Mohon tunggu...
Rizky Kusumo
Rizky Kusumo Mohon Tunggu... -

Menulis adalah mengucapkan hal-hal yang tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata (Follow Rizky_Kusumo7)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Berhentilah Mengeluh!!!!!!!

15 November 2013   17:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:07 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kalian mendengar kata-kata seseorang, tapi kita tidak pernah mengerti maksudnya? Alkisah, dahulu pernah ada seorang pemuda Yunani yang datang ke sebuah Kuil. Pada saat itu, masyarakat Yunani sedang mengalami musim dingin yang panjang. Dalam kisah tersebut, pemuda itu meminta para biarawan melakukan sesuatu untuk menyelamatkan rakyat. Namun, para biarawan itu hanya berkata,”yang bisa kita lakukan hanya pasrah, karena Dewa sudah mengkutuk kita.”

Tapi, timbulah pertanyaan dari dalam dirinya, “kalaupun ini takdir, bukankah kita harus merubahnya?” Pemuda itu pun pergi ke gunung Olympus dan akhirnya menemukan api. Api inilah yang akhirnya menyelamatkan masyarakat Yunani dari hawa dingin. Namun, pemuda tersebut harus menjalani hukuman mati. Karena, gunung Olympus yang dianggap tempat tinggal Dewa, dilarang untuk dimasuki.

Sering sekali saya membaca dan sedikit demi sedikit, mulai menghayati maksud cerita tersebut. Cerita ini adalah sebuah pertanyaan dalam hidup, tentang takdir ataupun pilihan? Jika, pemuda tersebut mempercayai para biarawan tersebut. Pastilah dia akan pasrah bahwa semua ini adalah kutukan dari Dewa. Tapi, ketidak-mengertian membuatnya memilih jalan lain untuk menyelamatkan rakyatnya. Walaupun, pemuda tersebut harus mengorbankan nyawanya. Akhirnya, dia menemukan jawabannya, “bahwa semua ini bukanlah kutukan dari Dewa!

Tentang cerita ini, semua berawal dari pertanyaan hidup dan bagaimana kita memilihnya. Bukankah, “hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar, terimalah dan hadapilah,” ujar Gie. Pada suatu saat, saya pun pernah bertanya, apakah semua ini takdir? Layaknya seekor anak sapi yang ditakdirkan menjadi seekor sapi? Menjadi seekor sapi yang kemudian dibunuh tanpa ada alasan? Tanpa ada kemerdekaan untuk memilih?

Kemudian saya mendengar sebuah lagu folks song berjudul Donna-Donna dan liriknya cukup menarik, menceritakan tentang anak sapi dan kawanan burung. Dalam lagu tersebut, ada seekor anak sapi yang memandang langit dan melihat kawanan burung bisa terbang bebas. Anak sapi tersebut menyesal dan meratapi kehidupannya dengan tatapan berduka. Akhirnya, ada seekor Petani yang datang dan berkata,”berhentilah mengeluh, siapa yang suruh jadi anak sapi? Kenapa tak kau punyai sayap untuk terbang?”

Mungkin kita bertanya, Bagaimana mungkin seekor sapi bisa terbang layaknya burung? Tapi pada lirik terakhir, Petani itu berkata,”siapapun yang mencari kebebasan, seperti burung layang-layang, haruslah belajar terbang.” Pastilah kita akan bertanya, bisakah seekor anak sapi terbang layaknya burung? Hal inilah yang pernah dirasakan para pendiri bangsa ini. Banyak contohnya, lihatlah Hatta, Syahrir ataupun Tan malaka yang berasal dari padang, Sebuah daerah yang sangat jauh dari Jawa. Tapi dengan kegigihannya, mereka berhasil masuk universitas di belanda.

Pastilah dalam kehidupan mereka, ada suatu perkataan, “berhentilah mengeluh, siapa yang suruh jadi anak sapi?” Hal inilah yang membuat mereka belajar untuk terbang. Mungkin kawan-kawan bisa membayangkan, seandainya mereka memutuskan untuk pasrah atas nasibnya? Bangsa kita tidak akan mempunyai, Ekonom seperti Hatta, Diplomat handal seperti Syahrir ataupun Revolusioner seperti Tan malaka. Kemudian, apakah bangsa ini dapat merdeka? Jika saja orang-orang seperti mereka ataupun pendiri bangsa lainya, masih menganggap dirinya seekor anak sapi dan terus mengeluh?

Kemudian saya menyadari bahwa, para mahasiswa pun pernah merasakan “hanya dianggap anak sapi oleh para orang tua”. Saya sering mendengar kata-kata, “lebih baik kalian belajar saja yang baik dan gak usah ngurus masalah orang tua.”  Para mahasiswa generasi 66 dan 98, pastinya merasakan hal ini. Mereka sama seperti, pemuda di zaman Yunani yang disuruh pasrah dan diam saja di rumah.

Namun, para mahasiswa tidaklah diam saja dan terus mengeluh layaknya anak sapi. Tapi, mereka turun ke jalan untuk melakukan pembaruan atas kesewenang-wenangan para pemimpin.  Walaupun, para mahasiswa akhirnya menjadi korban layaknya pemuda Yunani tersebut. Namun, para  mahasiswa tersebut mampu menemukan jawabannya, “bahwa kami bukanlah anak sapi yang hanya manggut-manggut saja, saat dicocok hidungnya, tapi, kami merupakan elang rajawali yang sebenaranya.”

Tentulah sebagai manusia, kadang kita merasakan bahwa hidup kita layaknya anak sapi tadi.  Pada akhirnya, seperti lirik dalam lagu Donna-Donna,”calves are easily bound and slaughtered, never knowing the reason why? But whover treasures freedom, like the swallow has learned to fly.” Maukah kita menjadi anak sapi yang diikat dan dibunuh, tanpa tahu alasannya? Ataukah mencari kebebasan dengan belajar terbang layaknya burung? Hal ini yang saya dan kawan-kawan dapat memilihnya.

Akhirnya, orang-orang seperti merekalah yang mampu mendapatkan kebahagian. Mereka yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan di alam pikirannya. Sebuah pertanyaan, apakah takdir itu? Apakah nasib itu? Apakah pilihan itu? Walaupun, harus mengorbankan hidupnya. karena, “aku hanya ingin mati disisimu, setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya, tentang tujuan hidup yang tak satupun setan yang tahu,”  ujar Gie.

Jadi, “stop complaning! said the farmer, who told you a calf to be? Why don’t you have wings to fly with, like the swallow so proud and free?” lirik lagu Donna-Donna. Hal ini mengingatkan kita bahwa kebebasan merupakan hak kita. Sebagai seorang manusia yang selalu bertanya-tanya tentang tujuan hidup tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar. Jadi tetap tegak ke langit luas ataupun awan yang mendung memang jauh lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun