Judul : Totto- chan : Gadis Cilik di Jendela Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Penulis :Tetsuko Kuroyanagi Tahun Terbit : 2011 Tebal : 272
Penulis novel ini adalah Tetsuko Kuroyanagi, seorang artis internasional Jepang yang mulai dikenal pada era 70an. Melalui novel yang ia tulis ini, Tetsuko Kuroyanagi bercerita tentang pengalaman pribadinya ketika mengenyam pendidikan di sebuah sekolah yang dinilai sebagai satu-satunya sekolah alternatif di Jepang pada masa perang dunia II.
Nama sekolah alternatif tersebut adalah Tomoe Gakuen. Sekolah ini didirikan pada 1937 oleh Mr. Sosaku Kobayashi -- kepala sekolah sekaligus guru yang sangat ia kagumi dan sayangi. Berkat didikannya, tokoh utama, Totto-chan yang tiada lain adalah penulis novel itu sendiri dapat menemukan jati dirinya dan rasa percaya dirinya juga semakin berkembang setelah sebelumnya ia sempat dikeluarkan dari sekolah lamanya karena dianggap oleh guru-gurunya sebagai anak yang aneh, lain-dari yang lain dan susah diatur. Barangkali secara kasarnya ia telah dijudge sebagai anak yang mengalami kelainan jiwa.
Mr. Kobayashi yang sangat memahami jiwa anak dan sangat percaya bahwa setiap anak itu dilahirkan dengan watak baik-- menerima Totto-chan dengan sangat baik di sekolah yang ia dirikan dengan menggunakan biaya sendiri itu. Totto-chan pun merasa senang karena di sekolah barunya tersebut, ia banyak menemukan hal-hal baru yang sangat menyenangkan yang sebelumnya belum pernah ia temui di sekolah lamanya.
Di Tomoe, jumlah siswa secara keseluruhan hanya sekitar 50 orang. Jumlah siswa memang sengaja dibatasi untuk memudahkan para guru dalam mendidik para siswanya. Di Tomoe, Totto-chan dan juga para siswa lainnya diberikan kebebasan untuk memilih pelajaran yang mereka sukai, bebas memilih tempat duduk dan tidak diwajibkan memakai pakaian seragam yang bagus bahkan justru sangat dianjurkan memakai pakaian yang paling usang. Mereka juga diberikan kebebasan untuk mengekspresikan diri walau usia mereka masih kanak-kanak. Beberapa siswa Tomoe yang memiliki keterbatasan secara fisik pada akhirnya tidak lagi merasa minder atau malu karena kondisi tubuhnya; kepercayaan diri mereka semakin berkembang dengan baik.
Kurikulum yang dibuat di sekolah Tomoe memang berbeda dengan sekolah-sekolah konvensional Jepang. Di sekolah ini, sebagian besar jam pelajaran diisi dengan pelajaran musik seperti euritmik. Jika ditanya apa artinya euritmik, Sosaku Kobayashi menjawab “ Euritmik adalah olahraga yang menghaluskan mekanisme tubuh; olahraga yang mengajari otak cara menggunakan dan menggendalikan tubuh; olahraga yang memungkinkan raga dan pikiran memahami irama. Mempraktekan euritmik membuat kepribadian anak-anak bersifat ritmik. Kepribadian yang ritmik itu kuat, indah, selaras dengan alam, dan mematuhi hukum-hukumnya.” Selain belajar euritmik, anak-anak belajar melakukan percobaan fisika seperti layaknya ilmuwan. Mereka juga belajar bermain drama, menari, membuat puisi, menyanyi bahkan memasak.
Selain belajar di ruang kelas yang terbuat dari gerbong kereta, anak-anak juga belajar di lingkungan alam sekitar. Jam istirahatnya pun jauh lebih panjang. Yang lebih menarik lagi adalah untuk bekal makan siang, kepala sekolah meminta anak-anak membawa “sesuatu dari laut” yang artinya makanan dari laut seperti ikan, udang dll, dan “sesuatu dari pegunungan” yang artinya makanan dari daratan seperti sayuran, daging ayam, sapi dll. Hampir semua anak-anak merasa senang belajar di Tomoe. Namun sayang, pada akhirnya mereka tidak bisa lagi sekolah di Tomoe karena sekolah tersebut tidak luput dari serangan bom Amerika yang terjadi pada 1945 di Tokyo.
Menurut saya, novel ini sangat bagus terutama dilihat dari sisi substansinya yang sarat akan nilai-nilai pendidikan dan budi pekerti. Novel yang berjudul “Toto-chan, Gadis Cilik di Jendela” ini mengajarkan bahwa pendekatan dan metode mengajar yang diimplementasikan di sekolah harus senantiasa didasarkan pada kodrat alam anak. Ini berarti, pendidik tidak boleh membentuk kepribadian anak sekehendak hatinya sendiri. Selain itu, di sekolah juga harus selalu ditanamkan nilai-nilai budi pekerti supaya peserta didik berprilaku baik dan dapat belajar saling menghargai baik menghargai diri sendiri maupun sesama. Sebagai salah satu contohnya, dalam novel ini, Kepala Sekolah mengajarkan agar anak laki-laki harus bersikap sopan kepada anak-anak perempuan, menghargai dan menjaga mereka. Ini dapat dibilang sebagai sesuatu yang mengejutkan karena kala itu, di Jepang posisi perempuan memang masih dianggap sebagai mahluk kelas dua setelah laki-laki. Masyarakat Jepang menganggap bahwa “Anak perempuan hanya untuk dipandang, bukan didengar.”.
Bagi anak-anak, novel ini barangkali akan terasa membosankan karena novel ini lebih dominan disajikan secara deskriptif ketimbang naratif. Terlebih, novel ini juga tidak disertai dengan gambar-gambar yang menarik.
Meskipun demikian, saya sangat merekomendasikan buku novel ini dibaca oleh mereka yang berkecimpung dengan dunia pendidikan, orang tua dan calon orang tua karena setidaknya novel ini dapat menjadi bahan refleksi untuk mengevaluasi kembali sistem pendidikan nasional kita yang cenderung membuat peserta didik terbebani dan stress. Selain itu, isi novel ini juga mengingatkan saya dengan sistem pembelajaran yang berlaku di Finlandia yang (konon katanya) terkesan “tidak serius” dan “malas-malasan” namun ternyata mampu meraih prestasi dengan menyandang predikat sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Tentu ini dapat menjadi pembelajaran yang sangat baik demi perbaikan sistem pendidikan Indonesia yang masih jauh tertinggal.
Ditulis di Kudus, 29 Desember 2013 oleh Rismayanti Priyanita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H