Mohon tunggu...
Rugyinsun -
Rugyinsun - Mohon Tunggu... -

Aku suka menulis cerita, nyata juga fiksi. Sekarang aku kuliah di FKIP UNMUH Jember, jurusan Bahasa Inggris. Aku suka dunia pendidikan dan dakwah. Sekarang aku aktif di FLP Jember.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rumus Kehidupan

28 Mei 2010   08:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:54 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rumus Kehidupan

By Rugyinsun

Pagi sudah mulai mereka dengan indah cerah cahaya sang surya diiring wangi mekar bunga terbasahi titik embun. Kicauan burung pun lirih bersahutan menyoraki sang pagi. Mega merah telah pergi. Baru saja. Petanda sang malam sudah benar-benar pergi. Di pucuk daunan pun titik embun mulai berjatuhan. Ini pagi, mimpi telah pergi. Mata telah membuka melihat wajah sang dunia yang tercahayakan sinaran mentari pagi.

Dengan sayapnya yang mengibas burug-burug itu terbang untuk mencari rezeki, ya sama seperti para orangtua yang mencari makan untuk anak-anaknya. Di trotoar, tempat para pejalan kaki melangkahkan kakinya duduk seorang ibu dengan mangkok kecil di depannya. Bukan makanan isinya, tapi uang receh. Seratus,dua ratus, lima ratus, juga seribu. Sisa-sisa dari mereka yang berkenan memberi.

Keriput kulitnya, badannya kurus, tinggal kulit dan tulang. Sementara di atas panggung, pentas yang megah sedang berdiri seorang yang gagah dengan baju kebesaran  bertausiah. Ribuan bahkan jutaan pengikut mendengarkan. Betapa berwibawanya ia. Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang takwa dan berilmu.

Sejenak kurenung. Tapi apakah harus dibiarkan...? Kutanya pada angin yang selalu bersamaku, "Kenapa harta tidak merata?" katanya ada hak bagi mereka, orang-orang yang tidak berharta.

***

Baru saja seminggu Rahman memulai karirnya sebagai marketing. Gaji belum ia terima. Tetapi satu persatu ia temui orang orang yang membutuhkanya, butuh bantuanya. "Mereka harus kutolong," kata hatinya. Semangat, namun lelah kadang hadirkan malas dan keputus asaan. Kadang ia merasa begitu berat jalani karirnya, tapi ia butuh uang. Kadang malas mengajak dia untuk diam menikmati pemandangan indah tanpa makna.

"Semakin besar tanggungjawabku, kuyakin semakin besardukunga Kau berikan, Tuhanku," kata hatinya. Mencoba ia untuk sabar jalani kehidupan barunya. Ia tak mau terjebak dalam sugesti-sugesti tak berguna yang selalu bermain logika. Katanya ini tidak enak, katanya ini kurang ini kurang itu dan semacamnya. Berkali-kali ia gagal jalani karirnya hanya karena logika yang sok tau. seakan lebih kuasa dari Tuhan.

"Tidak. Tidak. Ini anya ujian,"  bisiknya pada hatinya untuk memotifasi diri saat malasnya datang. "Aku tidak boleh malas. Aku tidak boleh hanya mengerjakan apa yang aku suka, aku harus berusaha menyukai apa yang kukerjakan." Ukhti Rani ... (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun