Mohon tunggu...
Roy Simamora
Roy Simamora Mohon Tunggu... lainnya -

Mahasiswa, Penulis, Blogger, suka membaca dan menulis. " Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari ”

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Omak

24 Maret 2014   19:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:33 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit mendung sore ini. Pesan dari langit akan datang. Harap kabar gembira. Mungkin ini pertanda akan turun hujan. Mungkin saja. Mungkin juga tidak. Satu persatu awan tampak mulai berkerumun. Berkejaran tak beraturan. Awan putih lambat laun berubah menciptakan sebentuk awan hitam pekat. Perlahan tapi pasti. Mulai memadat. Sang awan hitam makin menghitam.

Tess, tess, tess…. Rintik hujan berjatuhan. Ia mulai menangis. Menangisi masa sulit desaku ini. Menitikan air mata kehidupan. Setetes dua tetes air berjatuhan ke bumi. Tiga tetes. Empat tetes dan seterusnya. Mulai menyerbu bumi. Berlomba-lomba menggapai bumi. Tanah yang dulunya kering kini terbasahi. Air sungai yang dulunya kering kini hidup kembali. Seolah pertanda menyuruh tanaman kecil agar tumbuh lebih awal. Lebih cepat. Sudah 2 bulan hujan tidak turun dari langit. Sudah 2 bulan pula tanah menyisakan retakan besar menganga. Barangkali musim kemarau sudah usai. Hujan telah tiba. Setidaknya untuk hari ini saja.

2 bulan masa sulit sudah kualami. Masa sulit ini membuatku hampir berputus asa….

“Omak … Sudah turun hujan. Ayo lekas ke sopo”, teriakku dari kejauhan.

“Iya anakku”, omak membalas teriakanku

Kami segera bergegas ke sopo. Hujan mulai deras. Cuaca makin dingin. Menusuk sampai ke tulang. Dengan penuh perjuangan pula kami akhirnya sampai di sopo. Aku cepat-cepat menyalakan api di tungku. Kususun rapi kayu bakar yang ada disampingku. Karena kulihat omak sudah menggigil kedinginan.

“Aku buatkan api dulu ya mak?”

Aku sedang sibuk mencari korek api. Entah dimana si korek api berada. Aduh, cuaca di luar makin dingin saja plus hujan makin deras.

“Omak korek api dimana?”, bisikku

“Omak letakkan di dekat perapian kok nak. Coba periksa dengan teliti”.

“Oh, ini sudah dapat mak!”, sambil menunjukkan korek apinya ke omak

Akhirnya kutemukan juga korek api yang bersembunyi dibalik triplek. Bergegas aku membuatkan api di perapian. Api menyala. Kami pun mulai mendekat ke perapian. Rasa dingin mulai pergi. Badan kami terasa hangat. Hangat sekali.

“Omak istirahat dulu ya?”, saranku. Kulihat omak kecapean sebab seharian membanting tulang di sawah. Kulemparkan senyuman pada omak padahal aku khawatir padanya.

“Ya nak, omak istirahat dulu ya. Kalau hujan sudah reda bangunkan omak. Karena masih ada yang mau dikerjakan”, sambungnya.

“Iya mak”, sahutku

Sore itu hujan makin deras saja. Ting…ting.. Yang terdengar hanyalah suara genteng berdenting diatas kepalaku. Angin diluar berhembus kencang. Seolah sedang membagikan cerita padaku sore ini. Kunikmati suara-suara itu dengan damai. Sangat damai. Aku mulai membaringkan tubuh dan menengadahkan kepala sembari membisikkan suara dalam hati. Memanjatkan doa kepada Sang Kuasa agar masa sulit di desaku ini berakhir. Kalau masih seperti ini bagaimana hasil panen kami nantinya. Karena pada umumnya di desaku mayoritas petani. Kalau saja tak datang hujan, tanaman-tanaman di desaku lambat laun layu dan akhirnya mati. Aku merasa kasihan dengan petani-petani di desa. Apalagi dengan ibuku.

Mudah-mudahan saja hujan tidak berakhir hari ini. Tanaman petani di desaku sudah lama menantikan kedatangan hujan. Petani mulai was-was kalau saja hujan tidak turun-turun. Tuhan, mau makan apa para petani di desaku ini?, aku membatin.

Sore itu, tampaknya hujan sudah reda. Aku kemudian bangkit berdiri dan bergegas keluar. Memastikan keadaan di luar. Apakah masih turun hujan. tak kusangka, langit yang awalnya mendung kini mulai cerah. Sang mentari mulai keluar dari peraduannya.

“Mak, hujannya sudah berhenti”, aku membangunkan omak dari tidurnya.

“Iya nak! Omak sudah bangun. Ayo kita lanjut nak”, omak memalingkan wajah keriputnya padaku dengan senyum sumringah. Meski sudah tua tapi tetap semangat.

“Aku menyahut, ayo mak!”, memberi semangat ke omakku.

Hujan sudah reda. Sore itu burung-burung yang awalnya murung kini riang gembira. Mereka tampak menari-nari di pepohonan. Melompat kesana kemari. Bersiul-siul seolah sedang bernyanyi. Adapula yang asyik mengangkasa di langit jingga. Sama halnya dengan serangga kecil yang mulai keluar dari peraduannya. Mengeluarkan bunyi khas bersahutan. Indah sekali. Semua makhluk tampak bergembira sore itu. Sore itu pula, aku dan omak melanjutkan pekerjaan yang belum tuntas. Dengan penuh harapan semoga hasil pertanian tahun ini memberikan hasil yang memuaskan.

Hujan, janganlah kau beranjak pergi.

Hujan, aku mau kau kembali esok hari.

Petani di desa membutuhkan kehadiranmu.

Gemburkan tanah-tanah kami.

Agar kelak semua petani bisa menikmati hasil panennya.

“Hari sudah petang, saatnya kita kembali kerumah mak. Adik-adik di rumah sudah menunggu”, sambil menenteng cangkul di pundakku.

“Iya nak, mari kita pulang ke rumah. Adikmu sudah menunggu”, Ibu membalas.

***

Petang berganti malam, aku menikmati keheningan malam. Hanya kepak sayap kelelawar dan suara jangkrik yang terdengar dari kejauhan. Binatang malam seperti serangga tanah mulai muncul dari permukaan tanah. Berkeliaran kesana kemari. Sesuka hati. Sebagian serangga malam sedang sibuk dengan aktivitas malamnya. Mencari makanan atau sekedar menikmati suasana dingin malam ini.

Tidak denganku, malam ini membaringkan tubuh yang lelah seharian bekerja membantu ibu. Tidur seadanya beralaskan tikar. Memandangi langit-langit kamar dan mulai merenung. Terkadang mengingat almarhum bapakku. Tak sadar kutitikan air mata. Mengucur deras. Aku merindukanmu pak.

Sudah 4 tahun berlalu semenjak kepergian bapak. Bapak sudah lebih dulu dipanggil-Nya. Karena penyakit kanker paru yang dideritanya. Bertahun-tahun bapak harus berjuang melawan penyakitnya. Tapi, apa daya barangkali Tuhan tak ingin melihat bapakku menderita kesakitan terlalu lama. Tepat saat kelahiran adik bungsuku. Bapak harus pergi menghadap Sang Kuasa.

Sudah 4 tahun berlalu, omak yang mencukupi segala keperluan di rumah. Omak pula yang menjadi tulang punggung keluarga. Walau garis-garis tergurat di dahinya tanda dimakan usia. Omak harus berjuang menantang teriknya matahari dan hujan di sawah. Tak kenal lelah padahal umur sudah tua.

***

Aku anak pertama dari 2 bersaudara. Namaku Pangihutan. Usiaku 16 tahun. Masih bersekolah. Kelas 2 SMA Negeri 1 Parlilitan. Tiap hari sepulang dari sekolah aku harus bersih-bersih dirumah dan membantu omak di sawah. Tak ada waktu untuk bermain.

Ketika bel tanda istirahat berbunyi. Aku beranjak menuju bukit kecil yang ada di dekat sekolahku. Ingin sendiri tanpa ada gangguan dari siapapun. Hanya di bukit itu aku bisa merenungi hidup ini. Ada banyak hal yang kupikirkan. Terkadang aku memikirkan omak di sawah. Aku bergumam dalam hati. Mak, maafkan aku tak bisa menjadi anak yang baik untukmu. Aku hanya bisa menyusahkan omak. Aku hanya bisa berdoa agar omak baik-baik saja dan selalu dalam lindungan Tuhan. Aku mulai meneteskan air mata. Mulai berderai membasahi pipiku. Tak kuasa aku menahannya. Maafkan aku omak. Kadangpula aku memikirkan adikku di sekolah.

***

Ketika pulang dari sekolah seringkali kudapati omak merenung sendiri di dapur. Terkadang, secara tak sengaja kudapati omak menangis. Barangkali omak sedang memikirkan sesuatu atau ingat almarhum bapak. Entah.

Mak, teriakku dari ruang tengah. Dengan cepat-cepat ibu mengusap air matanya.

Tampaknya omak menangis, terlihat dari matanya yang memerah.

Kaden ko mak? Na tangis ngo omak? kasa tangis ko mak? (Kenapa kau mak? Yang nangisnya omak? Kenapa menangis mak?). Ada banyak tanya yang kulontarkan. Ibu Tetapi, tetap saja omak mengganti topik pembicaraan.

“Tidak apa-apa nak, dimana adikmu Ihut?”

“Masih di sekolah mak. Aku cepat pulang karena ada rapat guru di sekolah. Semua siswa disuruh cepat pulang mak”. balasku.

“Oh, ayo lekas ganti bajumu. Kamu pasti sudah lapar. Omak masak ikan kepala batu kesukaanmu tadi”. Sambil masuk ke kamar.

Sedari kecil aku sudah terbiasa makan ikan kepala batu. Sama halnya dengan adikku. Jujur saja, aku tak pernah merengek soal makanan. Makan seadanya saja. Apa yang dimasak omak itu yang dimakan. Tapi, terkadang aku merasa kasihan dengan adik kecilku. Umurnya masih 7 tahun. Ia harus merasakan hal yang sama denganku. Menikmati masa-masa kecilnya dengan penuh kepahitan. Walau begitu ia juga tak pernah mengeluh soal makanan. Selalu mensyukuri apa ada sebagai tanda pemberian Tuhan.

“Bang, kapan ya kita bisa makan enak?” Tanya adikku

Mendengar dia bertanya, aku menunduk dan mulai terdiam sejenak. Tapi aku tak mau mengecewakan pertanyaannya.

“Pasti, suatu saat nanti kita pasti bisa makan yang enak-enak”. Aku mencoba menyakinkan adik kecilku.

“Makanlah, nanti keburu dingin dik”.

Hidup ini harus kujalani walau itu pahit. Aku tetap bahagia bersama omak dan adikku yang kumiliki saat ini. Terkadang kita harus merasakan pahir getirnya hidup ini agar kita bisa memaknai arti kehidupan. Nikmati masa muda dengan kesakitan agar nantinya di masa tuamu kau merasakan kebahagiaan. Saat kami berkumpul bersama, omak sering menasehati kami agar selalu tetap bersyukur dengan pemberian Tuhan saat ini. Ibu juga selalu memberi wejangan agar selalu mengandalkan Tuhan dalam setiap kaki melangkah. Terima kasih omak. Kau selalu ada dalam setiap episode hidupku.

Di dunia tak ada yang abadi hanya cinta omak yang abadi….

Medan, Maret 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun