Nilai-nilai kebangsaan merupakan cerminan dari sebuah negara masa kini dan akan datang yang bersumber dari nilai-nilai budaya yang dimiliki bangsa itu sendiri. Semangat kebangsaan dan gotong royong adalalah nilai yang menjadi ruh Bangsa Indonesia. Menurut Ernest Renan (1998), nilai kebangsaan adalah suatu asas kerohanian yang timbul dari kemuliaan bersama yang merupakan aspek historis dan aspek solidaritas yang tetap mempergunakan warisan masa lampau.
Cerita novel Pulang mengenai peristiwa bersejarah yang dimulai dengan peristiwa G 30 S PKI tahun 1965, revolusi mahasiswa di Paris, Prancis tahun 1968, dan tragedi kerusuhan Mei 1998 yang menandai digulingkannya Presiden Suharto pada rezim orde baru di Indonesia. Dalam peristiwa tersebut mengisahkan semangat kebangsaan dan perjuangan gotongroyong dalam menentukan tujuan cita-cita bangsa yang adil dan makmur. Pengarang berpendapat bahwa menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan memiliki peranan penting dalam kemajuan suatu bangsa. Bagaimanapun juga bahwa negara yang besar adalah negara yang bisa menghargai sejarah dan jasa pengorbanan pahlawannya.
Kurangnya penghargaan terhadap jasa-jasa para pahlawan mengakibatkan semakin terkikisnya nilai-nilai kebangsaan yang tak sesuai dengan jati diri bangsa. Umar Kayam pernah menyatakan bahwa generasi 1950-an dan seterusnya dipengaruhi oleh kebudayaan Indonesia yang terkait erat dengan semangat kemerdekaan dan kedaulatan bangsa. Perkembangan zaman dan pengaruh budaya asing sedikit demi sedikit menggerus rasa cinta tanah air.
Menurut Sayuti (2000) novel atau sebuah prosa fiksi merupakan kegiatan berapresiasi sastra secara langsung. Apresiasi sastra adalah upaya memahami sebuah karya sastra yang kita baca, baik fiksi maupun puisi, mengerti maknanya, baik yang intensional maupun yang aktual, dan mengerti seluk beluk strukturnya. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia.
Nilai kebangsaan yang terdapat pada novel Pulang karya Leila S. Chudori dimaksudkan untuk menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan tertentu yang dikandungnya. Menurut penjelasan Rustam E. Tamburaka (1999: 82), nilai kebangsaan yaitu bila warga negara bersedia memberikan pengorbanan bagi eksistensi bangsanya, maka bangsa tersebut tetap bersatu dalam kelangsungan hidupnya.
Pada novel Pulang kita diajak untuk berpikir ulang mengenai paham-paham yang selama ini dicekoki pemerintah orde baru, terutama mengenai komunisme dan marxisme. Berpikir ulang menuju pembebasan dari segala hal yang melekat pada diri seseorang.
“….Kenapa kita harus bergabung dengan salah satu kelompok hanya untuk menunjukkan sebuah keyakinan?” (Chudori, 2013: 43)
Pulang, seperti disebutkan dalam sinopsis sampul belakang novel, adalah sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah, Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998. Dan itu semua tersaji dalam narasi yang tertata apik. Ada nilai kebangsaan yang hendak disampaikan pengarang dalam novel Pulang yang dilihat oleh penulis. Pertama adalah nilai tentang cinta tanah air yang terkadang memberatkan eksil politik dalam memperjuangkan status kewarganegaraannya. Ide pemikiran yang kedua yang dilihat penulis adalah mengenai cinta kuliner Indonesia. Keadaan politik yang memanas membuat Dimas Suryo gerah, sehingga mendorongnya untuk mendirikan restoran khas Indonesia.
Cinta tanah air adalah perasaan yang timbul dari dalam hati sanubari seorang warga negara, untuk mengabdi, memelihara, membela, melindungi tanah airnya dari segala ancaman dan gangguan. Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dilahirkan oleh generasi yang mempunyai idealisme cinta tanah air & bangsa, kalau tidak, mungkin saat ini kita bangsa Indoneia masih dijajah oleh para penjajah. Dimas dan kawan-kawannya adalah salah satu contoh yang bisa dijadikan tauladan yang cintanya pada tanah air dan bangsa melebihi cintanya pada diri sendiri yang harus dihormati dan dihargai.
Dimas Suryo, Risjaf, Nugroho Dewantoro, dan Tjai Sin Soe, juga Surti, Lintang, dan Segara Alam adalah orang yang terus-menerus berjuang menjadi orang Indonesia di tengah penolakan rezim Soeharto. Mereka bertahan meski terbuang jauh di negeri orang, diburu dan dicabut paspor Indonesia-nya karena dekat dengan orang-orang Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menjelang usiaku yang ke-12, segala penolakan visa dan upacara mencium bau cengkih dan memainkan wayang kulit Ekalaya berulang, aku me-nyimpulkan: Ayah adalah seorang Ekalaya. Dia ditolak tapi dia akan bertahan meski setiap langkahnya penuh jejak darah dan luka. (Chudori, 2013: 197)
Kutipan di atas menggambarkan rasa cinta tanah air seorang Dimas Suryo. Beliau tidak henti-hentinya mengajukan visa setiap tahun, meskipun berulang kali ditolak Dimas tak menyerah. keteguhan hati dan kecintaannya pada tanah air yang kuat tidak mudah tergoyahkan, tidak peduli dengan rintangan yang melintang di depan. Setiap kali pengajuan visa Dimas ditolak, dia mencium bau cengkih dan kunyit yang dia letakan dalam stoples di atas meja kerjanya kemudian memainkan wayang kulit Ekalaya. Meskipun terus ditolak Dimas berusaha untuk terus memperjuangkannya.
Setiap kali mendengar berita bahwa permohonan mereka ditolak, Ayah memainkan wayang kulit Ekalaya dan mendalang sendiri. Lantas dia menyendiri di kamar membaca surat-surat lama, entah dari siapa karena pasti itu daerah pribadi yang tak ingin kusentuh. Kalau sudah begitu aku yang sedang giliran bermalam di tempat Ayah akan mencoba memberi ruang kesedihan itu untuknya. (Chudori, 2013: 196)
Pulang, seperti disebutkan dalam sinopsis sampul belakang novel, adalah sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah, Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998. Dan itu semua tersaji dalam narasi yang tertata apik. Ada nilai kebangsaan yang hendak disampaikan pengarang dalam novel Pulang yang dilihat oleh penulis. Pertama adalah nilai tentang cinta tanah air yang terkadang memberatkan eksil politik dalam memperjuangkan status kewarganegaraannya. Ide pemikiran yang kedua yang dilihat penulis adalah mengenai cinta kuliner Indonesia. Keadaan politik yang memanas membuat Dimas Suryo gerah, sehingga mendorongnya untuk mendirikan restoran khas Indonesia.
Cinta tanah air yang terdapat pada novel Pulang
Cinta tanah air adalah perasaan yang timbul dari dalam hati sanubari seorang warga negara, untuk mengabdi, memelihara, membela, melindungi tanah airnya dari segala ancaman dan gangguan. Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dilahirkan oleh generasi yang mempunyai idealisme cinta tanah air & bangsa, kalau tidak, mungkin saat ini kita bangsa Indoneia masih dijajah oleh para penjajah. Dimas dan kawan-kawannya adalah salah satu contoh yang bisa dijadikan tauladan yang cintanya pada tanah air dan bangsa melebihi cintanya pada diri sendiri yang harus dihormati dan dihargai.
Dimas Suryo, Risjaf, Nugroho Dewantoro, dan Tjai Sin Soe, juga Surti, Lintang, dan Segara Alam adalah orang yang terus-menerus berjuang menjadi orang Indonesia di tengah penolakan rezim Soeharto. Mereka bertahan meski terbuang jauh di negeri orang, diburu dan dicabut paspor Indonesia-nya karena dekat dengan orang-orang Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menjelang usiaku yang ke-12, segala penolakan visa dan upacara mencium bau cengkih dan memainkan wayang kulit Ekalaya berulang, aku me-nyimpulkan: Ayah adalah seorang Ekalaya. Dia ditolak tapi dia akan bertahan meski setiap langkahnya penuh jejak darah dan luka. (Chudori, 2013: 197)
Kutipan di atas menggambarkan rasa cinta tanah air seorang Dimas Suryo. Beliau tidak henti-hentinya mengajukan visa setiap tahun, meskipun berulang kali ditolak Dimas tak menyerah. keteguhan hati dan kecintaannya pada tanah air yang kuat tidak mudah tergoyahkan, tidak peduli dengan rintangan yang melintang di depan. Setiap kali pengajuan visa Dimas ditolak, dia mencium bau cengkih dan kunyit yang dia letakan dalam stoples di atas meja kerjanya kemudian memainkan wayang kulit Ekalaya. Meskipun terus ditolak Dimas berusaha untuk terus memperjuangkannya.
Setiap kali mendengar berita bahwa permohonan mereka ditolak, Ayah memainkan wayang kulit Ekalaya dan mendalang sendiri. Lantas dia menyendiri di kamar membaca surat-surat lama, entah dari siapa karena pasti itu daerah pribadi yang tak ingin kusentuh. Kalau sudah begitu aku yang sedang giliran bermalam di tempat Ayah akan mencoba memberi ruang kesedihan itu untuknya. (Chudori, 2013: 196)
Keinginan Dimas Surya untuk pulang ke Indonesia yang sangat besar yang mendorongnya untuk terus bertahan. Meski pada akhirnya kepulangan Dimas adalah menuju tanah pemakaman Karet di Jakarta, sesuai keinginannya selama ini. Nasionalisme atau ke-Indonesia-an tetap melekat dalam diri para tokoh-tokoh seperti Dimas Suryo, Nugroho, Tjai, dan Risjaf. Meskipun mereka tersingkir dari tanah airnya sendiri, tetapi mereka tetap menganggap Indonesia adalah tanah air mereka.
”…Bukankah sudah kukatakan, aku ingin pulang ke rumahku di Karet?… Itu tanah yang ayah kenal baunya, teksturnya, yang nanti akan mudah menjadi satu dengan tubuhku.” (Chudori, 2013: 446)
Rasa cinta tanah air adalah rasa kebanggaan, rasa memiliki, rasa menghargai, rasa menghormati dan loyalitas yang dimiliki oleh setiap individu pada negara tempat ia tinggal yang tercermin dari perilaku membela tanah airnya, menjaga dan melindungi tanah airnya, rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negaranya, mencintai adat atau budaya yang ada dinegaranya dengan melestarikannya dan melestarikan alam dan lingkunga.
Cinta kuliner Indonesia yang terdapat pada novel Pulang
Dalam novel Pulang ditemukan nilai kebangsaan berupa cinta kuliner Indonesia. Tokoh Dimas Suryo dan kawannya mengelola Restoran Indonesia di Rue Vaugirard pinggir Paris. Restoran ini menyediakan makanan dan kegiatan yang mempromosikan seni, budaya dan sastra Indonesia. Negosiasi identitas melalui kuliner digambarkan oleh Leila melalui tokoh gadis keturunan Indonesia-Perancis bernama Lintang yang berkata.
”Un très bon plat, Ayah! enak sekali, Ayah!” (Chudori, 2013:101)
Di Paris, untuk mengobati kerinduan melalui makanan mereka harus mengeluarkan biaya lebih mahal demi membeli bumbu-bumbu semacam cabai merah, bawang merah, kunyit, jahe, daun jeruk, daun salam, dan bawang putih. Apalagi, tidak mudah mendapatkan bahan-bahan untuk bumbu tersebut. Begitu penting representasi kuliner di negeri orang hingga Leila S. Chudori memberikan narasi dalam novel Pulang.
”Restoran Tanah Air adalah duta kebudayaan di Paris yang sesungguhnya.” (Chudori, 2013: 122)
Dalam kutipan di atas, terlihat bahwa rasa cinta kuliner Indonesia dinyatakan secara tersurat dalam dialog antartokohnya. Eksil politik Indonesia berupaya mempertahankan identitas dan selera kulinernya dengan membuka restoran Indonesia Tanah Air di Paris yang menyajikan makanan-makanan khas Indonesia, seperti nasi kuning, tempe kering, ayam goreng kuning, kentang iris pedas, rendang padang, gulai pakis, dan gulai anam.
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang penulis lakukan di atas, terdapat nilai kebangsaan yang digambarkan oleh tokoh utama yaitu Dimas dan putrinya Lintang pada novel Pulang dengan rangkaian peristiwa yang mengharukan. Dimas menggambarkan kisah kehidupan seorang eksil politik dalam peristiwa G30-S PKI 1965, hingga memberikan wawasan baru pada kita mengenai pengorbanan, kecintaan, dan kerja keras dalam menuntut keadilan sebagai warga Negara Indonesia yang berdaulat. Meskipun kisah tersebut diambil dari kejadian politik masa lalu, namun hal-hal yang diangkat Leila S. Chudori juga terjadi di masa sekarang dengan ditandai semakin bergejolaknya persaingan politik antar kekuasaan dan banyaknya masyarakat yang melakukan demonstrasi menuntut keadilan. Melalui novel Pulang pengarang tersebut ingin mengajak para pembaca untuk membuka dan memahami kembali berbagai sejarah yang pernah terjadi di Indonesia. Masih banyak masyarakat Indonesia terutama generasi muda yang hingga kini belum mengetahui sejarah tersebut. Penulis menyadari bahwa masih banyak kisah mengenai nilai kebangsaan yang dapat dijelaskan dalam cerita novel Pulang tersebut, namun penulis masih berharap penelitian di masa akan datang dapat memberikan pemahaman yang lebih merinci lagi mengenai kebenaran sejarah tersebut kepada generasi muda Indonesia.
Daftar Pustaka
Atma Gaganeswara Diterima tanggal 15 april 2015 pada (Sekilas Teori Kebangsaan Ernest Renan) https://narsulin.wordpress.com/2012/11/13/sekilas-teori-kebangsaan-ernest-renan
Fajar Briyanta Hari Nugraha Diterima Tanggal 29 April 2015 pada (Nilai Moral Pada Novel Pulang) http://eprints.uny.ac.id/17378/1/Fajar%20Briyanta%20Hari%20N%2007210141030.pdf
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI