Banyaknya pemilik media massakhususnya media televisi di Indonesia yang sekaligus juga menjadi politisi yang akan mengikuti pemilihan umum pada tahun 2014 nanti, menjadikan media televisi yang ada pada saat ini bukan hanya menjadi sarana penyampai informasi semata kepada masyarakat tetapi juga menyangkut pemanfaatan penggunaan media televisi oleh pemiliknya sebagai alat ataupun instrumen elit untuk menyebarkan ideologi dominan tertentu kepada masyarakat untuk mencapai sebuah kekuasan,
hal tersebut menjadikan Televisi saat ini sebagai media yang paling sering dimanfaatkan dalam proses penyampain pesan politik seorang figur ataupun kelompok politik tertentu untuk menciptakan dan meningkat elektabilitasnya, karena televisi dianggap sebagai media yang paling mampu manampilkan figur secara utuh audio – visual dan mampu menjangkau secara langsung keseluruh wilayah yang luas ,sehingga dibeberapa stasiun televisi yang ada di Indonesia saat ini lebih banyak berita, liputan ataupunacara – acara publisitas tertentu, yang lebih condong berafiliasi kepada seorang ataupun pemilik media tersebut untuk membantu memasarkan figurnya, tanpa mempertimbangkankredibilitas dan nilai – nilai keseimbangan berita tersebut,hal itu juga didukung dan serupa dengan teori peluru yang disampaikan (Laswell, 1948) bahwa pesan media berpengaruh secara langsung terhadap khalayak.
Di Balik Frekuensi adalah sebuah film simbol perlawanan awak media dan jurnalis di Indonesia kepada penguasah media yang sering mengunakan media saat ini secara berlebihan untuk kepentingan pribadinya khususnya dalam hal publisitas dan propaganda politik, perlawanan tersebut berupa pemutaran serta pembahasan sebuah film yang berceritakan tentang seorang juranlis METRO TV Luviana yang secara sepihak di PHK oleh METRO TV karena mengkritisi newsroom (isi nilai redaksi berita) dan setelah melakukan protes kepadamanajemen perusahaan yang kurang berpihak pada karyawan yang ada pada METRO TV,hal tersebut dimungkinkan terjadi karena sang Pemilik METRO TVSurya Paloh tidak lain juga ketua umum Partai NASDEM , yang sangat sering menfaatkan saluran medianya dalam publisitas partainya selama ini, selain itu film ini juga menceritakan kisah kepemilikan sejumlah Media Massa oleh elit berkepentingan yang ada di Indonesia saat ini seperti TV ONE dan ANTV milik Abu Rizal Bakrie politisi Partai Golkar yang akan mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilihan umum 2014 nanti, selain itu dia juga sedang tersangkut dengan masalah anak perusahaannya PT Minarak Lapindo dengan semburan Lumpur Lapindo Sidoarjo yang pembayaran ganti ruginya sering dipermasalahkan para korban lumpur lapindo di Sidoarjo.
Simbol Perlawanan pada penguasah media tersebut sangat jelas terlihat pada penggunaan gambar, jalan cerita pengangkatan tema utama serta pemutaran secara terkodisi dengan komunitas – komunitas peduli media yang juga dilanjutkan dengan pembahasan film tersebut, penekanan kepada penggunaan frekuensi publik terutama media televisi yang saat ini sangat sering disalah gunakan oleh pemiliknya secara berlebihan, terlihat dari gambar yang menunjukan adanya menara – menara pemancar sinyal dan satelit yang digunakan untuk pengunaan frekuensi publik dan gambar Luviana seorang karyawati redaksi berita yang secara sepihak di PHK METRO TV karena mengkritisi kepentingan pemilik media,serta dari segi judul Di Balik Frekuensi sangat jelas maksudnya sebagai kritik terhadap penggunaan dan pemberian muatan media massa yang akan diberikan kepada masyarakat, hal tersebut tentunya lebih di arahkan untuk berafiliasi dengan pemiliknya, seperti beberapa isi newsroom dan penekanan tagline berita yang akan disampaikan semisal berita publisitas NASDEM pada METRO TV, berita Lumpur Lapindo yang berganti menjadi Lumpur Sidoarjo dan berita pelunasan ganti rugi pada korban di TV ONE yang selalu digambarkan dengan hal positif, gerakan perlawanan tersebut juga masih terus berlanjut dengan pemutaran film yang diselenggarakan dengan komunitas peduli jurnalistik dan media hingga saat ini dan melibatkan gerakan Aliansi Junalistik Independen, Isi dan tema utama dari film Di Balik Frekuensi ini juga membahas lemahnya pengawasan lembaga pemerintah yang ada saat ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap penguasah dan penggunaan Media ,sangat terbatasnya penegakan terhadap pelanggaran sehingga pemerintah yang ada saat ini terlihat tidak berdaya dalam mengadapi situasi yang ada.Semoga saja pembenahan tentang Undang – undang Media di Indonesia kedepannya tentang penggunaan Frekuensi publik dapat lebih dibuat dengan lebih rinci tentang penggunaannya, pelimpahannya atau proses kepemilikan Media Khususnya televisi dapat lebih baik dalam regulasi dan hubungan kepemilikannya.
Pemacatan sepihak yang dilakukan oleh Surya Paloh kepada Luviana yang hanya menuntut profesionalitas dalam bekerja dalam jurnalistik dan penilaian isi berita yang benar dapat menjadi pembelajaran lembaga penyiaran dan informasi di Indonesia seperti DPR RI Komisi 1 secara politis dan Komisi Penyiaran Indonesia sebagai penyelenggarah regulasi dan sanksi. Sejalan dengan kasus Luviana yang terzalimi oleh penguasah media dapat menjadi pembelajaran bagi kita sebagai mana pemikiran Michel Foucault tentang kekuasaan, kekuasaan sering mendapat perlawanan atau resistensi dalam relasi sosial itu sendiri. Dalam kekuasaan yang represif dan dominatif para penindas dan korban secara natural berhadapan dan berlawanan satu sama lain dan kekuasaan represif dan dominatif bisa beroperasi di mana – mana tetapi selalu mendapat resistensi dari korban. Seperti yang terjadi pada kasus Luviana dan gerakan perlawanan film Di Balik Frekuensi.
Dosi, Eduardus, MEDIA MASSA DALAM JARING KEKUASAAN;Sebuah Studi Tentang Relasi Kekuasaan di Balik Wacana.Flores – NTT:Ledalero,2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H