Mohon tunggu...
Rizky Kusumo
Rizky Kusumo Mohon Tunggu... -

Menulis adalah mencurahkan apa yang tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata (Follow My Twiiter @Rizky_Kusumo7)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Para Generasi Putra Kemerdekaan

17 Agustus 2012   05:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:38 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada hari ini, 67 tahun lalu para generasi pendahulu berhasil memproklamasikan kemerdekaan. Setelah itu tidak terasa, banyak acara, kegiatan, dan perayaan demi mengikarkan rasa merdeka. Tapi begitulah para generasi yang lahir pasca-kemerdekaan dengan semangat 45 nya setelah 350 tahun dijajah. Seperti saya, para putra-putra kemerdekaan ini. Merupakan generasi yang lahir pada awal 60 an hingga 2012 ini. Para putra-putra kemerdekaan inilah yang selalu bertanya, “benarkah bangsa ini sudah merdeka?” Melihat bagaimana kekayaan bangsa ini dari sabang hingga merauke menjadi milik bangsa asing. Pantaskah kita menyebut, bahwa bangsa ini memang benar-benar sudah merdeka?

Para pendiri bangsa seperi Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dan yang lainnya. Sering mengeluarkan kata-kata bijak untuk pegangan para generasi ini.  Kata-kata ini selalu menjadi slogan untuk mempertanyakan kebenaran kemerdekaan. Seperti kata-kata,”kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali,” yang merupakan kata-kata IR. Soekarano. Ataupun kata-kata Tan Malaka, “merdeka 100%,” menjadi kata-kata favorit para generasi pasca-kemerdekaan. Hal yang akhirnya, memunculkan para generasi yang seperti tidak terlalu yakin tentang kemerdekaan.

Pada awal kemerdekaan pun langsung muncul pertanyaan seperti itu. Munculnya gerakan separatis seperti RMS, DII/TII, dan  RII/ PERMESTA. Memunculkan nama-nama seperti Kartusuwiryo ataupun Kahar Muzakar menjadi generasi pertama yang mempertanyakan. Namun, bagi saya munculnya generasi ini tidaklah mengherankan. Karena, saat itu Indonesia sedang berada dalam transisi. Tapi, tentulah menjadi hal yang menarik disaat pertanyaan ini muncul setelah para anak-anak bangsa ini menjalankan negara. Saya tidak pernah membayangkan, bagaimana perasaan para pendiri bangsa, melihat dua pemerintahan (orde Lama dan orde baru) akhirnya hancur dengan kerisuhan? Melihat perang pemikiran pada dua generasi tersebut?

Para angkatan baru di tahun 60 an merupakan generasi pertama dari periode perang pemikiran ini. Banyak orang melihat keadaan yang membentuk pola pemikiran pada generasi tersebut. Merupakan pertarungan antara blok liberalis (Amerika Serikat dan sekutunya) dan blok komunis (Uni Soviet). Namun bagi saya, keadaan saat itu merupakan pemisahan antara negara kaya (Amerika Serikat, Inggris, ataupun Uni Soviet) melawan negara berkembang (Indonesia, negara-negara asia timur, ataupun Afrika). Hal yang terjadi, Soekarno pun selalu mengumandangkan pekikan, “Revolusi belum selesai,” dalam pidato-pidatonya.

Pada awalnya,  generasi ini merupakan pondasi awal Soekarno untuk membentuk poros melawan negara adidaya. Namun, belumlah tercapai cita-cita sang proklamator. Para generasi ini telah menjadi kecewa setelah angkatannya hanya dibuat perpanjangan antek-antek partai. Pada masa itu, generasi muda di desa menjadi kekuatan basis PKI dan moncong Revolusi ala Soekarno. Sementara itu generasi di kota, menjadi lebih kritis setelah kemerdekaannya untuk mengenal kemajuan-kemajuan barat dilarang. Karena alasan, “tidak sesuai dengan cita-cita Revolusi,”yang akhirnya memunculkan generasi kecewa.

Pada akhirnya, muncullah tokoh-tokoh seperti Soe-Hok-Gie, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan lain-lain.  Mereka menjadi kritikus yang vokal menyerang Seokarno dan anteknya dari segi sosial, politik, bahkan budaya. Revolusi ala Soekarno pun menjadi lebih parah setelah dekrit demokrasi terpimpin. Para generasi ini tidak lagi mampu mengekspresikan pemikirannya, saat tidak sesuai dengan cita-cita Soekarno. Namun, Revolusi ini pun akhirnya hanya naik turun tanpa mencapai titik klimaks. Setelah munculnya G/30-S/PKI, cita-cita Soekarno pun tenggelam dan hancur. Bahkan melalui generasi yang dibentuk oleh pimikiran Revolusinya. Para generasi ini, akhirnya memproklamasikan kemerdekaannya dari orde lama menuju orde baru.

Pada masa orde baru, muncullah para generasi baru dengan cita-citanya dan segala impianya untuk merdeka. Impian tersebut pada awalnya sangat nyata dan memunculkan semangat baru. Generasi awal orde baru dapat merasakan kehidupan ala barat seperti musik, pakaian, bahkan budaya yang dahulunya dilarang. Kebebasan pers pun dibuka seluas-lusanya yang membuat para awak media menjulukinya, “sebagai bulan madu antara media dan pemerintah”. Namun, harapan itu kembali menjadi mitos setelah pemerintah orde baru mulai membungkam mahasiswa (NKK/BKK), media massa, dan partai politik. Soeharto pun menggunakan kekuatan TNI dan partai Golkar untuk menyeimbangkan kekuasaannya.

Seperti pada tahun 60 an, pada angkatan era orde baru ini kembali muncul generasi yang terbagi menjadi dua. Generasi yang tinggal di desa tetap hidup seperti biasa, kebanyakan mereka tidak mengetahui keadaan pemerintah karena terbungkamnya media. Sementara generasi di kota, menjadi aktivis yang kecewa meminta janji kemerdekaan. Kekecewaan para generasi ini terjadi setelah munculnya praktek KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), makin parahnya utang negara, dan semakin ditekannya kebebasan para mahasiswa. Hasilnya sama seperti tahun 60 an, muncullah tokoh-tokoh seperti Budiman Sudjatmiko, Gus Dur, dan masih banyak lagi. Menjadi penggerak yang akhirnya memunculkan Reformasi.

Massa Reformasi pun muncul, setelah perjuangan selama 32 tahun layaknya melawan penjajah. Para generasi 98, berhasil mengikarkan proklamasinya sendiri dengan harapan-harapan kemerdekaanya. Namun, apakah kita telah merasakan “merdeka 100%“ setelah hampir 15 tahun merayakan reformasi? Generasi seperti saya ini pun muncul, mereka pun merasakan kemerdekaan informasi, berserikat/bergolongan, bahkan berpikir. Namun, tetap saja kemerdekaan itu kembali direnggut dengan pengkultuskan golongan. Hingga sekarang, kebenaran itu hanya diungkapkan oleh golongan tertentu tanpa benar-benar terbukti. Jadi, apakah ini yang disebut merdeka?

Sebenarnya, angkatan baru ini mempunyai semangat-semangat yang sangat besar. Mereka mewakili kemajuan jaman dari segi pola pikir, informasi, dan pengetahuan. Namun, kelebihan ini hanya menguap setelah kemerdekaan mereka dibatasi suku, golongan, ataupun keturunan. Hasilnya memunculkan nada-nada kecewa dari generasi baru ini. Lalu, Apakah hal ini akan kembali mengulang sejarah para generasi sebelumnya? Memunculkan “teks-teks proklamasi” sesuai generasinya?

Pada akhirnya, saya pun bertanya, apakah generasi ini akan mengalami kekecewaan seperti generasi terdahulu? Di mana kemerdekaannya sedikit demi sedikit direnggut? Lalu, saya pun sering bertanya kepada teman, “apa yang harus kita lakukan saat itu semua terjadi?” hanya jawaban dari sahabat saya yang menenangkan, “Tuhan pasti punya rencananya sendiri, karena Tuhan tidaklah membuat cerita dengan konyol. Hari ini pun, kata-kata itu masih teringat dipikiran saya dengan rasa gelisah menunggu bergeraknya generasi kecewa baru.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun