bismillah..
“Ya Allah, siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan ummatku lalu dia mempersulit urusan mereka, maka persulitlah dia. Dan siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan ummatku lalu dia berusaha menolong mereka, maka tolong pulalah dia.” (HR Ahmad dan Muslim dari Aisyah).
Saya adalah orang yang bisa dikatakan “anti M.Nuh” . Setelah mendeklarasikan mengenai sistem Uang kuliah Tunggal (UKT), ia deklarasikan juga Kurikulum 2013, dan menyusul kebijakan “aneh” lainnya yaitu akselerasi 5 tahun.
Saya tidak akan mengungkit kebijakan UKT yang penerapannya hari ini seolah selalu menjadi samurai yang ditempelkan dileher mahasiswa, sehingga banyak mahasiswa yang dalam kuliahnya tidak dapat berkonsentrasi secara totalitas karena selalu dihantui oleh biaya semesteran berikutnya. Saya juga tidak akan memancing kekritisan mahasiwa untuk mencurigai kebijakan bahwa mahasiswa wajib menuntaskan perkuliahan maksimal 5 tahun. Walaupun seolah-olah ada konspirasi untuk menjegal pergerakan mahasiswa dalam kebijakan ini.
Tapi , atas polemik kurikulum 2013 yang kembali bergejolak pekan ini, rasanya saya harus sepakat dengan pernyataan M.Nuh bahwa “Mengembalikan Kurtilas ke KTSP adalah sebuah kemunduran” .
Masih segar dalam ingatan ketika tahun lalu dengan sepenuh hati saya pergi ke cianjur dengan tujuan utama dapat berdialog langsung dengan M.Nuh mengenai kurikulum 2013 ini. Sayang acara yang dihadiri oleh perwakilan seluruh mahasiswa bahasa dan sastra indonesia se-Indonesia itu harus berakhir kecewa karena M.Nuh membatalkan pertemuan hanya dalam waktu kurang dari 2x 24 jam. Tahun lalu, saya dan rombongan mahasiswa itu juga berusaha menemui M.Nuh guna meminta klarifikasi terkait kurikulum 2013 ini dengan mendatangi langsung gedung Kemendikbud di Jakarta Pusat.
Hari itu, ketika kurikulum 2013 sedang panas-panasnya, kami semua menolak penerapannya dengan anggapan bahwa puluhan ribu sekolahan yang ada di Nusantara ini tidak akan mampu menerapkan Kurtilas ini, sedang tenaga pengajar juga kurang mumpuni, ditambah sarana dan prasana yang belum merata di desa dan di kota, belum lagi anggaran yang harus dikeluarkan karena kurikulum 2013 ini. Tapi keputusan untuk menerapkan Kurikulum 2013 ini tidak bisa ditunda lagi.
Hari ini, ketika kami sedang dalam proses menyesuaikan diri dengan kurikulum 2013, ketika di Perguruan Tingi telah meminta kepada mahasiswanya untuk menelaah Kurikulum 2013, ketika anak bangsa sudah mulai terbiasa, ketika Guru sudah mulai paham dengan RPP, dan ketika Buku Teks baru keluar dari mesin cetaknya, dengan teganya Anies Baswedan memberhentikannya.
Alasannya klasik. Kembali pada alasan tahun lalu ketika Kurtilas baru dideklarasikan. Permasalahannya, tahun lalu dan hari ini adalah dua hal yang jelas-jelas sudah berubah. Pemerintah tidak bisa semena-mena mempermainkan Kurikulum dan menjadikan anak bangsa sebagai kelinci percobaan.
Ada tanggapan, “penghentian Kurikulum 2013 itu dilakukan kepada sekolah-sekolah yang baru menjalankan sistem pendidikan ini selama 1 semester. Artinya, sekolah yang bersangkutan akan dikembalikan ke Kurikulum 2006. Dan sekolah lain yang sudah menerapkan kurikulum 2013 dan dirasa mampu menerapkannya, dipersilahkan untuk meneruskannya” . bagaimana mungkin dalam satu negara kita menganut kurkulum yang berbeda. Transparannya , sekolah-sekolah di kota besar dengan tenaga pengajar profesional serta sarana dan prasarana yang mencukupi silahkan melanjutkan kurtilas, dan sekolah dipedalaman yang jangankan tenaga profesional serta sarana dan prasarana memadai, bahkan listrik dan bangunan sekolah belum permanen, silahkan kembali ke kurikulum 2006. Jelas terlihat ada diskriminasi disini.
Meninjau konsep Kurikulum 2013 yang menyesuaikan dengan perkembangan zaman serta keadaan yang terjadi di negara kita ini, seharusnya tidak perlu mengambil keputusan untuk menghentikan penerapan kurtilas. Mari kita lihat. Kurikulum 2013 memberlakukan pendekatan scientific dan autentik. Pendengkatan scientific sendiri mewajibkan seluruh siswa untuk lebih banyak melakukan Observasi (pengamatan),bertanya,menalar,mencoba, dan mengkomunikasikan objek dengan baik. Sedangkan pendekatan autentik, lebih menilai siswa dari 3 aspek atau bisa dikatakan segitiga sempurna. Yaitu keterampilan,pengetahuan, dan sikap. Ditinjau dari kompetensi intinya,