikan motivasi kepada siswa.
Secara teori, motivasi intrinsik lebih penting daripada motivasi ekstrinsik. Hal ini bukan berarti kita mengabaikan pentingnya motivasi ekstrinsik. Bagaimanapun juga, motivasi harus selalu kita tanamkan kepada siswa. Pemberian motivasi menjelang ulangan, menjelang ujian semester maupun ujian nasional sangat penting. Akan tetapi bukan cuma itu. Memotivasi siswa harus senantiasa kita lakukan, kapanpun ada kesempatan. Menurut saya, pemberian motivasi dapat dilakukan dalam berbagai cara, bahkan pujian dan hukuman. Sekecil apapun keberhasilan yang dicapai siswa selalu saya rayakan, meskipun hanya dalam bentuk pujian.
e.Menumbuhkan rasa cinta dan keikhlasan.
Siswa yang ada di kelas kita, dengan berbagai kelebihan dan kekurangnnya datang dari daerah yang berbeda-beda. Mereka meninggalkan keluarga dan mengikuti pelajaran demi cita-cita mereka di hari depan. Keberhasilan mereka adalah keberhasilan kita juga. Saya selalu menanamkan hal ini ke dalam hati saya. Saya mencintai mereka. Dengan berbagai kelebihan dan kekurangan mereka, mereka datang dengan penuh harapan. Tidak ada alasan bagi saya untuk mengeluh apalagi jika mengingat sabda Rosulullah SAW, bahwa salah satu amalan yang pahalanya akan terus mengalir meskipun kita telah meninggal adalah ilmu yang bermanfaat. Ini menjadi motivasi kuat bagi saya untuk terus mengajar dengan penuh keikhlasan. Dalam banyak hal, kesalahan dan kenakalan mereka dikarenakan ketidaktahuan mereka. Mereka butuh bimbingan dan arahan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H