Mohon tunggu...
Rosiana Febriyanti
Rosiana Febriyanti Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga dan guru

Senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Silaturahmi Bertunas Walau Tolikara Memanas

23 Juli 2015   08:53 Diperbarui: 23 Juli 2015   10:58 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Selama bertahun-tahun kami hidup rukun, sejak orang tua kami masih hidup sampai mereka tiada. Perbedaan agama, suku, dan prinsip tidak menjadikan kami bertengkar, hanya jarak geografis yang memisahkan kami. Kami tidak pernah minta dilahirkan sebagai muslim dan nasrani, tapi kami menjaga warisan orang tua kami, yaitu menjaga hubungan baik sebagai saudara. Semoga kami masih tetap menjaganya sampai anak cucu kami. "
- Rosiana Febriyanti

Sewaktu SD, aku bermain bersama sepupu-sepupuku, bahkan sering menginap di rumah saudaraku yang Kristen. Masih terbayang saat malam Natal, aku dan adik pernah menginap sambil menonton TV di sana sampai pukul dua belas malam. Sementara itu, Pakde mengumpulkan seluruh anggota keluarganya di kamar untuk beribadah bersama. Aku juga masih ingat ketika Bude melarang keras aku menyentuh semangkuk daging "antik" untuk dimakan. Beliau malah menggorengkan telur cepok untukku. Belakangan aku tahu, itu adalah daging yang diharamkan dalam agamaku. 

Keesokan harinya, banyak tamu berdatangan ke rumah Pakde untuk mengucapkan selamat Natal. Aku dan keluargaku juga ke sana untuk mengantarkan makanan kendati tidak ikut mengucapkan selamat, karena agamaku melarangnya. Keluarga yang beragama Kristen juga tidak mempermasalahkannya dan tetap menjaga silaturahmi dengan mengunjungi keluarga yang muslim saat Lebaran. Sampai sekarang, kalau malam takbiran, anak-anak Pakde datang sambil membawa makanan untuk kami.

Setiap hari Lebaran kami berkumpul bersama, baik yang keturunan suku Jawa, keturunan suku Sangir (Sangihe Talaud), maupun yang keturunan Tionghoa. Bahkan, sekarang ditambah dengan keturunan suku Betawi, keturunan suku Batak, dan keturunan suku Sunda. Beragam sekali, bukan? Inilah potret mini Indonesia yang seharusnya hidup berdampingan dengan damai. Saat Lebaran, kami mengunjungi para orang tua dan famili, mereka pun menjelaskan silsilah keluarga agar kami tahu kami memiliki hubungan darah satu sama lain, berbagi cerita yang selama ini belum pernah kami dengar, dan memanfaatkan momen berharga yang hanya setahun sekali ini untuk mengajarkan kami bagaimana memperlakukan saudara.

Tak ada dinding di antara kami, meskipun berbeda agama, berbeda suku, dan berbeda pilihan politik. Bahkan saat Bude meninggal, aku datang turut berduka cita. Pakdeku dengan bangga memperkenalkanku pada pendetanya sambil mengatakan, "Ini keponakan saya, walaupun berjilbab tapi kami tetap berhubungan baik." Aku juga tidak merasa risih, karena kupikir apa yang aneh dengan jilbabku? Toh, jilbab tidak menghalangiku untuk tetap bergaul dengan siapa pun. 

Sekarang orang tua kami sudah tiada, tinggallah anak-anak yang terpisah jarak geografis. Namun, tradisi silaturahmi tetap kami jalankan. Ini warisan orang tua yang kami jaga hingga detik ini. Kami saling merindukan saat berjauhan dan saling bertukar kabar. Jika ada yang kesusahan, kami pun berusaha untuk saling membantu semampu kami. Kami saling merasa kehilangan jika orang tua kami satu per satu dipanggil Tuhan.

Aku merasa janggal jika ada pihak-pihak yang sengaja memancing di air keruh seperti peristiwa Tolikara yang sedang hangat dibicarakan sekarang ini. Mengapa kita tidak belajar memaafkan dan tidak mendendam satu sama lain? Biarlah pihak yang berwenang yang mengusut kasus tersebut. Ini bukan masalah peduli atau tidak peduli sebagai sesama muslim, tapi pasti ada pihak provokator yang senang jika umat muslim bersikap reaktif. Untuk kasus Tolikara, kupikir perlu ada tindakan yang tepat dari pihak adat (kepala-kepala suku), pihak pemuka agama, dan pihak pemerintah. Bukankah ini juga tanggung jawab pemerintah untuk menyelesaikannya? 

Menurutku, mengapa kita tidak berlomba-lomba berbuat kebaikan, bukan saling serang dan saling menghujat. Hari ini adalah hari anak nasional, mengapa kita tidak mencontohkan kepada anak-anak kita bagaimana menjaga kesatuan dan persatuan bangsa? Oh, alangkah indahnya jika kita dapat menularkan semangat berbagi, semangat menyayangi, semangat perdamaian, dan semangat membangun negeri ini dengan hati, pikiran dan langkah yang visioner. Merekalah generasi muda yang akan kita estafetkan cita-cita bangsa. Jangan biarkan sikap skeptis dan masa bodoh karena menganggap itu "Bukan urusan saya!" kian menjangkiti generasi muda Indonesia dan mereka larut dalam budaya hedonisme dan narsisme.

Jangan lagi ada Islamophobia dengan isu radikalisme dan terorisme yang menghendaki disintegrasi. Polisi juga tak perlu bersikap berlebihan dan berat sebelah dalam menyelesaikan masalah sensitif seperti ini, bertindaklah objektif untuk melindungi semua umat beragama di Indonesia. Hentikan upaya saling ancam dan berburuk sangka agar Indonesia menjadi tempat yang ramah anak dan tempat paling dirindukan sampai kapan pun. Aku masih sangat ingin menyaksikan anak cucuku nyaman tinggal di tanah airnya meskipun kutahu dunia semakin tidak ramah kepada mereka. Save our children!

"Walaupun Tolikara memanas, silaturahmi tak akan meranggas, tapi tetap bertunas dan bernas"

- Rosiana Febriyanti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun