Oleh : Rosiana Febriyanti No. 119
“Horeee hujaaaan! Lira, ayo ikut pesta lampu!” ajak Lora, laron betina kepada saudaranya.
“Ah, malas. Enakan juga tidur,” sahut Lira sambil menarik selimut yang dianyamnya sendiri dari dedaunan kering dan campuran liur beserta sedikit tanah.
“Lihat, laron-laron lain sudah berduyun-duyun menuju lampu rumah penduduk kampung! Ayo, nanti kita ketinggalan!” bujuk Lora sekali lagi.
“Tidak, Lora. Menurut temanku, si kutu buku, setiap laron yang ikut pesta lampu pasti mati tersengat panasnya lampu. Memang, lampu itu menarik, tapi akibatnya tanggung sendiri kalau kamu nekat ikut pesta itu,” jelas Lira.
“Ah, itu karang-karangan kutu buku saja agar kita tidak bisa bersenang-senang malam ini. Bukankah ini malam yang selalu dinanti-nantikan para laron betina untuk berjumpa dengan para laron jantan? Siapa tahu, kita bertemu jodoh kita, Lira?” ujar Lora yang bernafsu sekali ingin menghadiri pesta lampu.
Lira malah terus mendengkur. Melihat itu, Lora segera terbang meninggalkan Lira di kamarnya dan berkata,”Biar saja, kau pasti menyesal karena tak bisa bersenang-senang. Kata para tetua, ini pesta sekali seumur hidup!”
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 21.00, tetesan air hujan masih membasahi tanah. Lira, seekor laron betina yang baru bangun tidur mengusap-usap perutnya yang buncit.
"Ah, tampaknya aku terlambat datang ke pesta lampu. Biar saja, pasti teman-teman sudah menanggalkan sayap-sayap kebanggaannya dan hanya aku yang selamat dari tradisi itu. Yah, setiap ada pesta lampu, para laron pasti akan kehilangan sayap-sayapnya dan tinggal menunggu nasib, bisa tetap bertahan hidup, mati terinjak, atau menjadi santapan hewan lain," pikir Lira.
Laron muda itu mulai mengepakkan sayapnya dengan malas. Akan tetapi, hatinya begitu tertarik pada sinar bola lampu yang berpendar-pendar. Sayapnya mengepak-ngepak tanda ia tak dapat membendung keinginannya untuk segera terbang mendekati benda bundar penuh cahaya menawan itu. Pada waktu ia hanya berkeliling di sekitar lampu yang bertengger di sebuah rumah penduduk kampung, tiba-tiba ia teringat pesan sahabatnya, si kutu buku.
"Lampu itu menarik tapi bisa membuatmu binasa. Berhati-hatilah, Lira!" kata-kata kutu buku kembali terngiang-ngiang.
Setelah merasa sayapnya mulai tersengat panas sinar bola lampu, segera ia menukik dan mendarat di sebuah kayu lapuk di rumah itu. Ia berniat hendak melanjutkan tidur panjangnya.
Tiba-tiba sebuah daging lunak yang panjang dan berwarna merah terjulur ke arahnya. Hap! Ah, ia tak sempat mengelak. Tubuhnya lumat di dalam mulut seekor cicak. "Tidaaak!" pekiknya nyaris tanpa suara. Lira, laron yang berusaha menghindari takdirnya itu kini pasrah di perut seekor cicak.
"Hem, lumayan... sebagai camilan malam ini," gumam cicak itu sambil tersenyum.Ternyata kehidupan Lira berakhir di dalam perut seekor cicak. Siapa pun tak ada yang dapat menduga bagaimana akhir kehidupannya sendiri.