Ada desa yang harus tenggelam dan seluruh penduduknya harus dipindahkan ke daerah lain karena terkena abrasi. Dengan waktu tempuh sekitar 1jam dari Semarang. Tepatnya di daerah Morosari, Tambaksari, kabupaten Demak, Jawa Tengah. Desa itu sudah ditinggalkan hampir seluruh penghuninya, dan hanya beberapa kepala keluarga (KK) yang masih bertahan. Daerah Tambaksari kini dijadikan kawasan konservasi burung yang didominasi oleh Avicennia digarda depan. Dari kejauhan sudah terdengar keramaian kicauan burung berwarna dominan putih. berkepala kuning seperti kepodang, dan bertungkai jenjang mirip bangau. Sayangnya, akses jalan menuju daerah Tambaksari cukup sulit. Dari lokasi parkir, kita harus berjalan kaki sekitar 1km melewati pematang ditengah lautan, walaupun sebenarnya menuju "pulau" Tambaksari bisa ditempuh dengan roda dua, namun agaknya cukup ngeri karena jalannya sempit dan berbatu. Memasuki "pulau" Tambaksari seperti memasuki "The Lost World", dimana manusia menjadi marginal ditengah dominasi vegetasi Avicennia dan ekosistem burung berkepala kuning, berbulu putih. Nafas agak sedikit sesak karena aroma air laut yang menyengat bercampur dengan kotoran burung dimana-mana. Hanya ada jalan setapak disana, yang dikanan-kirinya rimbun oleh Avicennia. Dari sela-sela pepohonan, bisa terlihat sarang-sarang burung yang hilir mudik terbang dan bekas rumah-rumah tua yang setengah terendam air laut. Hanya tersisa rumah berpenghuni yang ditinggikan hingga menyerupai rumah panggung untuk menghindari air pasang. Masih tersisa satu mushala disini. Memasuki mushala tua yang ditinggikan ini harus dengan merundukkan kepala. Disisi mushala kita bisa duduk santai dan melihat aktivitas burung dengan jelas. Oya, satu hal yang dilarang adalah menembak atau melukai burung-burung yang ada disana. Karena dari awalpun, Tambaksari adalah area konservasi burung yang digagas oleh salah satu LSM asal Jepang. Daerah ini sengaja direhabilitasi, selain untuk pencegahan keganasan abrasi juga sebagai area transit burung yang sedang bermigrasi. Ujung daerah Tambaksari adalah area pemakaman ditengah lautan. Beberapa makam yang terselamatkan dari abrasi ini sengaja ditinggikan. Akses bagi peziarah hanya jembatan bambu dan jembatan kayu yang ditopang cor beton. Saat kami kesana, ada beberapa anak SMA yang sudah duduk dibawah Avicennia menghadap ke lautan lepas. Sebenarnya daerah ini punya pemandangan yang indah, tapi saya nggak tega buat berkunjung lagi kesana. Saat hendak pulang, saya dan rombongan KeSEMaT shalat dhuhur dulu di mushala yang hampir rusak. Jamaahnya selain kami, ada beberapa pemuda dan lansia nelayan. Di bagian jamaah wanita, ada seorang nenek yang hendak shalat. Saya menyalaminya, dan beliau bertanya dalam bahasa Jawa halus yang kira-kira begini : Darimana,nduk?. Saya menjawab sebisanya : Saya dari Semarang,Bu. Kesini sama teman-teman. Yang membuat saya terbayang-bayang adalah sorot mata si Nenek yang kelihatannya senang melihat orang datang ke tempat tinggalnya. Mungkin karena dulunya, si Nenek juga sempat merasakan hidup bertetangga, tetapi karena abrasi, semuanya pun pindah. Sekarang, daerah Tambaksari lebih mirip pulau mati, menurut saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H