Mohon tunggu...
Roy Simamora
Roy Simamora Mohon Tunggu... lainnya -

Mahasiswa, Penulis, Blogger, suka membaca dan menulis. " Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari ”

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku

6 November 2014   07:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:30 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semilir angin berhembus dari celah ventilasi kamarku. Angin pengarak pagi menyusup. Membelai wajahku dengan lembutnya. Pun menusuk ke sumsum tulangku. Sayup-sayup terdengar suara merdu gesekan senar-senar dari kejauhan. Memperdengarkan alunan lagu yang berirama, indah sekali.Biola. Ya, alunan biola membangunkanku dari tidur. Siapa gerangan yang memainkan biola pagi ini? Entahlah.

Kupikir sedang bermimpi. Ternyata tidak. Kupikir sedang berimajinasi. Ternyata tidak juga. Dengan cepat aku berlari ke arah jendela kamarku. Berharap aku mendengarnya dengan jelas. Kubuka jendela kamarku. Kucari-cari suara yang membangunkanku tadi. Tapi, alunan biola samar-samar mulai hilang. Yang tampak hanya siluet tubuh seseorang kena terpa mentari pagi. Buru-buru aku berlari keluar. Menuruni anak tangga sepuluh tingkat dengan sekejap mata. Rasa penasaranku menjadi-jadi. Ingin kulihat langsung siapa yang sosok pemain biola itu. Sial, aku gagal menemuinya.

Dengan napas ngos-ngosan aku masuk kerumah. Bak pemburu kehilangan buruan. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Ahh, sial..siaaal, aku menggerutu. Kemana sosok pemain biola itu. Jujur, aku menyukai permainan biolanya. Kepiawaian memainkan biola bak Lindsey Sterling yang hebat itu tak jauh beda. Itu pandanganku. Biola seirama dengan lagunya. Lagu cover Imagine Dragons berjudul Radioactive sebagai pembuka pagi ini.

***

Namaku Daniel. Biasanya orang memanggilku dengan sebutan Dani. Usiaku tujuh belas tahun. Masih sekolah. Aku memiliki ciri-ciri rambut cepak, hidung mancung, mata sipit, kulit putih bersih. Lebih tepatnya sedikit keorientalan. Orang-orang terdekatku bilang aku kadang-kadang mirip Wang Lee Hom. Penyanyi asal negeri tirai bambu itu. Katanya. Padahal dalam darahku mengalir darah batak. Ayah dan ibuku asli keturunan batak. Meskipun begitu aku tidak pernah ge’er kalau orang bilang aku memiliki wajah oriental. Barangkali kakek atau nenek buyutku dulunya keturunan mata sipit.

Aku tipikal orang yang tak suka banyak bicara. Berbicara seadanya saja. Terkadang cenderung berpikir realistis. Kalian juga harus tahu, aku suka menulis. Bahkan menulis sudah jadi hobiku. Saat menulis, aku tak suka dikekang. Aku menulis karena keinginanku sendiri. Kesenanganku sendiri tanpa ada tekanan dari manapun. Dengan menulis setidaknya masalah dan beban pikiranku terbuyarkan. Saraf otakku semakin aktif berpikir. Itulah kehebatan dari menulis ini. Ada magic yang tersimpan. Semua rasa gundah, kesal, marah, cinta, benci terlunasi karena aku menulis.

Aku suka menulis apa saja, baik catatan harian, cerpen, puisi, prosa, pantun dan naskah drama. Aku suka berimajinasi. Saat aku berimajinasi aku bisa menemukan banyak inspirasi. Cepat-cepat aku torehkan dalam note. Takut inspirasi itu hilang. Inspirasi bisa datang darimana saja. Ketika jalan-jalan, bertemu teman, tidur, mandi, ataupun saat makan. Nikmat sekali.

Ada banyak penulis sastra yang menginspirasi diriku. Salah satunya adalah penulis cerpen asal perancis beraliran naturalism, Guy de Maupasant. Karyanya yang terkenal Misogyny (benci kepada perempuan).

Aku juga suka musik. Music is my life. Semua genre musik aku sukai, tapi aku lebih cenderung menyukai lagu-lagu beraliran mellow. Musik takkan hidup jikalau tanpa ada kata-kata. Musik tak indah jikalau tanpa melodi. Musik akan berwarna jikalau kata-kata berkelindan kuat dengan melodi. Maka ketika kata-kata bersatu dengan melodi, terciptalah alunan lagu yang indah dan menyejukkan hati.

***

Pagi ini, hari pertama masuk sekolah. Aku sedikit malas. Malas karena akan bertemu dengan guru matematika yang super duper bawel. Sebenarnya aku malas kali ke sekolah apalagi masuk mata pelajaran guru killer itu. Lebih baik main ke studio musik sekolah, melepas penat. Tapi, temanku dari tadi malam sibuk menderingkan henponku. Katanya ada surprise. Surprise?. Tidak ada hari bersejarah hari ini. Mungkin mereka sedang mengerjaiku. Karena dari dulu memang begitu.

Pagi ini aku bermalas-malasan sebab semalam suntuk aku sibuk dengan garapanku. Aku sedang menggarap sebuah buku. Lebih tepatnya menelurkan sebuah karya satra. Ini sastra atau bukan. Entahlah. Jujur kukatakan aku sulit menamainya. Kubaca ulang outline buku itu. Dalam benakku “ini novel, puisi atau prosa. Atau prosa yang setengah kepuisi-puisian, atau puisi yang setengah keprosa-prosaan. Atau novel yang setengah kepuisian dan keprosaan. Entahlah. Aahh, peduli amat. yang penting aku nulis. Perkara novel, puisi atau prosa itu urusan belakangan”.

Dari pagi sampai malam aku tidak keluar kamar demi garapanku ini. Sehari full di depan komputer. Face masih memburam, mata tampak layuh, lingkaran hitam membundari sekeliling kelopak mataku. Wajahku sebenarnya masih kantuk. Badanku bagai remuk dilindas truk. Dengan jalan sempoyongan kayak orang mabuk, aku bergegas masuk kamar mandi.

Sebelum masuk kamar mandi tak lupa aku menyalakan musik di smartphone milikku. Kupilih list lagu yang berderet rapi di henpon. Ke atas, ke bawah. Sibuk mencari list lagu yang pas untuk memulai aktivitas pagi ini. Jari-jariku sibuk mengotak-atik layar henpon. Tiba-tiba mataku tertuju seraya jari berhenti tepat pada sebuah lagu mellow dari Agnes Baltsa penyanyi mezzo soprano asal Yunani itu. Kutekan tanda play. Lirik lagu Aspri mera ke ya mas mengalun lembut di pagi yang indah ini. Alunan lirik lagu mengalun senada dengan permainan gitar ala gitar spanyol. Membuat jiwaku tenang sejenak. Dunia seperti hilang sekejap, berhenti, badanku terdiam, jiwaku melayang mengalun lembut terbang bersama alunan lagu. Mimpi-mimpi seperti dalam genggaman, kegelapan menjadi seperti ruangan luas yang penuh cahaya terang kehidupan, masa depan seperti bidadari yang menanti pelukanku. Ahh, so beautiful !!.

Tha… potiso m’ ena dakri mou almyró

Ton kero

Pikra kalokairia

Emaza konda sou na perno

Nekra peristeria

Yemise y avgui ton ourano

Tha… yiriso lipimeni panagia

Eye yia

Min kles to marazi

Mathe filachto na min kremas

Na les den pirazi

Tha ‘rthi aspri mera ke yia mas

Na les den pirazi

Tha ‘rthi aspri mera ke yia mas

***

Waktu terus berjalan. 15 menit waktu berlalu dengan cepatnya. Kurang lebih sudah lima lagu yang mengalun dari henponku. Aku masih saja menikmati setiap basuhan air dingin yang mengalir di setiap bagian tubuhku. Segarnya bukan main. Mulai terasa dingin, kugapai handuk yang menggantung dibalik pintu kamar mandi. Mengelap seluruh bagian tubuhku yang terasa dingin. Sudah cukup. Melilitkan handuk pada pinggangku, menutupi daerah vital milikku. Lalu, berjalan menuju lemari pakaian.

Kupakaikan seragam sekolah putih abu-abu ke badanku yang kurus krempeng. Tak lupa memakaikan ikat pinggang agar celana yang agak kebesaran tidak melorot nantinya. Sudah rapi. Kusemprotkan wewangian dari botol black buatan paris. Aku menghela nafas. Tercium aroma segar menusuk hidungku.

Sudah rapi. Aku berjalan menuruni anak tangga dengan tas menggantung dipundak. Tak lupa aku sarapan pagi buatan mamaku. Nasi goreng telur dengan hiasan irisan cabe merah, tomat dan mentimun. Sesendok dua sendok masuk ke mulut dan seterusnya. Kenyang.

Sebelum berangkat ke sekolah aku berpamitan dengan mamaku.

Mak, aku berangkat”, teriakku dari meja makan.

Ya, tidak ada yang ketinggalan kan, nak?, sahut mamaku sambil berjalan menghampiri aku.

“Tidak ada mak. Semua lengkap kok”.

“Dani, berangkat dulu ya mak?”. Tak lupa mencium tangan kanan mama.

“Oke, hati-hati. Semangat belajar nak”.

Sudah tiba di sekolah aku lekas menuju ruang kelas. Pagi itu sekolah tampak lengang. Siswa yang lain masih belum datang. Aku kemudian berjalan santai menuju ruang kelas. Mengarah mejaku yang ada dipojokan.Kusandarkan tubuhku sambil memandangi seisi ruangan kelas.

Tiba-tiba mataku terpaku sejenak pada secarik kertas yang terkulai lemah dilantai keramik berwarna putih. Sepertinya ada goresan pena disana.

Kugapai kertas itu. Lalu kutilik apa gerangan isi tulisan ini. ahh, ternyata puisi. Begini bunyinya:

Aku bimbang

Tak tahu entah kenapa

Aku bimbang

Tak tahu entah mana yang akan ku gapai

Tak tahu apa yang pantas ku dapat

Tak tahu entah apa yang harus ku perbuat

Hatiku telah kau luluhlantahkan

Kau buai aku dengan kata-kata mautmu

Aku terbuai

Tak bisa kupungkiri

Tak bisa ku labui itu

Aku terhanyut, tenggelam tak tentu arah

Hasrat cintaku terlalu dalam padamu

Aku bahkan tak mampu bernafas

Tak akan bisa bernafas tanpamu

Apa aku salah mencintaimu?

Apa aku terlalu muda untuk merasakan getaran itu?

Tak ada yang pantas dipermasalahkan

Aku sungguh ingin menggenggammu erat

Mengepakkan sayap dan terbang tinggi bersamamu

Membubung tinggi ke awan

Andai kau tahu

Aku ingin hidup seribu tahun lagi

Aku ingin mencintaimu layaknya mentari

Yang bergulir sempurna dari kanan ke kiri

Aku disini

Di segelintir bagian hatimu

Memeluk seuntai cinta dan harapan

Izinkan aku tetap mencintaimu

Dan bersembunyi di tiap sekat rongga hatimu

*Secret Admire

Alamak, penulis puisi ini tampaknya sedang mengagumi seseorang. Tapi aku tidak tahu siapa penulisnya dan kepada siapa puisi ini dituju. Aku penasaran. Ditambah dengan kalimat akhir “secret admire” membuat rasa penasaranku menjadi-jadi.

“Lagi ngapain bro?. Sedang baca apa?. Serius amat”, sapa Ardi yang baru tiba.

“Gak ada apa-apa bro”.

Tapi kok serius sekali membaca isi kertas itu. Ada surat dari pengagum rahasiamu ya?, sahutnya.

“Bukan. Tadi surat ini tak sengaja kutemukan dibawah meja sana”, sambil menunjukkan kearah letak surat tak bertuan ini.

Jujur, aku menyukai untaian puisi ini. Si pembuatnya lihai memainkan diksi dan meramunya jadi berasa. Siapa pemilik puisi dan siapa sosok yang dia kagumi?. Aku membatin.

“Hallo, kok malah bengong?”

“Ahh, tidak bro”

“Sini coba aku baca dulu”, Ardi merebut kertas itu dari tanganku.

“Wah, setelah kubaca, puisi ini biasa-biasa saja”, celoteh Ardi.

“Alah, alasan saja kau bro. bilang saja kau menyukai puisi itu”, sambil menarik surat itu dari genggamannya.

Sayup-sayup suara biola terdengar lagi. Sama seperti kejadian tadi pagi. Tapi, kali ini melodi lagunya berbeda. Aku mencoba menebak-nebak. Lagu siapa ini?. Ternyata tebakanku tepat lagi, lagu you’re beautifull dari James blunt. Dan lagu ini menyihirku. Membuat jiwaku tenang sejenak. Dunia seperti hilang sekejap, berhenti, badanku terdiam, jiwaku melayang mengalun lembut terbang bersama alunan lagu. Mimpi-mimpi seperti dalam genggaman, kegelapan menjadi seperti ruangan luas yang penuh cahaya terang kehidupan, masa depan seperti bidadari yang menanti pelukanku.

Seperti kejadian tadi pagi ingin kutemui siapa sosok pemain biola itu. Tapi, tetap saja ada hambatan. Bel berbunyi dengan kuatnya. Pertanda masuk keruangan.

“Ahh, sial lagi seraya menghentakkan kaki”, aku menggerutu

Daniiiiii…. Ini sudah jam berapa. Apa kamu tidak sekolah hari ini? Nanti kamu telat. Suara teriakan ibu membangunkanku. Kulirik jam weker. Jam 08:15.

"Sialll..!!!"

Medan, April 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun