Oleh : Rismayanti Priyanita
Pendahuluan
Seperti diketahui bahwa kapitalisme adalah musuh besar bagi seluruh rakyat yang tertindas di bumi ini. Bagi perempuan, sebetulnya bukan hanya kapitalisme saja yang menjadi sumber ketertindasan mereka. Musuh besar yang juga harus dilawan oleh perempuan selain kapitalisme adalah patriarki. Kenapa patriarki ini harus dilawan? Karena pada prakteknya, kapitalisme dan patriarki ini bersimbiosis mutualisme. Patriarki menguntungkan kapitalisme sehingga membuat posisi perempuan semakin tertindas, terutama bagi kaum perempuan miskin. Begitupun sebaliknya, patriarki akan tetap dibiarkan/terus hidup selama kapitalisme berjaya.
Sampai hari ini, harus diakui bahwa masyarakat Indonesia masih belum merdeka dari pola pikir patriarki. Sehingga, harus dicari upaya bagaimana cara mengubah pola pikir masyarakat yang masih patriarkis tersebut, agar kemudian cita-cita untuk membangun sebuah relasi yang harmonis dan setara dapat terwujud. Saya pikir, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menjadikan pendidikan dan perjuangan politik sebagai jalan pembebasan baik bagi perempuan maupun sektor rakyat lainnya yang dirugikan oleh sistem yang menindas.
Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan
Pepatah Nelson Mandela “Education is the most powerful weapon to change the world” (Pendidikan adalah senjata yang paling kuat untuk mengubah dunia). Ya, saya sepakat dengan pepatah Nelson Mandela tersebut, pendidikan memang alat yang sangat potensial untuk menciptakan perubahan. Bahkan jauh sebelum Mandela, sejarah bangsa kita pun mengajarkan bahwa kebangkitan dan perjuangan kemerdekaan nasional sama sekali tidak terlepas dari kontribusi yang namanya pendidikan, sekalipun itu pada awalnya hanya sebatas politik etis.
Sebut saja Kartini yang sangat menyakini bahwa pendidikan adalah jalan keluar untuk mengubah adat istiadat bangsa Jawa yang kala itu sangat feodal dan mengkungkung kaum perempuan. Pun dengan Ki Hajar Dewantara yang gagasan soal pendidikan moralnya sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran Kartini. Seperti halnya Kartini, Ki Hajar Dewantara juga menjadikan pendidikan sebagai alat perjuangan yakni untuk membangun kesadaran nasional. Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah Taman Siswa sebagai sekolah alternatif yang tidak hanya mementingkan aspek intelektualitas semata melainkan juga menjunjung tinggi budi pekerti (budi : gabungan dari cipta, rasa dan karsa, pekerti ; sebagai tenaga). Banyak tokoh perjuangan nasional merupakan jebolan Taman Siswa atau setidaknya pernah terlibat aktif di Taman Siswa. Begitupun anggota dan kader-kader PKI banyak pula yang (konon katanya) berasal dari sekolah yang didirikan pada 1922 ini.
Pendidikan memang memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam membangun dan mempercepat perubahan. Pasca kemerdekaan, salah satu keberhasilan PKI dapat masuk ke dalam partai 5 besar pada pemilu 1955 adalah tiada lain karena PKI yang dipimpin Aidit pada waktu itu memperluas jaringannya melalui jalur pendidikan. Padahal sebelum kepemimpinan diambil alih oleh Aidit, PKI pada waktu itu sedang mengalami kemunduran yang cukup signifikan.
“Tak cuma berorganisasi, untuk meluaskan jaringan, mereka (Aidit, Njoto, dan Lukman) mendirikan sekolah dari tingkat dasar sampai universitas.” (Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara, 2010)
Oleh karena itu, menyadari bahwa peran pendidikan sangat strategis untuk melakukan perubahan, apalagi sebagaimana kita ketahui bahwa penjajahan saat ini boleh dikatakan sebagai penjajahan kesadaran, maka penting sekali bagi para pejuang kemanusiaan, khususnya perempuan dan organisasi pergerakan agar lebih memasifkan perjuangannya melalui bidang ini. Seorang tokoh Pendidikan Progresif Brasil, Paulo Freire mengatakan :
“Hanya pendidikan yang memperlancar pergeseran kesadaran transitif naïf ke kesadaran transitif kritis yang akan mengembangkan kemampuan manusia untuk melihat tantangan-tantangan dari zamannya, yang akan menyiapkan rakyat untuk melawan kecenderungan emosional dari masa transisi.” (Paulo Freire, 1984)
Perjuangan melalui pendidikan sebagai alat untuk membangun dan membangkitkan kesadaran, barangkali dapat kita lakukan dengan mulai mendirikan dan menggarap serius sanggar-sanggar belajar rakyat/sekolah alternatif (non formal), dengan mengakses sekolah formal pemerintah maupun swasta (Menjadi pendidik atau membangun jaringan dengan para guru/ serikat guru), bahkan sebetulnya dapat dilakukan mulai dari lingkungan terkecil yakni keluarga/rumah (informal). Menurut Kartini, pendidikan di sekolah saja tidaklah cukup untuk membentuk pikiran dan perasaan manusia, rumah pun harus turut mendidik. Ia menilai bahwa justru dari rumahlah kekuatan mendidik itu harus berasal. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang mempunyai pandangan bahwa pendidikan keluarga adalah juga pusat pendidikan. Menurutnya, alam keluarga sebetulnya bukan hanya saja berperan sebagai pusat pendidikan individual, akan tetapi keluarga juga adalah sebagai pusat untuk melakukan pendidikan sosial.
Pembebasan Perempuan Melalui Perjuangan Politik
Seperti halnya pendidikan, politik juga adalah sebuah alat. Kedua alat ini seperti pisau bermata dua. Ia dapat digunakan sebagat alat untuk menindas maupun sebaliknya. Itu semua bergantung siapa yang mengendalikan.
Bagi kapitalis, politik dapat dijadikan sebagai alat untuk menjaga dan mempertahankan agar modalnya aman dan terus berakumulasi. Begitupun sebaliknya, bagi kaum yang berhaluan sosialis, politik dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat kebijakan yang anti kapitalisme, imperialisme.
Pada saat ini, kita dipimpin oleh rezim Neoliberal yang sudah barang tentu kapitalistik. Banyak produk-produk kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat sehingga membuat rakyat semakin jatuh pada lubang kemiskinan. Privatisasi asset, kenaikan BBM, TDL, Gas, mahalnya pendidikan, mahalnya layanan kesehatan adalah contoh-contoh kebijakan yang betul-betul memiskinkan rakyat khususnya perempuan. Bahkan tidak hanya itu, kebijakan-kebijakan lainnya yang sangat langsung dirasakan oleh perempuan adalah semakin banyaknya kebijakan-kebijakan diskriminatif bagi perempuan seperti aturan berpakaian muslimah, larangan ngangkang dll .
Oleh karena itu, untuk melawan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat dan diskriminatif terhadap perempuan tersebut, maka kaum perempuan membutuhkan politik supaya dapat mengubah kebijakan-kebijakan yang menindas tersebut ---dengan membuat kebijakan-kebijakan yang pro rakyat/perempuan.
Untuk mengakses politik, memang tidaklah mudah, bahkan tidak bisa dilakukan dengan sendirian. Untuk itu, butuh alat untuk membangun kekuatan. Alat tersebut tiada lain adalah organisasi, misalnya organisasi massa atau partai politik. Kita dapat berkaca dari pengalaman organisasi perempuan progresif pada era Soekarno, Gerwani/Gerwis yang kendati tidak secara resmi berafiliasi dengan PKI, namun tak dapat dipungkiri akan adanya kedekatan ideologi dan politik dengan partai yang menjadi musuh besar orde baru tersebut. Umi Sarjono, salah satu mantan ketua Gerwani menyatakan bahwa “program PKI menjamin emansipasi dan hak sama untuk perempuan.” Era 60an adalah masa keemasan bagi Gerwani dimana pada masa itu, jumlah anggota/kader Gerwani meningkat pesat dari sekitar 500 ribuan menjadi 1,5 jutaan. Capaian peningkatan kader yang diperoleh Gerwani tersebut banyak dinilai karena pengaruh PKI. (Sumber: Indoprogress.com)
Penutup
Bagi penulis, proses perjuangan melalui pendidikan dan perjuangan politik tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Meskipun pendidikan memang bukan satu-satunya solusi namun perjuangan pembebasan perempuan/rakyat hanya melalui pendekatan politik saja tidaklah cukup. Barangkali ada baiknya kita merenungkan apa yang pernah disampaikan oleh Gusdur dalam sebuah Kata Pengantar Buku yang berjudul “Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan”
“Perbedaan maha penting antara pendekatan kultural dan pendekatan politik adalah langkanya kecenderungan penyusunan kekuatan (Machtvorming) dalam pendekatan kultural itu. Mungkinkah cara ini menghasilkan pembebasan total manusia dari belenggu kemiskinan dan kepapaan pada akhirnya? Terserah kepada sejarah dan saat ini kepada penilaian masing-masing untuk menentukannya.”
Referensi
Arbaningsih Dri. 2005. Kartini dari Sisi Lain. Jakarta: Buku Kompas.
Dewantara, Ki Hajar. 2009. Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika
Freire Paulo, 1984. Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: PT Gramedia
Tempo. 2010. Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara. Jakarta : KPG (Kepustakaan Pupuler Gramedia)
HS,Lilik. 2011. Jalan Teguh Sang Pemimpin. http://indoprogress.com/web/jalan-teguh-sang-pemimpin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H